MATA IBU
Puisi ini tak akan mampu, Ibu
Menulis garis-garis di dahimu
Serupa sungai yang sangat panjang
Airnya mengaliri setiap inci kehidupan
Ia tak akam mampu
Menulis malam yang nyeri
Memaksamu menggeser punggungmu
Waktu tertimbun batubatu
Di pelupuk matamu
Dan tetap saja masih kulihat
Bulan benderang di bulu matamu yang ilalang
Aku hanya bisa menerka
Mencoba merasakan
Serpih-serpih kehidupan
Gunung-gunung runtuh di dadamu
Sungai-sungai meluap di cekung matamu
Lalu di mataku
Embun-embun yang lepas
Dari dedaunan
Apa yang lebih berharga
Dari setetes air matamu, Ibu
Jika dibiarkan jatuh
Manusiakah aku?
Yogyakarta, 2023.
PAGI DI MATAMU
Sempurnalah pagiku
Setelah kutemukan mawar di bibir pintu
Matahari meninggi awan menabiri
Embun luruh dari pucuk matamu
Membasahi lusuh dadaku
Ke haribaanmu seluruh rindu berpulang
Ketika cemas datang bertandang
Sebab tak ada yang sesamudra cintamu
Padaku. Kulayari teluk hatimu
Pagi di matamu
Kurindukan dekap kasihmu
Ketika cemas waktu
Serupa muram batu
:Ibu!
Yogyakarta, 2023.
DALAM BENING MATA IBU
Kulihat dulu, Ibu menyusuiku serupa mata waktu
Tak kenal siang atau malam, Ibu mengelusku
Penuh kasih sayang, hingga aku tertidur di pangkuan
Lalu mengajariku merangkak, berdiri, berjalan perlahan
Hingga berlarian mengejar layang-layang
Masa kecil yang hilang.
Kini aku mengerti, mengapa Ibu selalu senyum melati
Menyimpan sedih berlaksa jeruji
Menahan air berdesakan, menginjak runcing bebatuan
Ketika aku merengek-rengek pada malam
Ibu mengelus keningku dengan cinta.
Pada bening matamu, Ibu