Perlahan-lahan napas Ki Mastuni berembus semakin pelan. Malaikat maut seakan sudah siap menjemputnya. Tetapi raut wajah mertua Badrun itu begitu sumringah. Sebab, semasa hidupnya ia selalu mengikuti petuah agama serta merawat dan menjaga tradisi yang berkembang di masyarakatnya. Ki Mastuni termasuk tokoh desa yang disegani. Sedangkan, Badrun sendiri adalah seorang kiai muda yang membantu tugas-tugas mertuanya.
Kini Badrun dan Sulastri membimbingnya dengan kalimat-kalimat sakral. Riuh orang mengaji terdengar seantero ruangan itu. Bahkan, beberapa santri yang mendoakannya sesenggukan melihat kondisi Ki Mastuni yang sedang sakaratul maut.
“Nak, rawatlah sawah agar nutrisi bangsa dan anak cucu kita terpenuhi dengan baik,” itu pesan mertua Badrun. Badrun dan Sulastri duduk menemaninya saat detik-detik terakhir sebelum Ki Mastuni meninggal dunia.
“Dan kamu, Las, taatlah pada suamimu, seperti padi-padi yang menunduk, agar hijau seperti tembakau,” ucapnya kepada anak satu-satunya itu. Sulastri menyimpan tangis di matanya. Meski berusaha ia tahan, air matanya tetap berlinang jika mengingat perjuangan bapaknya membiayai kebutuhan hidupnya selama ini. Selain itu, pengorbanan dan perjuangannnya di mata masyarakat begitu kentara.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucap orang-orang di sekitarnya. Masyarakat desa begitu ramai mengantarkan jenazah mertua Badrun. Maklum, mertuanya adalah orang berpengaruh dan sangat berpegang teguh kepada agama dan merawatnya dengan baik. Ki Mastuni seringkali memberikan tausiyah-tausiyah keagamaan kepada masyarakat sekitar. Meskipun ada masyarakat yang sering mencomoohnya, tetapi dirinya tetap sabar dan tabah.
Di kampung itu, mendung seakan ingin menjatuhkan derainya ke bumi memberikan satu pertanda bahwa bumi kini sedang kehilangan seorang yang sangat berjasa untuk agama, bangsa, dan masyarakat.
***
Badrun terus saja mengayunkan cangkulnya menggempur tanah yang menghampar di samping rumahnya. Keringat mengucur di keningnya. Sementara, terik matahari bukan satu alasan bagi Badrun untuk berhenti menjadi petani di desa yang menyimpan sejuta keasrian.
Selain menjalani tugas sebagai guru ngaji, berprofesi sebagai petani telah mengajari Badrun menjadi manusia yang menjaga marwah tanah. Apalagi, dirinya kini baru saja menjadi kepala rumah tangga setelah beberapa bulan yang lalu menikah dengan seorang gadis cantik jelita di desa sebelah.
Dari kejauhan, Sulastri, istrinya, membawakan sarapan yang akan disantap bersama. Semilir angin di dangau yang sangat sejuk menemani kebersamaan mereka sembari memandangi tembakau yang menjuntai, begitu hijau melambai-lambai menyentuh sorot mata setiap orang yang memandangnya. Sawah beribu hektare itu menjadi satu-satunya tulang punggung bagi keluarga Badrun dalam menuai hasil panen yang melimpah setiap tahunnya. Tanah itu adalah warisan dari mertuanya yang sudah meninggal dua hari setelah pernikahannya.
“Abi, istirahat dulu,” panggil istrinya. Badrun terhuyung-huyung beraura girang dari tengah sawah ingin sekali melihat kondisi anaknya yang masih ada dalam perut istrinya yang mulai membesar. Napasnya terengah-engah penuh semangat menggelora.
Mereka berdua menikmati makan siang dengan penuh perasaan kasih sayang. Sesungging senyum istrinya telah menjadi penyejuk hati Badrun di tengah cuaca yang begitu garang. Sedangkan, bayinya dalam kandungan menjadi cambuk bagi jiwanya untuk makin bersemangat bekerja.
Semenjak dikelola Badrun, hasil panen memang makin melimpah. Barangkali —menurut keyakinan masyarakat desa— berkat perantara dirinya menikah dan rezekinya semakin terjamin sebab anak yang dikandung istrinya membawa seribu kebaikan dalam kehidupan rumah tangganya.
“Bagaimana kabar anakku dalam perutmu, sayang?” tanya Badrun romantis.
“Alhamdulillah, baik kok, Abi,” jawab istrinya manja. Mereka saling tatap menemukan ketentraman batin masing-masing.
“Oh iya, Abi. Besok akan ada acara salat istisqa bersama. Abi juga diundang ke sana oleh masyarakat.” kata Sulastri mengingatkan suaminya.
“Buat apa kita harus mengikuti salat istisqa, itu kan hanya budaya masyarakat saja? Bukankah semua makhluk hidup di dunia ini sudah dijamin rezekinya,” tukas Badrun sembari menyantap makanan yang dihidangkan istrinya dari menu khas di desanya.
“Apalagi sekarang banyak orang menanam tembakau, pasti mereka tidak merindukan hujan,” lanjutnya.
“Bukan begitu, Abi. Tapi, salat itu memohon agar tidak terjadi kekeringan,” bela Sulastri kepada suaminya.
“Alah, omong kosong dengan salat itu! Coba pikir menggunakan akalmu, kalau salat hanya untuk tujuan itu, nanti akan mengurangi ikhlasmu,” nada bicara Badrun mulai meninggi. Sikap keras kepalanya muncul secara tiba-tiba.
“Jangan bicara begitu, Abi. Bagaimanapun keadaannya kita harus tetap tunduk kepada Tuhan yang Maha Kuasa, harus banyak bersyukur dan memikirkan nasib desa kita agar tidak dilanda kekeringan!” jawab Sulastri memelas, meredakan amarah suaminya sembari membereskan piring sisa makanan suaminya.
“Lebih baik kemarau dari pada tembakau kita menjadi emas hijau yang tidak dilirik pengusaha industri,” Badrun meninggalkan istrinya dan berangkat bekerja kembali ke tengah sawah. Sulastri hanya melongo mengamati tingkat laku suaminya dan menekan dadanya dalam-dalam.
***
Pagi itu Matahari memang mengumbar cerah dari ufuk timur ditemani mendung yang sesekali berlindung di balik atap langit. Badrun duduk di beranda rumahnya, ditemani secangkir kopi dan rokok yang mengepul. Sulastri hanya bisa terbaring di kamarnya karena perutnya sudah membesar dan tidak bisa pergi ke mana-mana. Salah seorang tetangga lewat di samping rumah Badrun seusai melaksanakan salat istisqa dan berhenti di rumah Badrun untuk sekadar becengkrama.
“Aneh, Ra Badrun!” Kiai Salim memulai perckapan.
“Kenapa, Kiai?” tanya Badrun penasaran.
“Banyak orang yang tidak datang ke masjid tadi,” ujar Kiai Salim yang juga seorang sesepuh desa.
“Lalu?” lanjut Badrun.
“Ini menandakan bahwa masyarakat sudah dirasuki sikap kapitalisme, hanya mementingkan pekerjaan dan uang saja,” jawabnya tegas.
“Alah, itu hanya gara-gara sikap malas mereka beribadah, Kiai!” Badrun meremehkan.
Matahari merambat ke pangkal siang. Mendung menyelimuti langit desa seakan-akan ingin menurunkan hujan yang akan berderai ke segenap penjuru bumi. Badrun tertawa lepas menyaksikan peristiwa yang dirasanya paling lucu selama hidupnya dari perkataan Kiai Salim siang itu. Dengan nada pongah ia menghardik Kiai Salim di hadapannya.
“Haha. Lihatlah, Kiai! Sekarang hujan turun deras!” kata Badrun menggelegar di telinga Kiai Salim.
“Mana mungkin akan terjadi kekeringan, meski tidak salat Allah akan menjamin hidup manusia di dunia, Kiai,” lanjutnya dengan nada sombong. Mendung mengguncang dada Kiai Salim. Ia tidak percaya bahwa Ra Badrun begitu keras hatinya, tidak seperti mertuanya yang sudah meninggal.
***
“Maaf, Ra Badrun. Istri dan anak bapak tidak bisa kami selamatkan,” ucap Dokter Anggi merendah.
“Pulang! Atau saya bunuh kalian!” hardik Ra Badrun menodongkan pisau. Matanya nanar.
Dokter Anggi dan kepala desa beringsut meninggalkan Badrun dan istrinya.
Hujan terus mengguyur desa tiada henti. Masyarakat desa kini mulai menatap Badrun dengan tatapan aneh. Bahkan, ada bisik tetangga yang tersiar membicarakan keadaannya. Badrun bahkan menghiraukannya. Membiarkan mereka berbicara sesuka hati. Tidak ada gunanya protes karena ini adalah bagian dari hidup yang diyakini benar oleh Badrun.
Badrun menatap sawahnya yang mulai membusuk. Tanaman tembakaunya terkena penyakit hama. Kelopak matanya hanya berisi segala macam pikiran dan ketakutan-ketakutan. Ia tertawa terpingkal-pingkal sambil mengingau bersama rokok dan seikat tembakau busuk yang berada di tangannya.
Sehabis subuh hujan masih saja bertandang dan kenangan selama berhari-hari basah kembali dalam ingatan Badrun. Sesekali ia tertawa tanpa sebab yang jelas.
“Kasihan, ya, lora muda yang duda itu,” ujar dua orang gadis desa yang lewat di sampingnya.