“Man adzama maulidin nabiyyi Sallallahu Alaihi Wassallam, fakad ahyal Islam”. Begitulah bunyi salah satu hadits yang termaktub dalam kitab Madarij al-Shu’ud, yang artinya adalah “Barang siapa yang mengagungkan kelahiran Nabi SAW, maka sungguh Ia telah menghidupkan Islam.”
Entah hadits ini terpatri secara kuat dalam benak masyarakat Cikoang, entah tidak, tetapi yang pasti komunitas ini adalah satu di antara sekian komunitas di Indonesia yang merayakan kelahiran Nabi SAW dengan semarak. Setiap tahunnya di bulan Rabiul Awal, tepat di penanggalan 29, masyarakat di komunitas ini tumpah ruah di bibir sungai Cikoang. Di situlah pusat perayaan maulid ini digelar. Maulid itu pun diberi nama Maudhu Lompoa ri Cikoang (Maulid Akbar di Cikoang).
Menjelang puncak perayaan, berpuluh-puluh julung-julung (perahu khas Cikoang) yang telah dihiasi dengan kacak, bergerak dengan anggun menyusuri sungai Cikoang. Julung-julung tersebut sengaja disiapkan warga Cikoang untuk mengarak telur menuju panggung perayaan Maudhu Lompoa. Di atas julung-julung terdapat kandawari. Telur-telur ditancapkan di kandawari yang berbentuk kotak segi empat dengan hiasan yang membuatnya terlihat elok. Sementara itu, di lambung julung-julung tergeletak nasi pamatara (nasi setengah masak), kaddo minyak (nasi ketan) dan ayam kampung.
Setelah julung-julung merapat di bibir sungai, kandawari kemudian dipanggul beberapa lelaki tegap. Diletakkan berjejer di samping panggung perayaan maulid. Di sekitarnya beberapa makanan juga telah tersusun rapi, ada kaddo minyak (nasi ketan) tiga warna: kuning, putih, dan hitam. Ada pula sejumlah lauk pauk dan tak ketinggalan beberapa kudapan. Banyaknya telur dan makanan itu sungguh tak terkira. Konon, warga Cikoang telah mempersiapkan tiga bulan sebelumnya. Seorang warga bahkan bercerita, ia telah mempersiapkan ayam-ayam untuk dipotong pada hari perayaan maulid ini, enam bulan sebelumnya. Sebuah pengorbanan yang sungguh-sungguh untuk kecintaan pada sang Nabi.
Ketika Matahari memanjat semakin tinggi, barzanji mulai dibacakan dari panggung di mana para Tuan (para keturunan Sayyid Jamaluddin) dan Karaeng (bangsawan) duduk melingkar. Barzanji dibacakan penuh semangat dan paras-paras yang membacakannya semringah. Begitu “Asyraka” dibacakan, serentak semua berdiri. Mulai dari yang membaca barzanji, Tuan, Karaeng, para tamu, warga yang hanya datang menonton, tanpa kecuali, semuanya tegak dengan hikmat. Wajah-wajah yang membacakan barzanji semakin bersemangat.
Asyrakal badru Alayna, fakhtafat minhul budur (bulan purnama telah terbit menyinari kami, pudarlah purnama-purnama lainnya)
Bait barzanji dilantunkan dengan langgam khas Makassar. Suara-suara yang merapalkan kisah Nabi itu mengalun semakin tinggi, syahdu, menyayat-nyayat kalbu dan menggetarkan udara. Lalu, seseorang di samping saya bergumam: “Nabi telah datang… Nabi telah datang.”
Ya, semangat Nabi SAW seakan-akan memang telah hadir dalam peringatan kelahirannya yang penuh semangat dan kegembiraan. Bahkan, sebagian masyarakat Cikoang memang meyakini bahwa sukma Nabi betul-betul hadir saat itu. Ikut bergembira bersama umatnya yang begitu semringah memperingati hari kelahirannya.
Bermula dari Sayyid Jalaluddin
Cikoang adalah salah satu desa di Kecamatan Mangngara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sesuai dengan namanya Mangngara Bombang (mencium aroma ombak), desa ini memang terletak di bibir pantai. Gilbert Hamonic (1985) menyebutkan, kampung ini mulai dibuka pada titimangsa 1514. Karaeng Cikondong bersama 44 pengikutnya yang setialah yang merambah pertama kali ke daerah ini. Karaeng Cikondong berasal dari Laikang, kampung yang tak jauh dari Cikoang. Kelak di kemudian hari, Laikang sendiri menjadi kerajaan kecil yang otonom, dipimpin oleh seorang raja Bugis bernama Makkasaung ri Langi.
Sejarah Maudhu Lompoa sendiri bermula dari kedatangan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid pada tahun 1621. Sayyid Jalaluddin yang merupakan keturunan ke-27 atau ke-29 dari Nabi SAW yang berhasil mengajarkan Islam di daerah ini. Cara Sayyid Jalaluddin mengabarkan Islam bagi masyarakat setempat terasa simpatik, karena tidak menyisihkan tradisi yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Lantaran itulah, dua tokoh Cikoang, yakni Danda dan Bunrang yang semula sangat sengit terhadap para penganjur Islam, malah menjadi pengikut setia Sayyid Jalaluddin.
Sayyid Jalaluddin menjadikan peringatan maulid dan pembacaan barzanji sebagai media dialog dengan tradisi yang telah berkembang di masyarakat. Melalui maulid, berbagai kesenian rakyat diakomodasi menjadi bagian penting dalam rangkaian perayaan itu. Itulah sebabnya rangkaian perayaan Maudhu Lompoa di Cikoang berlangsung cukup panjang. Sebelum puncak perayaan, terlebih dahulu digelar berbagai kesenian rakyat, misalnya pertandingan raga, pertunjukan manca (silat lokal) dan royong (nyanyian khas lokal). Bagi masyarakat Cikoang, maulid tanpa berbagai tradisi dan seni itu, ibarat sayur tanpa garam.
Sementara barzanji sendiri tidak hanya tampil saat ada maulid, tetapi disisipkan dalam berbagai ritual selamatan. Beberapa selamatan, misalnya, penyambutan kelahiran anak dan selamatan perkawinan, semuanya tetap diperbolehkan oleh Sayyid Jalaluddin, tetapi yang dibacakan dalam selamatan itu adalah barzanji, bukan mantra-mantra kuno.
Seturut cerita dari Tuan Kai, salah satu sepuh di komunitas Cikoang, dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat, Sayyid Jalaluddin berpedoman pada beberapa kitab yang diboyongnya. Kitab-kitab itu antara lain, kitab Fiqih Siratal Musataqim, Akhbarul Akhira, Tajwid, Farail Qawani Nasarail, Ushuluddin, dan Sauf Saufim.
Dua kitab pertama adalah karya Nuruddin Al-Raniri. Belakangan kitab Akbarul Akhirah diajarkan kepada masyarakat dengan memadukannya dengan tradisi royong (nyanyian pengantar kematian). Akhbarul Akhirah dibacakan pada saat ada orang meninggal disertai dengan nyanyian royong. Belakangan masyarakat sekitar Cikoang, Takalar, Jeneponto dan Gowa lebih mengenal Akhbarul Akhira ini dengan nama kitab Tulkiyamah. Nama Tulkiyamah muncul setelah kitab itu disalin ulang dalam bahasa Makassar dengan aksara arab serang (arab pegon).
Di antara ajaran Sayyid Jalaluddin, yang paling berkesan bagi masyarakat Cikoang tak lain adalah maulid dan pembacaan barzanji. Maulid telah menjadi perayaan yang memperkuat kohesi sosial mereka sebagai satu komunitas, sementara barzanji adalah syair yang memasuki nyaris semua relung perayaan selamatan dalam siklus kehidupan masyarakat Cikoang.
Thomas Gibson (2009) mengakui barzanji telah mengganti mantra-mantra kuno dalam hampir semua upacara siklus kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, dan cermin paling terang mengenai kasus ini adalah komunitas Cikoang. Di atas semua itu, baik maulid maupun barzanji, telah melekatkan rasa cinta di tiap relung hati komunitas ini terhadap Rasulullah SAW. Makanya, tidaklah berlebihan bagi komunitas ini, jika maulid Nabi SAW dijadikan salah satu rukun Islam di antara 40 rukun Islam yang diyakini mereka.
Sayyid Jalaluddin memperingati maulid ini secara besar-besaran pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 H, bertepatan dengan tanggal 11 November 1625. Hadir dalam kesempatan tersebut para pembesar sembilan kerajaan besar, yaitu Sumbawa, Gowa, Bone, Luwuk, Sanrobone, Buton, Galesong, Binamu, dan Laikang. Pada perayaan akbar yang pertama, maulid Nabi SAW disebut Ka’do minyak. Nama itu diambil dari makanan yang disajikan yang bernama kaddo minyak (nasi ketan). Lima belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Rabbiul Awal 1040 H pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad di Cikoang dinamakan Maudhu Lompoa (Maulid Akbar). Sejak saat itulah nama Maudhu Lompoa terus digunakan hingga hari ini. Sementara kaddo minyak tetap menjadi makanan wajib yang harus ada pada perayaan tersebut.
Kecintaan pada Nabi SAW dibuktikan oleh masyarakat Cikoang dengan memperingati kelahiran Nabi sepanjang masa. Tak peduli mereka sering kali dicemooh sebagai pelaku bidah akbar, oleh kalangan Islam tertentu. Tak juga gentar kendati pernah pula diserang secara fisik oleh gerakan DI/TII. Pada titimangsa itu, panggung pembacaan barzanji dirobohkan, seni pertunjukan pada acara maulid dilarang, gendang dan perlengkapan perayaan dihancurkan. Tetapi komunitas Cikoang bergeming. Mereka tetap teguh melaksanakan perayaan maulid. Semua itu dilakukan, tak lain karena komunitas Cikoang ini adalah pencinta Nabi sepanjang hayat.