“Sedang apa?” tanya bapak ketika aku sibuk dengan tongkatku.
“Oh. Rusak ya? Ya sudah besok Bapak belikan yang baru.”
Bapak. Entah sudah berapa kali dia membelikan tongkat penyangga kaki kiriku yang terlalu lemah ini. Sejak kecil, setiap tubuhku bertambah tinggi, tongkat ini terasa tidak cocok lagi. Tongkat ini memang penolongku. Tanpanya aku tidak akan mampu meninggalkan tempat duduk. Ketika sekolah dulu, rasanya pengen sekali ikut teman-teman berlari mengejar bola dan bermain layangan di lapangan. Tetapi apa daya, jangankan untuk berlari, bergeser sedikit saja kaki kiriku tidak mampu menopang berat badan.
“Pagi sekali pak?” tanyaku pada bapak yang sudah siap untuk berangkat ke pasar. Selepas salat Subuh biasanya bapak masih menyempatkan diri untuk minum secagkir kopi dan gorengan ala kadar yang dibuat ibu.
“Hari ini ada kiriman kelapa yang datang lumayan banyak. Bapak harus segera buka kios agar kelapa-kelapa itu dapat dimasukkan,” jawabnya.
Lelaki itu, bapakku, memang sosok pekerja keras. Tanpa kenal lelah dia bekerja di kios kecil yang disewanya untuk berjualan aneka bumbu masakan. Usaha yang katanya dirintis dengan modal seadanya. Bersyukur, sekarang dari hasil jerih payahnya kami dapat makan secara cukup dan bapak tidak perlu bingung setiap tongkatku rusak atau tidak layak pakai lagi.
“Aku tidak ikut ya Pak. Badanku rasanya tidak enak.”
“Istirahat saja. Jangan ke mana-mana. Jika perlu apa-apa minta tolong ibumu. Nanti pulang dari pasar, Bapak bawakan tongkat baru,” lanjutnya sambil mengeluarkan motor butut kami.
“Ini masih bisa dipakai Pak. Bukannya Bapak minggu ini harus membayar perpanjangan sewa kios? Kalau terlambat seperti dua tahun yang lalu, anak buah Pak Karso bisa mengusir kita dari kiosnya. Kalau terjadi, bagaimana Bapak berjualan?”
“Bapak bisa mengatasinya,” jawab bapak.
Ah bapak. Aku ini lelaki yang beranjak dewasa, Pak. Sebentar lagi usiaku 19 tahun. Tapi tetap saja, perlakuanmu tidak berubah seperti ketika kau pertama mengantarku sekolah SD dulu. Selalu perhatian. Seminggu pertama sekolah, bapak tidak berjualan. Dia selalu menungguku di depan gerbang. Jika mendengar ada anak yang mengejekku karena kaki kiriku, bapak selalu datang membela.
Biasanya aku akan ikut bersama bapak ke pasar. Meski tidak banyak yang dapat aku lakukan, setidaknya tahu bagaimana bapak menjalankan usahanya. Aku harus mampu menggantikannya. Walau dengan kaki tak sempurna, aku adalah lelaki. Kelak harus bertanggung jawab dengan keluargaku. Tentu sebisa mungkin harus dapat menjalankan usaha agar dapat menafkahi keluargaku. Salah satu wejangan bapak itu selalu kuingat. “Itu juga jika ada perempuan yang mau sama aku, Pak,” jawabku dalam batin waktu itu.
***
Brak, tanpa sengaja tubuhku menyenggol tumpukan kertas yang ada di rak ketika aku berjalan menuju kamar mandi. Kertas-kertas itu berserakan di lantai. Aku memungut satu per satu. Sebuah foto tua keluar dari dalam tumpukan kertas itu.
Di salah satu ujung foto itu ada bekas terbakar. Nampak seorang laki-laki berdiri dengan gagah di samping seorang perempuan yang duduk dengan anggun. Dari gurat wajahnya aku tahu, perempuan itu adalah ibuku. Tetapi laki-laki itu, terlalu gagah jika dia adalah bapak. Atau mungkin dulu bapak segagah itu sebelum harus bersusah payah menjadi tulang punggung keluarga kami.
“Tidak ada.”
Kata ibu yang aku dengar dari dalam kamar setelah kami selesai makan malam.
“Ibu tidak lupa kan tempat menyimpannya?” tanya bapak.
“Tidak. Ibu yakin. Ibu menyimpannya di dalam tumpukan kertas. Ibu tidak pernah memindahkannya.” Suara ibu terdengar panik.
Aku keluar dengan menggunakan tongkat baru yang dibawa bapak sore tadi. “Ibu mencari ini?” tanyaku sambil menunjukkan foto yang tadi siang aku temukan.
“Kamu dapat dari mana foto ini?” tanya ibu nampak kebingungan.
“Aku tidak sengaja menemukannya dalam tumpukan kertas yang tadi jatuh,” jawabku. Aku mulai bingung dengan raut muka ibu yang nampak pucat.
“Duduklah Pandu!” perintah bapak. Bapak segera menarik sebuah kursi ke arahku untuk aku duduki. “Ada yang perlu kami sampaikan padamu.”
“Ada apa? tanyaku kebingungan.
***
“Apa pun alasannya, Ibu tidak mau bayi itu pulang ke rumah kita. Apa kata orang nanti. Ibu akan sangat malu.”
Asih yang baru saja siuman setelah melahirkan anak pertamanya, samar-samar mendengar suara ibu mertuanya yang sedang beradu mulut dengan suaminya.
“Turuti ibumu!” suara bapak mertuanya tidak kalah keras.
Asih tidak tahu apa yang terjadi. Mendengar kata “bayi”, Asih menebak bahwa yang dimaksud adalah anak yang baru saja dilahirkannya. Tapi apa yang terjadi. Kalau benar yang dimaksud adalah anaknya, apa masalahnya. Bukannya kemarin ketika mengantarnya ke rumah sakit, kedua mertuanya masih sangat baik padanya. Penuh perhatian pada kandungannya.
Lepas Subuh, suaminya sudah menjemputnya di rumah sakit. “Ayo pulang, dokter sudah membolehkanmu keluar dari rumah sakit.”
Betapa bahagia hati Asih membayangkan akan segera kembali ke rumah mertuanya, mengasuh dan merawat anaknya. Tiba di sebuah pasar, di depan sebuah kios, mobil mewah yang dikendarai suaminya berhenti.
“Kenapa berhenti di sini? Ini terlalu pagi untuk berbelanja. Kios ini juga belum buka?” tanya Asih.
Suaminya hanya diam dan segera membuka pintu sebelah kiri, “ turunlah!”
Tertatih Asih mulai bergeser ke arah pintu. Rasa perih di jalan lahirnya masih terasa sangat menyiksa. Suaminya menuntunnya ke depan kios yang masih tutup itu. Membimbing Asih duduk sambil memangku bayinya.
“Maaf, aku tidak bisa bersama kalian,” ucap suaminya tanpa memandangnya sedikit pun. Segera dia menuju mobil mewahnya dan melaju dengan cepat.
Dalam kebingungan dan kagetnya, Asih tidak mampu berucap. Mulutnya hanya terbuka lebar menatap suaminya yang sudah berlalu.
Bayi dalam dekapannya mulai menangis. Basah popoknya dan rasa tidak nyaman membuat tangisnya semakin kencang. Asih tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ke mana? Bagaimana? Dia tidak tahu. Tidak ada tempat untuk sekadar membuat bayinya dapat tidur dengan nyaman. Dia yang sudah yatim piatu sejak usia 10 tahun, tidak tahu kemana harus meminta belas kasihan. Dia mengenal suaminya ketika bekerja membantu di warung makan dekat proyek miliknya. Lelaki itu kemudian menyunting dan selama setahun terakhir menjadikan ratu dalam rumah yang seperti istana. Kembali ke warung makan itu dan meminta pekerjaan lagi? Dengan bayinya hal itu tidak mungkin.
Semakin siang, perutnya terasa perih karena belum terisi apa-apa. Air susunya pun hampir kering membuat bayinya kekurangan minum. Dia sudah bergeser dari tempat duduk semula karena kios sudah buka dan mulai ramai pengunjung.
Seorang ibu tua yang menjajakan gorengan menghampirinya. Dia bertanya kenapa bayi yang masih merah diajak ke luar rumah. Dengan singkat Asih bercerita kepada ibu tua itu tentang apa yang terjadi setelah subuh tadi.
Mak Roji, sang ibu tua mengajaknya pulang ke rumahnya yang lebih mirip gubuk. Beberapa lembar kain lusuh dikeluarkan dari lemari tuanya. Meski sudah sobek di sana sini, kain itu cukup untuk membuat hangat tubuh bayinya. Mak Roji juga memasakkan sayur bening yang segar untuknya.
Enam bulan sudah Asih tinggal bersama mak Roji. Suatu hari datanglah Parno, tetangga Mak Roji, untuk meminangnya. “Mungkin ini yang terbaik,” ucap Mak Roji. “Akan ada orang yang membantu merawat anakmu. Aku tidak tahu sampai kapan masih dapat meolongmu. Tubuhku semakin renta.”
Asih menerima lamaran Parno. Tidak lama setelah ijab kabul mereka, Mak Roji mengembuskan napas terakhir. Tinggal Parno, Asih, dan anaknya menempati rumah peminggalan Mak Roji.
***
Aku duduk di kursi mengikuti perintah bapak. Ibu masih memandang foto yang tadi aku pegang. Mukanya merah. Nampak trauma dan luka lama yang terasa sangat menyakitkan di raut wajah ibu. Sesaat kemudian ibu menatapku.
Aku kebingungan dengan apa yang terjadi di depanku.
“Pandu!” Bapak memanggil namaku. “Sudah saatnya kau tahu lelaki gagah di dalam protret ini. Dia adalah ayahmu, lelaki yang telah menjadi perantara kehadiranmu di dunia.”
Brak! Terasa seperti ada ombak besar yang menghantam dadaku. Lelaki yang teramat sangat menyayangiku ini, lelaki yang berjuang siang malam untuk menghidupiku, membelaku dari ejekan teman-temanku ini, teryata bukan ayah kandungku.
“Tapi kau tetap Pandu, anak kebanggaanku. Potret itu satu-satunya pengenal tentang dia. Ibumu hampir membakar potret itu karena tidak ingin ada yang mengingatkan padanya. Tetapi aku cegah. Walau bagaimana kau harus tahu.”
“Lalu, di mana laki-laki itu? tanyaku. “Di mana laki-laki yang telah menyia-nyiakan ibuku? Kalau aku yang dibuang, aku bisa terima karena aku memang tidak sempurna. Aku juga tidak pernah mau dilahirkan seperti ini. Tetapi ibuku? Apa salahnya? Jika aku lahir tidak sempurna, bukan karena cetakan rahim ibuku yang salah. Bisa jadi karena dia. Mungkin karena dia terlalu banyak melakukan dosa sehingga aku yang harus menanggung karmanya,” teriakku histeris.
“Sudah Pandu!” Lirih suara bapak membuat hatiku melembut. Ibu hanya diam. Matanya terpejam. Sepertinya luka itu masih membayang.
“Tidak perlu ada yang disesali. Kau sempurna di mata Bapak. Dan kau hidup dalam keluarga yang sempurna. Ada bapak dan ibu yang terus menyayangimu.”
“Di mana dia sekarang?” Nada suaraku semakin meninggi. Hatiku sakit, sakit karena lelaki gagah itu.
Bapak menarik napas panjang. “Pandu, sebenarnya Bapak berbohong padamu tadi pagi. Bapak tidak berangkat ke kios lepas subuh tadi. Tetapi bapak menemuinya. Dia berada di rumah sakit jiwa sekarang. Tiga tahun lalu anak perempuannya yang baru berusia 14 tahun kabur dibawa pacarnya yang sudah beristri. Tidak lama kemudian usahanya bangkrut karena ditipu temannya. Semua hartanya disita bank. Istri dan dua anaknya yang lain pergi entah ke mana. Kedua orang tuanya yang dulu memintanya untuk membuang kalian meninggal seminggu setelah kalian ditinggalkan di depan kios. Semua sudah terbayar lunas. Tidak perlu ada dendam. Bukankah aku sudah menjadi bapak, ayah untukmu selama ini.”