Beberapa waktu lalu, jagat media sempat dibuat gempar dengan kabar yang menyebutkan bahwa sebagian kampus di Indonesia terpapar radikalisme. Tentu terlepas dari kabar ini absah atau tidak, dirasa penting untuk mulai memperhatikan guna memghindari atau mencegah, bahkan mungkin memberantas (jika memang ada) paham radikal di lingkungan perguruan tinggi, khususnya terhadap mahasiswa sebagai suatu individu .
Ekstremisme beragama bisa muncul dan menjangkiti siapa saja serta di mana saja. Bentuk ekstremisme yang kerap kali dijumpai adalah mudahnya menjustifikasi sesuatu sebagai bidah, mendiskriminasi suatu golongan, dan mengolok-oloknya karena berbeda keyakinan. Ekstremisme muncul karena tidak adanya sikap moderat. Jika dibiarkan, persoalan ini dapat menjadi awal mula hancurnya suatu bangsa.
Moderasi beragama merupakan sebuah upaya menghindari perilaku ekstrem (berlebihan) dalam mengimplementasikan ajaran agama. Secara sederhana, moderasi beragama menandakan sebuah kemajuan atau perubahan masyarakat dalam bidang keagamaan dan kepercayaan menjadi lebih toleran dengan senantiasa tidak mengabaikan nilai keagamaan itu sendiri. Moderasi beragama akan menciptakan toleransi dan kerukunan pada sesama, yang kemudian dua hal tersebut menjadi cara terbaik untuk menangkal radikalisme agama.
Radikalisme agama memiliki arti paham atau aliran keras dari suatu ajaran agama, sehingga cenderung menimbulkan sikap intoleransi. Radikalisme agama dapat mengancam kehidupan beragama. Lebih jauh, juga akan berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti pengurangan kekerasan; penghindaran keekstreman. Sementara mufasir Quraish Shihab memaparkan bahwa sebenarnya sulit untuk mendefinisikan moderasi beragama dalam konteks Islam, karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalisme dan ekstremisme. Akan tetapi, disebutkan bahwa dalam istilah Al-Quran yang paling mendekati pengertian moderasi beragama adalah “wasathiyah“.
Wasath berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga memiliki arti adil, baik, terbaik, paling utama. Hal tersebut diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 (wa kadzalika jaalanakum ummatan wasathan), yang kemudian dijadikan sebagai titik tolak moderasi beragama. Ada tiga kunci pokok dalam penerapan wasathiyyah ini, yaitu pengetahuan yang benar, emosi yang terkendali, dan kewaspadaan. Tanpa ketiganya, wasathiyyah akan sangat susah bahkan mustahil untuk diwujudkan.
Perbincangan tentang moderasi beragama juga erat kaitannya dengan mahasiswa sebagai generasi emas Indonesia. Dalam misi menyelamatkan Indonesia dari radikalisme dan ekstremisme dengan upaya penguatan moderasi beragama, maka amat penting untuk melibatkan mahasiswa secara aktif. Mahasiswa adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan seorang intelektual serta cendekiawan muda. Hadirnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan, yang tentu mencakup sumber daya manusia sebagai komponen utama di dalamnya. Mahasiswa memiliki tiga peran pokok, yakni sebagai agent of change, social control, dan iron stock.
Agent of change berarti mahasiswa berperan penting menjadi penggerak perubahan. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Social control berarti mahasiswa memiliki kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara iron stock, yang berarti mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh dengan kemampuan dan akhlak mulia.
Mengingat tiga peran pokok tersebut, maka mahasiswa-diakui atau tidak-juga memiliki peran penting dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Dimulai dari lingkup yang paling kecil; keluarga dan lingkungan sekitar. Sebagai kaum muda yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, mahasiswa harus dapat menjadi contoh atau panutan bagi sekitarnya. Oleh karena itulah penting bagi mahasiswa untuk memahami konsep moderasi beragama dan mulai menerapkan serta memperkenalkan pada lingkungannya. Diharapkan setelahnya, masyarakat dapat hidup damai dalam keberagaman, termasuk keberagaman agama.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Islam juga meletakkan dasar ajaran untuk menerapkan sikap moderasi beragama, di antaranya adalah dengan bersikap toleransi, menghargai perbedaan agama, berlaku adil pada semua orang tanpa memandang jenis agamanya, hingga menghormati keyakinan dan cara beribadah umat yang berbeda agama.
Terdapat hal yang kerap kali menjadi kontroversi, yakni pandangan sebagian orang bahwa moderasi beragama adalah salah satu wujud pendangkalan akidah. Hal tersebut tidak benar adanya. Toleransi beragamasebagai salah satu bentuk paling nyata dari moderasi beragamaterwujud dalam sikap menghargai perbedaan agama, namun tentunya tanpa mencampuradukkan akidah. Tidak hanya dalam Islam, konsep toleransi ini juga berlaku dalam agama-agama lainnya.
Dalam menyikapi perbedaan, umat beragama diharuskan untuk saling menghargai. Akan tetapi lagi-lagi yang perlu ditegaskan adalah bahwa saling menghargai bukan berarti kita mencampuradukkan akidah. Saling menghargai yang dimaksud adalah hidup bersama dengan sikap rukun, namun dengan keyakinannya masing-masing; melakukan ibadah tetap harus sesuai keyakinan masing-masing. Sehingga dapat dipahami bahwa moderasi beragama sama sekali tidak menjurus pada pendangkalan akidah.
Esensi atau substansi ajaran agama itu sendiri adalah menghargai kemanusian; menciptakan kemaslahatan bersama. Kemaslahatan bersama muncul dalam bentuk menghadirkan manfaat dan mencegah mudarat. Dalam Islam pun kita diajarkan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Agama adalah suatu hal yang baik. Sehingga keberadaan agama harusnya mampu menciptakan suasana atau lingkungan yang lebih baik; damai. Pada lingkup yang lebih serius, moderasi beragama sebenarnya perlu untuk dijunjung hingga konteks global. Sehingga kemudian agama dapat berperan penting dalam mewujudkan peradaban dunia yang bermartabat.