DARI GELAP MENJADI TERANG
entahlah semua yang telah menjadi saksinya berembun pada kening manis kita
serupa awan yang merembeti citra lestari di keluasan
di awal dimana pesta dimeriahkan menggelegar jantung yang sekali tak tersentuh: kita terjatuh
betapa namamu kala itu terpintal-pintal menjulang di dadaku yang terdalam
menjelma setangkai panah menancap jenggala di derai-derai aksa
tak hanya tak mampu ditafsirkan
pada kenyataannya mereka kayuh griya tanpa jejak di mata
“barangkali gatra cinta yang dini ini menemukan sendiri dalam dan tenggelam perlahan”
akhirnya aku mengayuh juga dalam tamasya yang penuh dengan sandiwara
aku menemukan yang sedini itu menyalang paraumu menjadi perempuan yang satu di dunia pitaloka
berselaput meriang dari kejang-kejang matamu
bedil dan badik monolog cinta yang satu-satunya di hadiahi tepuk tangan.
maka dari itu, tiada yang menuntutku monyet yang bercinta nihil pribahasa
sebab, wajah-wajah perjalananmu tiada henti mengeja-tafsiri yang mengembang
telisik aroma yang tertuang dari sepanjang cinta sinta dan rama
di takdir berakhir bahagia
: ia membuntutimu kemana pun akan pergi
ke permukaan gunung payudan dan di kedalaman laut mimpimu
ia tersenyum gagah yang paling disukai dari sepanjang wasilah
melantun berkali-kali bak murottal surah di surau-surau
yang kerap didengarkan, enggan diabaikan
di ceruk mata mereka yang remang sekalipun, bahwa
kehidupan akan menemukan jati dirinya sendiri
menikmati di setiap alunan ke alunan.
kekasih, mereka tidak menemukan yang padu
di tangis sedu dari segala sisi yang berdebu
acap kali melihat kegamangan penuh dengan tabir
maka apabila sewaktu mereka temukan
jangan rahasiakan kepaduan diri kita yang penuh ilalang
hitungan bukan lagi jalan-jalan yang mesti raib di simpang
aroma pagi, siang, malam hingga berpuluh-puluh hujan kejam
bergeraklah berirama cahaya dan suara luka adalah bayangan rindu yang membentang
kupeluk kau dengan dekapan yang tiada bandingnya.
Telang Permai, 2022.
RUAH MADURA DARI SEPETAK RUANG
“ruah madura memimpikan terbang ke gelegar barangkali ada di antara jalan doamu yang purba”
aku katakan padamu belai-belai kuntum warnamu meriah
terdampar luas menguning ilalang bermegah Pertiwi
maka pada obituari hidup
semalam saja mengaminkanmu sebagai tanda cinta dari umat
tak ubahnya wajah riang di taman-taman menepis beludru
dengan pancarona kemenangan di silabus musim ke musim
dengan gamblangnya tuhan tersenyum merekah di pelupuknya
tiadakah yang mampu menyelami derai-derai itu_menyelami limpah tuhan yang kuasa di semenjana.
“maka, wajahmu meras benih-benih ilahi menumbuhi malam kelam menghalau dinginnya pudar”
apa lagi, kehangatan menusuk-nusuk renjana melengkapi kebahagiaan yang puspa
terlahir dari aulia-aulia yang menyerupai mega nyalar ke hati
maka, tiada henti mereka kayuh griya dan rupa keutuhan ialah kejayaan yang mesti hanyut sedalam-dalamnya
sebab, pekat di sudut ruang ialah mimpimu yang ditafsiri oleh tuhan yang berkuasa
: barangkali masih ada proses berkepanjangan serupa
serupa semesta berlimpah cerlang
dan dentuman burung melepas lelah
justru dari segala asa:
barangkali pitawat mereka termasuk ibu lengang dari benalu
lalu ayah merangkulnya sambil tersenyum sinis: ia untuk bersama-sama meredam dari pelajaran merawat
dan prihal sejahtera yang sahaja jua
Maka, pada genggaman waktu dan kepercayaan matahari yang berpanas-panas di petamu sepanjang
melumuri tanah-tanah menjadi kering dan gersang
dari situ, alam semesta menjadi adil tepat menyalakan perbedaan
yang meski satu-satu menyulam ketenteraman dan kepedulian
sesama kita
kita sesama
: saling merasakan enak
dengan luapan asa hingga berkali-kali mencipta darah juang
menyemai budaya leluhur yang layak di perjuangkan tambah
tanpa mengingat prihal usia yang menyandang duka dan cita
atas dasar-dasar nenek moyang mengenakan hidup berpasang-pasangan
berdenting panji-panji islam bergandeng aulia-aulia di sirah tuhan, bismillah.
Telang Asri, 2022
SAKSI HARAPAN YANG TETAP BERMUARA
“dua hari sebelumnya tiga tuan hadir dengan binar berbekal kasih menyeringai. Yang tidak disangka ayah; bersyukurlah atas nama satu-menyatu. Hal serupa aku temui di ujung lalu, wajarlah bila bersama dan saling dan mereka pasti menganggapnya serupa. Sudah pasti atas nama kedekatan sembari akan kembali mengaliri sekelar. Dan aku niatkan musim menyatukan kita ke kedalaman pengharapan.”
aku pernah mengalami duka di balik kepala
saat menunggal hujan yang bersimbah darah
aku lawan rintik bahkan kepulangan seperti jamaah qubro
saling menemukan pengharapan dalam jidatnya, kepulan asap tubuhnya
meringkih dasar tabiat sebagai manusia paling optimistis
hujan masih lebatnya ditikam niatnya
sisipan baju bergumul, namun angannya tetap mengembang
wajah tertusuk duri, lega melangkah.
tangan terkepal meneguhkan kepercayaan
yang tak terlihat cahaya sedikitpun, mestilah
nuh-nuh dan debur doa membentur mistar
retak bagai nama sepenggal “lii’lai kalimatillah”
di belakang ibu mengamini sup buah
yang diracik semenjak hujan mengguyur kota penginapan
aku menyukai masakan khas lahir
para ayah mengais-ngais abjad sendiri
yang senantiasa sebagai lumat bibir milik kita menemukan pengharapan agar takdir cinta anak kecilmu melunak
“oh tuhan, bila kelak tak mengerti apapun, ia berkata akan berlanjut-lanjut meminta tanpa memilah rintiknya membelah jantung. Di ujung sanalah bulan akan menghasilkan terang bagi camar yang remang lalu oleh tangan-tangan menjadi terampil mencari pasangan yang tetap bermuara.”
Bangkalan, 2016-2022