MADURA DARI SEPETAK RUANG

51 views

DARI GELAP MENJADI TERANG 

entahlah semua yang telah menjadi saksinya berembun pada kening manis kita

Advertisements

serupa awan yang merembeti citra lestari di keluasan

di awal dimana pesta dimeriahkan menggelegar jantung yang sekali tak tersentuh: kita terjatuh

betapa namamu kala itu terpintal-pintal menjulang di dadaku yang terdalam

menjelma setangkai panah menancap jenggala di derai-derai aksa

tak hanya tak mampu ditafsirkan

pada kenyataannya mereka kayuh griya tanpa jejak di mata

“barangkali gatra cinta yang dini ini menemukan sendiri dalam dan tenggelam perlahan”

akhirnya aku mengayuh juga dalam tamasya yang penuh dengan sandiwara

aku menemukan yang sedini itu menyalang paraumu menjadi perempuan yang satu di dunia pitaloka

berselaput meriang dari kejang-kejang matamu

bedil dan badik monolog cinta yang satu-satunya di hadiahi tepuk tangan.

maka dari itu, tiada yang menuntutku monyet yang bercinta nihil pribahasa

sebab, wajah-wajah perjalananmu tiada henti mengeja-tafsiri yang mengembang

telisik aroma yang tertuang dari sepanjang cinta sinta dan rama

di takdir berakhir bahagia

: ia membuntutimu kemana pun akan pergi

ke permukaan gunung payudan dan di kedalaman laut mimpimu

ia tersenyum gagah yang paling disukai dari sepanjang wasilah

melantun berkali-kali bak murottal surah di surau-surau

yang kerap didengarkan, enggan diabaikan

di ceruk mata mereka yang remang sekalipun, bahwa

kehidupan akan menemukan jati dirinya sendiri

menikmati di setiap alunan ke alunan.

kekasih, mereka tidak menemukan yang padu

di tangis sedu dari segala sisi yang berdebu

acap kali melihat kegamangan penuh dengan tabir

maka apabila sewaktu mereka temukan

jangan rahasiakan kepaduan diri kita yang penuh ilalang

hitungan bukan lagi jalan-jalan yang mesti raib di simpang

aroma pagi, siang, malam hingga berpuluh-puluh hujan kejam

bergeraklah berirama cahaya dan suara luka adalah bayangan rindu yang membentang

kupeluk kau dengan dekapan yang tiada bandingnya.

Telang Permai, 2022.

RUAH MADURA DARI SEPETAK RUANG

“ruah madura memimpikan terbang ke gelegar barangkali ada di antara jalan doamu yang purba” 

aku katakan padamu belai-belai kuntum warnamu meriah

terdampar luas menguning ilalang bermegah Pertiwi

maka pada obituari hidup

semalam saja mengaminkanmu sebagai tanda cinta dari umat

tak ubahnya wajah riang di taman-taman menepis beludru

dengan pancarona kemenangan di silabus musim ke musim

dengan gamblangnya tuhan tersenyum merekah di pelupuknya

tiadakah yang mampu menyelami derai-derai itu_menyelami limpah tuhan yang kuasa di semenjana.

“maka, wajahmu meras benih-benih ilahi menumbuhi malam kelam menghalau dinginnya pudar”

apa lagi, kehangatan menusuk-nusuk renjana melengkapi kebahagiaan yang puspa

terlahir dari aulia-aulia yang menyerupai mega nyalar ke hati

maka, tiada henti mereka kayuh griya dan rupa keutuhan ialah kejayaan yang mesti hanyut sedalam-dalamnya

sebab, pekat di sudut ruang ialah mimpimu yang ditafsiri oleh tuhan yang berkuasa

: barangkali masih ada proses berkepanjangan serupa

serupa semesta berlimpah cerlang

dan dentuman burung melepas lelah

justru dari segala asa:

barangkali pitawat mereka termasuk ibu lengang dari benalu

lalu ayah merangkulnya sambil tersenyum sinis: ia untuk bersama-sama meredam dari pelajaran merawat

dan prihal sejahtera yang sahaja jua

Maka, pada genggaman waktu dan kepercayaan matahari yang berpanas-panas di petamu sepanjang

melumuri tanah-tanah menjadi kering dan gersang

dari situ, alam semesta menjadi adil tepat menyalakan perbedaan

yang meski satu-satu menyulam ketenteraman dan kepedulian

sesama kita

kita sesama

: saling merasakan enak

dengan luapan asa hingga berkali-kali mencipta darah juang

menyemai budaya leluhur yang layak di perjuangkan tambah

tanpa mengingat prihal usia yang menyandang duka dan cita

atas dasar-dasar nenek moyang mengenakan hidup berpasang-pasangan

berdenting panji-panji islam bergandeng aulia-aulia di sirah tuhan, bismillah.

Telang Asri, 2022

SAKSI HARAPAN YANG TETAP BERMUARA 

“dua hari sebelumnya tiga tuan hadir dengan binar berbekal kasih menyeringai. Yang tidak disangka ayah; bersyukurlah atas nama satu-menyatu. Hal serupa aku temui di ujung lalu, wajarlah bila bersama dan saling dan mereka pasti menganggapnya serupa. Sudah pasti atas nama kedekatan sembari akan kembali mengaliri sekelar. Dan aku niatkan musim menyatukan kita ke kedalaman pengharapan.”

aku pernah mengalami duka di balik kepala

saat menunggal hujan yang bersimbah darah

aku lawan rintik bahkan kepulangan seperti jamaah qubro

saling menemukan pengharapan dalam jidatnya, kepulan asap tubuhnya

meringkih dasar tabiat sebagai manusia paling optimistis

hujan masih lebatnya ditikam niatnya

sisipan baju bergumul, namun angannya tetap mengembang

wajah tertusuk duri, lega melangkah.

tangan terkepal meneguhkan kepercayaan

yang tak terlihat cahaya sedikitpun, mestilah

nuh-nuh dan debur doa membentur mistar

retak bagai nama sepenggal “lii’lai kalimatillah”

di belakang ibu mengamini sup buah

yang diracik semenjak hujan mengguyur kota penginapan

aku menyukai masakan khas lahir

para ayah mengais-ngais abjad sendiri

yang senantiasa sebagai lumat bibir milik kita menemukan pengharapan agar takdir cinta anak kecilmu melunak

“oh tuhan, bila kelak tak mengerti apapun, ia berkata akan berlanjut-lanjut meminta tanpa memilah rintiknya membelah jantung. Di ujung sanalah bulan akan menghasilkan terang bagi camar yang remang lalu oleh tangan-tangan menjadi terampil mencari pasangan yang tetap bermuara.”

Bangkalan, 2016-2022

Multi-Page

Tinggalkan Balasan