Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Agama itu nasihat.” Namun hari ini, nasihat sering berubah menjadi doktrin. Banyak orang beragama bukan lagi untuk menyadari diri, tetapi untuk meneguhkan superioritas. Fenomena ini menghadirkan wajah baru keberagamaan yang menakutkan. Agama kehilangan kesadarannya, dan manusia kehilangan akalnya.
Beberapa waktu lalu, beredar kalimat di media sosial yang berbunyi, “Jika alkohol diharamkan karena memabukkan, maka agama pun seharusnya diharamkan karena membuat orang kehilangan akal.” Kalimat ini memang provokatif, tetapi juga menggoda untuk direnungkan. Ia mengajak kita berpikir, bagaimana mungkin sesuatu yang mestinya menyadarkan justru membuat manusia mabuk keyakinan.

Mabuk Agama
Agama semestinya menjadi jalan menuju kesadaran. Namun pada kenyataannya, banyak yang menjadikannya alat untuk melarikan diri dari kenyataan. Di media sosial, keimanan dikemas seperti tontonan. Doa dijadikan konten. Air tangan seorang tokoh spiritual dijual sebagai jimat keselamatan. Agama berubah menjadi pasar spiritual tempat orang menukar logika dengan harapan gaib.
Karl Marx pernah menyebut agama sebagai opium of the people atau candu rakyat. Bukan karena ia menolak Tuhan, tetapi karena melihat bagaimana agama sering digunakan untuk meninabobokan kesadaran sosial. Fenomena yang sama bisa kita lihat hari ini, ketika agama bukan lagi sumber keberanian berpikir, tetapi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan popularitas.
Mereka yang mabuk agama tidak lagi mencari kebenaran, tetapi pembenaran. Beragama bukan untuk mendekat kepada Tuhan, tetapi untuk meneguhkan identitas. Dalam istilah psikologi agama, ini disebut religious narcissism, yakni ketika agama dijadikan cermin untuk memuja diri sendiri.
Pesantren dan Bahaya Kultus Kesucian
Pesantren dalam sejarahnya merupakan tempat menyatu antara iman, ilmu, dan kebudayaan lokal. Para kiai mengajarkan kitab kuning, menanamkan adab, dan merawat tradisi.
Dalam pandangan Clifford Geertz, pesantren adalah “penjaga ortodoksi” yang berperan menjaga kesalehan masyarakat. Namun di tengah perubahan zaman, tantangan muncul ketika penghormatan kepada guru bergeser menjadi kultus personal.
Kiai memang mulia, tetapi ketika murid berhenti berpikir dan hanya memuja, maka pesantren kehilangan jiwanya. KH Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menulis bahwa ilmu tanpa akhlak menyesatkan, dan akhlak tanpa ilmu menutup akal. Maka pesantren seharusnya menjadi ruang dialektika antara iman dan nalar, bukan ruang pembiusan spiritual.
Santri sejati bukan hanya yang hafal kitab, tetapi yang mampu memahami maknanya dengan kritis dan rendah hati. Mabuk agama di lingkungan pesantren tidak berarti maksiat, tetapi ketika santri berhenti berpikir dan merasa cukup dengan kesalehannya sendiri.
Santri di Era Digital
Era digital melahirkan santri baru. Mereka belajar agama dari video satu menit, kutipan singkat, dan ustaz viral di media sosial. Dakwah menjadi konsumsi cepat, seperti minuman energi: menguatkan sesaat tapi melemahkan dalam jangka panjang.
Fenomena ini melahirkan generasi yang fasih mengutip tapi malas berpikir. Mereka hafal dalil tapi kehilangan konteks. Jika pesantren terseret arus ini, maka Indonesia akan kehilangan benteng nalar yang selama ini menjaga keseimbangan antara iman dan akal.
Ujian Kesadaran
Indonesia adalah negeri dengan ribuan pesantren, ratusan etnis, dan beragam agama. Dalam keberagaman ini, kemabukan agama menjadi ancaman serius. Fanatisme yang menolak perbedaan menjelma menjadi kekerasan simbolik yang mengikis nilai kemanusiaan.
Robert Bellah dalam Religion and Human Evolution menulis bahwa agama bisa menjadi sumber moral publik, tetapi juga alat kekerasan jika kehilangan refleksi diri. Di Indonesia, pesantren seharusnya menjadi penyeimbang, bukan pengeras suara. Ketika sebagian pesantren justru menolak budaya lokal dan menutup ruang tafsir, maka wajah Islam Nusantara yang damai akan memudar.
Akal dan Iman: Dua Sayap Kesadaran
Imam al-Ghazali menyebut akal sebagai “lampu hati”. Tanpa akal, hati kehilangan arah. Ibn Rusyd menegaskan bahwa agama dan filsafat adalah dua jalan menuju kebenaran yang sama. Keduanya seakan memberi peringatan kepada kita bahwa agama tanpa akal melahirkan fanatisme, sedangkan akal tanpa agama melahirkan kehampaan.
Keseimbangan keduanya adalah penawar dari segala kemabukan. Agama seharusnya mengasah kesadaran, bukan menghapusnya.
Menyadarkan Agama
Jika alkohol memabukkan akal dan menjerumuskan tubuh, maka agama yang kehilangan kesadaran bisa memabukkan hati dan menjerumuskan bangsa. Di sinilah peran santri menjadi penting, bukan sekadar menjaga tradisi, tetapi juga menjaga agar agama tetap sadar.
Kesalehan sejati bukan diukur dari banyaknya amalan, melainkan dari kejernihan berpikir dan keluasan hati dalam menghormati perbedaan. Santri sejati bukan hanya benteng akidah, tetapi juga benteng nalar.
Agama yang benar tidak membuat mabuk, melainkan membangunkan manusia dari mabuk kekuasaan dan keseragaman. Karena iman sejati bukan kehilangan akal, tetapi menyadari betapa luasnya misteri Tuhan yang tak mungkin dimonopoli siapa pun, bahkan oleh mereka yang mengaku paling suci.

 
							 
  
  
  
  
 