Siapa sesungguhnya anak-anak kita? Mungkin David, mungkin Mario, mungkin Agnes? Mungkin kita tak benar-benar tahu yang mana. Seringkali kita tak sadar tak mengenali anak-anak kita yang sebenarnya —sampai mereka polah dan kita kepradah.
Itulah yang mungkin terjadi pada peristiwa tragis nan sadis yang melibatkan David, Mario, dan Agnes. Pada peristiwa yang diduga dipicu pengaduan Agnes itu, David mengalami tindak kekerasan yang demikian brutal baik secara psikis maupun fisik oleh Mario hingga menyebabkan luka sangat serius dan nyawanya terancam. Peristiwa yang terjadi pada Senin malam (20/2/2023) itu, dan cuplikan videonya viral di jagat maya, kini sedang ditangani pihak kepolisian.
Peristiwa tragis itu sesungguhnya bukan cuma tentang David dan keluarganya, Mario dan keluarganya, atau Agnes dan keluarganya. Ini juga tentang keluarga besar kita yang bernama Indonesia, dan karena itu peristiwa ini memperoleh perhatian begitu besar dari masyarakat Indonesia. Peristiwa serupa bisa terjadi pada keluarga-keluarga kita, keluarga siapa saja. Sebab, peristiwa tragis ini sesungguhnya telah membuka tabir betapa seperti itulah kita dalam menghidupi dan mengelola keluarga kita, juga keluarga besar kita yang bernama bangsa Indonesia ini.
Mari kita telisik dimulai dari bagaimana kebanyakan kita menghidupi dan mengelola keluarga kita, terutama menyangkut anak-anak kita. Mungkin kita lupa pada sajak pujangga Kahlil Gibran bahwa anak-anakmu bukan milikmu, tapi milik masa depannya. Begitu dilepas dari busur, mereka seperti anak panah yang meluncur deras menuju masa depannya, dan kita tak bisa mengendalikannya.
Mungkin kita lupa pada petuah Sabahat Ali ibn Thalib bahwa anak-anak bukan milik kita, tapi titipan Tuhan yang hanya boleh dididik sesuai keinginan sang pemberi amanat. Mungkin kita lupa pada pernyataan Al-Qur’an bahwa anak-anak kita hanya titipan Tuhan, yang jika kita salah mendidik bisa menjadi sumber fitnah dan kehancuran.
Ada salah kaprah di antara kita, para orang tua. Seakan-akan, sebagai orang tua, tugas dan kewajiban kita adalah membahagiakan anak. Padahal bukan. Tugas kita adalah memberikan pendidikan yang terbaik, memberikan ruang bagi anak-anak untuk tumbuh-kembang sesuai dengan bakat dan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan. Bukan menyuapi mereka dengan kebahagiaan. Apalagi jika makna kebahagiaan itu kita ringkus sedemikian rupa sebagai kelimpahan kemewahan. Percayalah, dengan modal pendidikan yang cukup, dengan ruang berekspresi yang cukup, anak-anak kita akan mencari dan menemukan sendiri kebahagiaan mereka.