Lelaki itu datang ketika suara azan lantang berkumandang, ketika orang-orang telah menyesaki ruang. Lelaki itu datang dengan tampang tak terbilang ketika orang-orang bertukar senyum berbagi ruang, bertukar cerita lewat baku pandang
Lelaki itu datang menuntun sepeda angin yang reyot, yang sering membuat repot tubuhnya yang peyot. Sebuah ransel menggantung di punggung, dan terasa seperti memanggul gunung. Pada tubuhnya yang keriput hanya singlet lusuh membalut. Celana pendek dekil menggantung pada kakinya yang sering limbung. Dan hanya sepatu butut membungkus telapak kakinya yang kisut
Tapi pada Jumat siang yang memanggang, lelaki itu datang dengan hati Arjuna menuju medan perang. Tetap merasa diri gagah seperti mereka yang berjubah. Tetap merasa diri tampan seperti mereka yang khusyuk di baris depan
Dan ketika sang khatib berdiri gagah di atas mimbar yang megah, mendengung senandung kidung nama-nama yang agung, lelaki itu bersila di sebuah ujung. Ia membekap kakinya dengan selembar sarung. Di ujung, ia terlihat hanya bagai sebuah relung.
Tapi ia tak hendak menjadi hanya sebuah relung.
Lelaki itu mengudar sebuah tas yang memudar. Ah, sebuah cermin yang mengilau. Ia memandang wajahnya dengan galau. Gigil tangannya merambati kumis yang dekil. Ia menawarkan senyum pada cerminnya. Ah, sebuah botol yang bertotol. Ia mengurapi sekujur tubuhnya dengan minyak mewangi. Lalu harum minyak kesturi merubung pada tubuhnya yang kian mengujung.
Dan tubuh itu tetap mengujung, makin tampak bagai sebuah relung, hingga masjid itu lama suwung, dan siang tertutup mendung.
Depok, 3 Mei 2006