“Kau memang gila, Mat. Badanmu itu terbuat dari apa sih?”
“Lah gimana lagi.”
“Sekarang kambingmu berapa, Mat?”
“Yang betina, babon ada tiga. Yang jantan ada empat. Terus yang kecil ada tiga.”
“Wis, keren. Itu semua dari hasil pembagian?” tanyaku.
“Yoi bro,” jawab Mat Rim santai.
Tak lama Pak Us datang. Kami bersiap mengambil kitab di pojok langgar. Saat itu sudah lumayan larut. Bulan sudah hampir nangkring di puncak. Dan angka di jam dinding sedikit lagi akan tegak sempurna.
Memang selalu seperti ini. Ngaji di langgar kami diawali pada saat orang-orang lain memulai bercengkrama dengan kasur dan bantal mereka. Tak pernah jelas alasannya kenapa guru kami itu meminta pada jam tersebut. Namun, kadang ketika salah satu dari kami bertanya beliau hanya menjawab “ada yang ingin ikut selain kalian.” Dan kami hanya bertatapan satu sama lain saat kalimat itu terucap dari bibirnya.
Seusai ngaji, kami masih sempat berbincang. Namun, tak terlalu lama karena kami tahu batas waktu. Juga batas tubuh kami. Besok Mat Rim harus ngarit kembali untuk kambing-kambingnya. Dan aku harus mengurus diriku sendiri, dan beberapa pekerjaanku juga. Kami berlima selalu ngaji tiap malam bersama.
Pada suatu saat, ketika mentari sedang berada di ujung kepala, saya memutuskan untuk singgah di langgar. Tiba-tiba Pak Us datang dengan kendi dari tanah liat berisi air. Seolah tahu kerongkongan ini sedang kemarau karena harus mengangkut panen jagung milik salah satu kerabat. Kami berbincang sebentar mengenai berbagai hal random yang ada di dunia ini.
Lalu saat pada bagian tentang berbagai sifat manusia yang semakin hari semakin tak manusiawi, Pak Us nyeletuk, “Lihat saja kalian berlima, akan ada saat di mana kemampuan kalian menonjol masing-masing. Dan tidak akan ada yang sama.”
Tak terlalu lama aku pamit, karena bawaanku tak bisa ditahan terlalu lama. Namun, tetap saja kata-kata itu melekat sampai kakiku menjejakkan rumah. Aku mulai merenungkannya. Dan yang paling kuingat adalah sosok Mat Rim. Entah kenapa aku ingin melihat apa yang paling menonjol darinya. Setelah memikirkan ketiga temanku yang menonjol dari bidang akademik, sosial, dan bisnis. Tak lupa aku juga sedang mencari-cari. Bahkan sudah lama yang kucari ini tak bisa kutemukan sendiri: bakatku.
Kami kembali setiap malam seusai isya untuk ngaji lagi. Dan itu sudah menjadi rutinitas yang cukup nyaman. Meskipun kadang ada lelah dan bosan yang menyertai. Namun ketika itu kutanyakan pada Mat Rim, malah dia menjawabnya dengan mudah.
“Nggak ada hubungannya ngaji dengan berbagai hal tidak menyenangkan dunia ini.”
“Maksudnya Mat?” tanyaku sambil menggaruk kepalaku.
“Ya misal ngaji sama pintar. Ngaji ya ngaji, urusan pintar mah Tuhan yang ngasih. Kita sekadar menekuni.”
“Terus lagi,” dia kembali mencari contoh.
“Ngaji sama kemiskinan. Memang kalau prinsip ekonomi tanpa Tuhan kita bakal kehilangan waktu cari uang buat ngaji. Lah, tapi kita kan bertuhan. Mau kita jungkir-balik cari uang, tetap baliknya sama Tuhan, kan.”
“Iya, iya.”
Tak lama waktu kami tiba. Rutinitas itu berjalan hingga kami memasuki pertengahan SMA. Ada hari di mana aku harus pergi ke luar kota karena sepupuku menikah. Alhasil, aku berpesan agar bisa nambal ngaji kepada Mat Rim dan juga kawanku yang lain. Saat aku kembali memang terasa tak ada yang berbeda. Kecuali Mat Rim yang langsung pulang seusai ngaji dini hari.
“Lo, Mat, nggak tidur langgar saja? Biasanya kan begitu?”
“Besok harus kerja bangun kandang.”
“Oh, ya sudah, hati-hati, Mat.”
“Oke, bro,” jawabnya santai.
Dia memang gila. Badan yang lebih kecil dari orang seusianya, namun tidak dengan semangatnya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat kawanku Mat. Beberapa hari kemudian salah satu sanak yang mempunyai sawah mengajakku mengangkut hasil panen. Semua badanku terasa berat. Saat itu aku hanya berpikir bagaimana mengangkut semua ini agar lebih cepat selesai. Sekilas aku melihat kandang kambing milik Mat yang tampak baru. Kayunya tampak lebik kokoh dari yang lama. Gentinganya tak lagi berlumut. Dan dinding gedek yang dulu reyot di ganti dengan yang baru. Senang juga rasanya melihat hasil jerih payah Mat terbayar.
Malam itu badanku masih sama, remuk-redam. Tapi aku menanti Mat datang ke langgar untuk mengucapkan selamat. Ternyata ada Yayan yang juga mengawali datang. Kami berbincang sampai pada pembicaraan yang membuat mulutku terdiam. Hatiku mendadak gusar karena tak tahu apa-apa.
“Lah, kamu nggak tahu?”
“Aku kira kamu sudah dengar ceritanya.”
“Nggak ada yang bilang padaku,” ucapku.
Akhir pada waktu yang sama, dan rutinitas yang sama juga. Semua orang tiba, kecuali Mat yang datang agak terlambat. Kami tak sempat berbincang. Bahkan setelah ngaji, Mat hanya duduk sebentar. Lalu dia pamit kembali pulang. Saat itu kawanku yang lain sedang asik berbincang dengan Pak Us. Mat meminta tolong padaku untuk menyalakan flash di gawaiku. Karena sendalnya ditaruh di sisi pojok langgar yang gelap, kami tak terlalu bicara. Aku tak enak menanyakan perihal kandangnya yang telah terbakar hingga rata dengan tanah.
“Sudahlah Kus, santai saja. Nggak ada hubungannya pekerjaan sama ngaji,” dia seolah membaca diamku.
“Untung saja aku tak harus mengganti kambing milik juragan. Itu pun masih syukur karena masih sisa satu. Meskipun yang lain harus jadi kambing bakar,” kelakarnya.
Mat pamitan kepadaku karena harus ngarit pagi-pagi besok. Semua kata-katanya membuatku ingat dengan omongan Pak Us. Akan ada waktu saat kelebihan kawan-kawanku terlihat. Seperti Mat yang tak ingin meninggalkan ngaji, pergi mencari pakan ternak tiap pagi, atau kemampuannya membaca benakku, dan rasa sukurnya yang tak pernah mengeluh.
Saat aku masuk ke langgar tiba-tiba Pak Us nyeletuk lagi. “Ma’unah tak diberikan Tuhan pada manusia yang kalah dengan lukanya. Dia hanya memberi pada hamba yang bisa tersenyum saat susah, dan bersyukur saat bahagia.” Aku membalikkan badan. Kembali menuju ke luar langgar dan memandangi langit malam. Dengan sedikit doa, aku ingin menjadi manusia yang lebih kuat seperti Mat. Semoga saja.