Masjid yang Lupa Menjadi Rumah

Beberapa waktu lalu, media ramai memberitakan peristiwa memilukan di Sibolga, Sumatera Utara (Sumur). Seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya harus kehilangan nyawanya setelah dikeroyok lima orang di halaman Masjid Agung Sibolga. Ia datang ke masjid hanya untuk beristirahat sejenak pada dini hari, namun rumah Allah yang seharusnya menjadi tempat aman, justru menjadi tempat terakhirnya bernaung.

Peristiwa yang terjadi pada Jumat (31/10) dini hari itu menampar kesadaran kita tentang makna sejati sebuah masjid. Di satu sisi, masjid-masjid terus tumbuh megah di setiap sudut kota; di sisi lain, ruang kemanusiaannya justru kian menyempit.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ironisnya, banyak di antara kita begitu antusias berdonasi untuk pembangunan masjid, bahkan menenteng kotak amal di pinggir jalan, namun di saat yang sama, sebagian masjid yang dibangun dengan keringat umat itu justru tertutup bagi umat yang ingin berteduh di dalamnya.

Tembok yang Meninggi

Kita sering melihat di jalan raya: para panitia pembangunan masjid berdiri di bawah terik matahari, menadahkan kotak amal kepada pengendara yang lewat. Mereka memohon bantuan demi terwujudnya rumah Allah yang indah dan megah. Dalam semangat itu terkandung nilai gotong royong, cinta terhadap agama, dan kerinduan untuk membangun tempat ibadah bersama.

Namun, setelah masjid berdiri megah, banyak di antaranya justru menjadi ruang yang sepi dari keramahan. Ada masjid yang melarang anak-anak bermain di halamannya, melarang musafir tidur, melarang warga istirahat, bahkan melarang orang asing sekadar singgah tanpa “izin pengurus.” Padahal dana pembangunan yang digunakan berasal dari kantong umat yang beragam — dari sopir angkot, pedagang kecil, hingga pekerja harian. Masjid yang lahir dari kedermawanan umat kini seakan menjadi milik segelintir orang yang merasa paling berhak menjaga “kesucian”-nya.

Inilah paradoks yang menyedihkan: masjid dibangun dengan tangan-tangan umat, tetapi tidak lagi menjadi tempat bernaung bagi umat itu sendiri.

Jejak Masjid Nabi: Terbuka dan Menghidupkan

Dalam sejarah Islam awal, masjid tidak pernah berdiri sebagai bangunan eksklusif. Di Madinah, Nabi membangun Masjid Nabawi bukan hanya sebagai tempat salat, tetapi sebagai pusat kehidupan. Di sana, para musafir bisa beristirahat. Para sahabat miskin yang disebut ahl al-suffah tinggal di bagian belakang masjid. Nabi bahkan membiarkan rombongan non-Muslim dari Najran berdialog di dalamnya, tanpa merasa “terganggu” oleh perbedaan keyakinan.

Masjid Nabi adalah cermin keterbukaan spiritual: tempat manusia bertemu, berembuk, belajar, beristirahat, dan menyembah Tuhan tanpa batas-batas sosial. Masjid bukan hanya ruang suci secara fisik, tapi juga ruang aman bagi setiap jiwa yang mencari teduh.

Kini, bayangan itu terasa jauh. Masjid lebih sering dijaga oleh kecurigaan ketimbang kasih sayang. Kita takut masjid “ternoda” oleh kehadiran mereka yang berpakaian sederhana, berbau keringat, atau datang bukan untuk ibadah formal. Padahal, mungkin justru mereka yang paling dekat dengan nilai kerendahan hati yang diajarkan agama.

Kesalehan yang Kehilangan Rasa

Kasus di Sibolga bukan sekadar tragedi hukum. Ia adalah potret kesalehan yang kehilangan rasa. Para pelaku mengira sedang menjaga kesucian masjid, padahal yang mereka lindungi hanyalah dinding kosong tanpa jiwa. Di balik niat menjaga adab, tersembunyi kesalahpahaman besar tentang makna kesucian itu sendiri: bahwa yang suci bukanlah lantai marmer atau karpet mahal, melainkan hati yang lapang menerima siapa pun datang ke rumah Allah.

Kekerasan semacam itu lahir dari cara pandang yang menjadikan agama sebagai tembok, bukan jembatan. Kesalehan yang tidak disertai kasih sayang mudah berubah menjadi alat pembenaran atas tindakan tidak manusiawi. Kita lupa bahwa Islam turun bukan untuk menyingkirkan, melainkan untuk menyapa; bukan untuk menilai, melainkan untuk memeluk.

Masjid dan Krisis Kemanusiaan

Masjid hari ini menghadapi krisis yang tidak kasat mata: krisis keterbukaan. Banyak masjid kehilangan fungsinya sebagai pusat kemanusiaan. Ia hidup dalam kemegahan fisik tetapi miskin dalam makna sosial. Di beberapa tempat, masjid lebih sibuk membangun pagar daripada menumbuhkan empati. Padahal, jika kita menelusuri akar sejarahnya, masjid selalu menjadi jantung peradaban Islam, tempat di mana ibadah bertemu dengan kemanusiaan, dan zikir menyatu dengan solidaritas.

Masjid seharusnya tidak hanya menjadi tempat yang mengajarkan tentang Allah, tetapi juga tentang makhluk-Nya. Ia adalah ruang di mana yang lelah bisa bersandar, yang gelisah bisa berdiam, dan yang lapar bisa menemukan tangan yang mau berbagi.

Kembali ke Ruh Rumah Allah

Tragedi di Sibolga seharusnya menjadi cermin bagi seluruh umat. Sebab, yang rusak bukan hanya perilaku lima orang pelaku itu, melainkan kesadaran kolektif kita yang perlahan melupakan makna “rumah Allah.” Rumah Allah, dalam hakikatnya, bukan hanya milik mereka yang rajin berjemaah, tetapi juga milik setiap manusia yang datang dengan niat baik, bahkan hanya untuk beristirahat.

Masjid tidak seharusnya menolak kehadiran manusia, karena setiap manusia adalah tamu Allah. Menutup pintu bagi mereka berarti menutup kesempatan bagi diri kita untuk memahami rahmat Tuhan yang tanpa batas.

Jika Nabi saja membiarkan musafir tidur di masjid, mengapa kita yang mengaku pengikutnya justru mengusir? Jika masjid di masa Rasulullah menjadi rumah bagi semua, mengapa hari ini masjid yang dibangun dari sumbangan umat berubah menjadi tempat yang hanya ramah bagi sebagian?

Kita memang berhasil membangun banyak masjid, tapi mungkin lupa membangun jiwa di dalamnya. Sebab rumah Allah bukan diukur dari tinggi kubahnya, melainkan dari seberapa luas hatinya menerima tamu-tamu Tuhan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan