Dari seorang anak yang biasa-biasa saja, Mat Jirin kemudian dikenal sebagai salah satu ulama kharismatik dan disegani di Tanah Betawi. Itulah buah keuletan KH Muhammad Muhajirin dalam mempelajari semua ilmu hingga menjadi ahli ilmu falak ternama di Indonesia.
Terlahir dengan nama Muhammad Muhajirin pada 10 November 1924, semasa kecil putra dari pasangan H Amsar dan Hj Zuhriah menyandang nama panggilan Mat Jirin —diambil dari nama sang buyut dari silsilah ibunya.
Mat Jirin tumbuh sebagai anak yang tak istimewa alias biasa-biasa saja. Bahkan, kemampuan belajarnya masih di bawah teman-temannya, terutama dalam belajar membaca al-Quran. Karena itu ia sering mendapat teguran dari guru-gurunya. Namun, Mat Jirin memiliki keuletan dan daya juang yang lebih dibandingkaan teman-temannya. Mat Jirin pantang menyerah dan tak pernah putus asa. Semangatnya selalu berkobar untuk mempelajari al-Quran.
Dengan Semangat yang selalu berkobar itulah Mat Jirin berkelana ke wilayah Banten; apalagi tujuannya kalau tidak untuk belajar al-Quran. Di wilayah Banten ia menemui beberapa orang guru, salah satunya ialah KH Sholeh Makmun. Mengetahui kondisi murid barunya, Kiai Sholeh Makmun kemudian membuka “hijab” kebuntuan Mat Jirin dalam membaca dan memahami al- Quran. Berkat bimbingan Kiai Sholeh Makmun, Mat Jirin kemudian mampu belajar sampai fasih melafalkan ayat-ayat suci al-Quran.
Selepas mempelajari al-Quran dari Kiai Sholeh Makmun, Mat Jirin melanjutkan petualangannya dalam memuaskan dahaga akan ilmu kepada para guru untuk belajar berbagai macam ilmu agama. Tidak ada seorang ulama di daerahnya kala itu yang tidak ia jadikan guru untuk belajar. Di antara para guru yang pernah menjadi tempat pemuas dahaganya ialah guru Asmat, H Mukhayyar, H Ahmad, KH Hasbiallah bin Muallim Ghoyar, guru Marzuki bin Mirshod, guru Muhammad Thohir, guru Abdul Majid, dan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi.
Selain itu, Mat Jirin berguru kepada Kiai Manshur, sang maestro ilmu falak. Rupanya, Ilmu yang memerlukann kecekatan mata dan kemampuan berhitung ini cukup mendapatkan perhatian Mat Jirin. Semenjak mempelajari ilmu falak kepada sang maestro tersebut, Mat Jirin mulai mempraktikannya untuk melakukan ru’yatul hilal di kediamannya, yaitu Kampung Baru Cakung. Pada saat itu, Kampung Baru merupakan wilayah yang strategis untuk menantikan munculnya hilal. Begitu pentingnya posisi untuk menempatkan “teropong” sebagai alat untuk ru’yatul hilal, hingga ia harus beberapa kali memindahkannya guna mendapatka tempat yang paling tepat.