Tana Toraja adalah salah satu wilayah yang memiliki miniatur keberagamaan di Indonesia. Berada di Provinsi Sulawesi Selatan, Tana Toraja memiliki luas wilayah 2054,30 km² dengan jumlah penduduk sekitar 291.046 jiwa.
Suku Toraja mendiami wilayah dataran tinggi dengan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menjaga tradisi leluhur. Masyarkat Tana Toraja merupakan masyarakat yang multikultural, terutama masyarakat Lembang Uluway. Alasanya, karena masyarakat memeluk agama yang beragam. Ada yang Islam, Kristen, atau bahkan agama kepercayaan masyarakat setempat yang dikenal dengan istilah Aluk Todolo, yang merupakan agama kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja jauh datangnya Islam dan Kristen.
Asal usul nama Uluway diambil dari dua suku kata, yaitu ‘’ulu’’ berarti kepala dan ‘’way’’ berarti air. Secara harfiah berarti kepala air. Kepala air ini bermakna suatau daerah yang berlimpah air sehingga menghidupkan lingkungan sekitarnya, baik manusia, tumbuhan, maupun hewan.
Keberlimpahan air dan sumber daya alam menjadikan tempat ini sebagai lembang (desa). Mata pencaharian masyarakat Uluway rata-rata sebagai petani dan peternak. Dengan keberlimpahan sumber daya alam, mereka bisa hidup makmur.
Tanaman yang dijadikan mata pencaharian petani adalah kopi, cengkeh, kakao (coklat), dan padi. Sementara, ternak yang utama adalah sapi dan kerbau. Mengapa dua hewan ini dipelihara masyarakat, karena daging dua hewan ini sangat enak sekali. Hal ini disebabkan pakan hewan yang alami dari alam seningga berpengaruh pada tekstur daging.
Selain memiliki kekayaan alam yang melimpah, kehidupan masyarakat Uluway sangat harmonis dan menjunjung tinggi sikap toleransi beragama. Hal ini terbukti, masyarakat Uluway tidak hanya memiliki satu agama. Masyarakat Uluway mayoritas beragama Islam, namun kerukuan dengan agama lain sangat terjaga. Bahkan, tak jarang dalam satu keluarga terdapat tiga agama yang dipeluk, yaitu Kristen, Islam, dan Aluk Todolo (sistem kepercayaan tradisonal sukuToraja).
Aluk Todolo mengajarkan nilai-nilai etika, persatuan, dan keseimbangan dengan alam semesta. Meskipun, kini masyarakat Tana Toraja, termasuk Uluway, banyak memeluk agama Islam dan Kristen, namun mereka tidak meninggalkan ajaran moralitas Aluk Todolo.
Meminjam istilahnya Emile Durkheim, Aluk Todolo dapat dikelompokkan sebagai Totemisme bagi masyarakat Tana Toraja. Meski kini memeluk agama pendatang Islam-Kristen, namun mereka disatukan pada ajaran moral Aluk Todolo.
Selain adanya beragam agama, ternyata Uluway menyimpan banyak tradisi yang masih eksis hingga hari ini. Tradisi tersebut antara lain Rambu Tuka’, Kerja Bakti, Mapakedek Banua, dan lain sebagainya. Selain tradisi juga terdapat beberapa ritual yang masih dilakukan masyarakat Uluway, misalnya Alok Todolo, Ritual Pertemuan, Rumah Adat Tongkonan, Ritual Pernikahan, dan lain sebagainya.
Dalam menajalankan tradisi ataupun ritual, masyarakat saling gotong royong, tidak peduli dari agama apa atau dari suku apa. Perbedaan agama bukan hambatan bagi masyarakat Uluway. Rasa kekeluargaan dan persaudaraan sangat dijunjung tinggi. Sikap seperti ini sudah seharusnya dicontoh di wilayah lain, terutama daerah-daerah yang sering terjadi konflik agama ataupun suku. Maka, tidak salah jika saya menyebut desa ini sebagai desa multikultural.
Toleransi beragama sangat terjaga di wilayah ini, terlebih saat ada acara-acara sosial. Mereka akan saling membantu tanpa pamrih. Sikap yang demikian selaras dengan nilai sila ketiga Pancasila, yaitu persatuan Indonesia.Semangat gotong royong menjadi identitas masyarakat Indonesia yang sangat bernilai. Bayangkan bagaimana jadinya jika sikap gotong royong tidak dimiliki masyarakat, tentu yang terjadi adalah perpecahan dan pertumpahan darah.
Masyarakat Lembang Uluway menganggap semua adalah saudara, tanpa memandang ras, suku, agama, etnis, maupun budaya. Oleh sebab itu, perbedaan agama, bahasa, ras, suku, dan budaya tidak menjadi persoalan sehingga mereka senantiasa hidup damai.
Tidak lepas dari banyaknya agama dan kepercayaan masyarakat Uluway, ternyata di wilayah ini terdapat lima rumah ibadah, yaitu antara lain dua masjid, saru musala, dan dua gereja. Sikap hidup yang damai ini membawa masyarakat untuk gotong royong dalam pembangunan rumah ibadah. Mereka yang memiliki harta berlebih akan membantu secara finansial, sementara masyarakat yang tidak bisa membantu secara finansial akan mencurahkan semua tenaga.
Sikap yang patut diapresiasi dan sangat bijaksana, yang demikian harus terus dipertahankan sampai generasi selanjutnya agar tetap lestari. Namun, yang menjadi tantangan saat ini adalah hadirnya modernitas di tengah kehidupan masyarakat yang kemudian mengubah live style dan sikap mereka. Hal seperti ini sudah menjangkiti masyarakat perkotaan yang serba hedon. Kini saatnya peran orang tua dan guru kembali menanamkan dan memantapkan ajaran-ajaran Aluk Todolo.