Masa Depan NU dan Muhammadiyah Tergilas Algoritma?

Dalam satu dekade terakhir, peta kontestasi keagamaan di Indonesia mengalami pergeseran tektonik yang luar biasa. Jika dulu otoritas keagamaan ditentukan oleh kedalaman sanad di pesantren atau gelar akademis formal di organisasi, kini validitas sebuah pesan agama sering kali hanya ditentukan oleh jumlah likes, frekuensi share, dan durasi tonton.

Di tengah riuhnya lalu lintas digital ini, dua raksasa organisasi massa Islam moderat Indonesia—Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah—sedang menghadapi ujian eksistensial: mampukah mereka tetap menjadi kompas bagi Gen Z, atau justru hanya akan menjadi penonton di pinggiran layar?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Disrupsi Otoritas dan “Bypass” Sanad

Bagi generasi yang lahir dengan gawai di tangan, hierarki organisasi sering kali terasa sebagai beban yang kaku dan lamban. Fenomena “Ustaz Seleb” dan pendakwah mandiri di TikTok atau Instagram telah menciptakan apa yang kita sebut sebagai bypass otoritas. Mereka menawarkan jawaban agama yang instan, visual yang estetik, dan bahasa yang membumi.

Dalam tradisi pesantren, kita mengenal pentingnya muwajahah (tatap muka) dan sanad (silsilah keilmuan). Namun, algoritma tidak mengenal sanad. Algoritma hanya mengenal relevansi dan interaksi.

Persoalannya, konten-konten instan tersebut sering kali lepas dari kontrol tradisi keilmuan yang dijaga ketat oleh kiai-kiai NU atau intelektual Muhammadiyah. Ketika ormas terlalu sibuk dengan urusan birokrasi internal atau politik nasional, ruang kosong di layar gawai anak muda diisi oleh narasi yang kadang dangkal, atau bahkan ekstrem, yang dikemas dengan bungkusan “hijrah” yang menggoda.

Jebakan Formalisme Digital

Kritik terbesar bagi kedua ormas ini dalam transformasi digital adalah terjebaknya mereka pada “formalisme”. Banyak akun resmi ormas masih berfungsi seperti papan pengumuman kantor: kaku, satu arah, dan penuh dengan foto seremoni pejabat organisasi. Mereka sekadar memindahkan konten luring (offline) ke daring (online) tanpa melakukan adaptasi budaya digital yang memadai.

Gen Z tidak sedang mencari pengumuman rapat atau foto bersalaman para tokoh. Mereka mencari solusi atas quarter-life crisis, kecemasan masa depan, hingga etika lingkungan dalam perspektif iman. Muhammadiyah dengan narasi “Islam Berkemajuan” dan NU dengan “Islam Nusantara” seharusnya bisa menjadi oase. Namun, jika pesan-pesan hebat itu gagal dikemas dalam narasi yang relatable dan cair, mereka akan tetap menjadi “barang mewah” yang hanya tersimpan di gudang pustaka, tak tersentuh oleh jempol generasi layar yang lebih memilih mengikuti “influencer dakwah” karena merasa lebih didengar.

Fenomena Muslim Tanpa Label

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya tren “Muslim Tanpa Label”. Generasi hari ini bisa saja mengadopsi gaya hidup disiplin ala kader Muhammadiyah sekaligus menikmati tradisi selawatan khas NU di YouTube, tanpa merasa perlu memiliki ikatan organisatoris (KTA) dengan keduanya.

Secara kultural, hibriditas ini mungkin tampak positif bagi persatuan. Namun secara organisatoris, ini adalah alarm bahaya. Tanpa ikatan struktural, proses kaderisasi akan mandek. Loyalitas mereka terhadap nilai moderasi yang diusung NU-Muhammadiyah menjadi rapuh karena mereka tidak merasa memiliki akar pada institusi tersebut. Mereka menjadi “konsumen agama” yang pragmatis, yang bisa berpindah haluan kapan saja sesuai tren yang ditiupkan oleh algoritma media sosial yang fluktuatif.

Menembus Gema Ruang Digital

Untuk tetap relevan, NU dan Muhammadiyah harus berani melakukan dekonstruksi cara berkomunikasi. Digitalisasi bukan sekadar memiliki akun YouTube atau Twitter, melainkan tentang bagaimana memenangkan pertempuran ideologi di kolom komentar. Ormas harus memberikan ruang luas bagi “penerjemah budaya”—anak-anak muda yang paham esensi nilai-nilai keislaman klasik namun fasih berbicara dalam bahasa visual dan logika Gen Z.

Kita butuh narasi yang tidak hanya benar secara hukum fikih atau tajam secara intelektual, tapi juga menyentuh secara psikologis. Jika kedua organisasi ini gagal bertransformasi, mereka akan terjebak menjadi organisasi “tua” yang hanya dihormati secara formal dalam acara kenegaraan, namun ditinggalkan secara spiritual dalam keseharian generasi masa depan.

Pilihannya hanya satu: beradaptasi dengan kecepatan algoritma melalui kreativitas tanpa kehilangan substansi keilmuan, atau perlahan menjadi artefak sejarah di tengah bisingnya dunia maya. Otoritas kini ada di ujung jari pembaca, dan NU-Muhammadiyah harus hadir di sana sebelum jempol mereka beralih ke narasi yang menyesatkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan