Melawan Demi Tegaknya Keadilan dan Konstitusi

#Catatan Haul ke-16 Gus Dur

Bulan Desember adalah bulan Gus Dur. Pada bulan ini, bangsa Indonesia, terutama kaum Nahdliyin, di berbagai pelosok akan menyelenggarakan haul KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sebagai bahan refleksi, saya akan menceritakan sepenggal kisah saat terjadi ketegangan politik menjelang pemakzulan Gus Dur dari posisinya sebagai Presiden Indonesia. Penggalan kisah ini barangkali dapat menjadi bahan renungan pada haul Gus Dur kali ini. Siapa tahu dapat menjadi inspirasi dalam menghadapi kondisi kebangsaan dan ke-NU-an saat ini

Pada awal Juli 2001, saya tidak ingat tangal persisnya, saya sowan menghadap Gus Dur di Jalan Irian, sekitar jam 21.00. Suasana di rumah itu sudah agak sepi.  Tamu-tamu yang biasanya antre menghadap sudah tidak ada. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, saat ketegangan politik belum terjadi, banyak tamu datang hingga larut malam. Saat saya menghadap, hanya ada Gus Dur dan para ajudan serta beberapa orang yang biasa mendampingi beliau.

Saat itu, Gus Dur diancam akan dimakzulkan karena dituduh menggelapkan dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar empat juta dollar AS yang kemudian disebut dengan kasus Buloggate. Selain itu, Gus Dur juga dituduh menyelewengkan dana bantuan dari Sultan Brunei untuk rakyat Aceh sebesar dua juta dollar AS, karena tidak disalurkan melalui jalur resmi negara. Kasus ini dikenal sebagai Bruneigate

Atas dua tuduhan tersebut, Gus Dur dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945, pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain tudingan melakukan korupsi, ancaman pemakzulan Gus Dur juga disebabkan oleh kebijakan dan pernyataannya yang dianggap kontroversial dan memancing kegaduhan publik yang menggangu stabilitas nasional. Seperti,  usulan penghapusan TAP MPR Nomor 25 tentang Pelarangan PKI, membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang pernah diucapkan tahun 1994 yang diusulkan kembali saat telah menjadi adi presiden. Pertemuannya dengan Presiden Kuba, Fidel Castro, sampai pemecatan menteri yang dianggap melakukan KKN dan melanggar HAM, juga dipersoalkan.

Berbagai kebijakan ini membuat para politisi Senayan merasa gerah. Mereka berupaya membangun narasi dan mencari legitimasi hukum dan politis untuk dapat menekan Gus Gur dengan ancaman pemakzulan. Ketegangan antara Gus Dur (Istana) dengan politisi (Senayan) ini berlangsung selama berbulan-bulan.

Demi mengendurkan ketegangan antara Istana dan Senayan, muncul gagasan kompromi. Untuk mencapai kompromi, dilakukan lobi-lobi politik guna mencari jalan tengah agar kekuasaan Gus Dur terjaga sampai akhir periode dan kepentingan politisi juga terakomodasi secara aman.

Beberapa tawaran kompromi yang diajukan kepada Gus Dur adalah pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan “Kabinet Kaki”,  yaitu kabinet yang terdiri dari para politisi dari partai politik. Jika Gus Dur menerima tawaran tersebut, maka kedudukannya sebagai Presiden akan dijaga dan diamankan. Bahkan, kasus Bruneigate dan Buloggate akan ditutup jika Gus Dur menerima tawaran kompromi tersebut.

Di tengah keheningan suasana malam di rumahnya di Jalan Irian, saya mencoba memberanikan diri bertanya kepada Gus Dur: “Kenapa sih Gus tidak menerima tawaran kompromi yang diajukan oleh mereka?” tanya saya memecah keheningan suasana.

Mendengar pertanyaan saya, Gus Dur langsung menatap saya tajam, kemudian bicara dengan nada tinggi: “Saya tidak menerima kompromi yang bertentangan dengan konstitusi dan mengkhianati amanat kekuasaan!”

“Memang komprominya seperti apa sih, Gus?” tanya saya dengan hati-hati, sambil mencoba mencairkan suasana yang tegang.

“Tak kasih tahu kamu ya, Tro, kalau saya menerima kompromi, itu sama artinya saya mengkhianati amanah yang diberikan rakyat. Saya duduk di sini, menjadi presiden ini, adalah untuk berjuang mensejahterakan rakyat. Kalau kompromi saya terima, saya tidak bisa melakukan semua itu lagi, kerena kekuasaan saya di-pretheli, saya hanya jadi presiden boneka. Saya bisa menjabat presiden selama lima tahun, tapi saya tidak bisa memperjuangkan nasib rakyat. Buat apa mempertahankan kekuasaan kalau tidak dapat menjalankan amanat,” kata Gus Dur dengan suara pelan, namun nadanya tinggi dan tajam.

Saya terpana mendengar jawaban Gus Dur. Para ajudan yang berada tidak jauh dari Gus Dur menatap kami dengan penuh siaga saat mendengar Gus Dur bicara dengan nada tinggi. Saya sendiri belum pernah melihat Gus Dur bicara seserius ini.

“Saya tidak mau melanggar konstitusi. Ini bukan karena saya tamak jabatan atau serakah. Tapi undang-undangnya memang berbunyi seperti itu. Tidak ada pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden. Kalau harus dibagi-bagi, itu menyalahi undang-undang. Tidak boleh kita melanggar dan menabrak aturan demi kepentingan politik,” kata Gus Dur, masih dengan nada suara tinggi.

“Ngersakke ngunjuk, Gus,” ujar saya mencoba mencairkan ketegangan sambil menyodorkan segelas teh. Gus Dur menerima lalu meminumnya. Ketegangan sedikit reda setelah Gus Dur meminum beberapa teguk teh yang saya tawarkan. Setelah menaruh gelas di meja, saya kembali bertanya: “Terus, bagaimana, Gus? Berarti kompromi tetep ditolak ya?”

“Ya harus ditolak, masak saya menerima tawaran politik dagang sapi dengan menabrak konstitusi dan mengorbankan nilai-niai keadilan demi mempertahankan kekuasaan. Kalau sampai kompromi seperti itu saya terima, ini akan jadi preseden buruk dalam pilitik kita,” kata Gus Dur tegas dengan wajah serius. “Saya akan melawan, meskipun harus kalah. Kalah menang dalam politik itu biasa, yang penting saya tidak salah.”

Jleb… saya termangu dan kehabisan kata-kata mendengar penjelasan dan penegasan sikap Gus Dur. Kami semua diam, hening. Suasana makin senyap karena saat itu kami hanya ngobrol berdua. Hanya ada beberapa ajudan dan beberapa orang yang berada beberapa meter dari tempat kami ngobrol. Saya tidak tahu apakah mereka mendengar obrolan kami, tapi suasana saat itu benar-benar hening setelah Gus Dur menyatakan sikapnya yang tegas dan jelas.

Setelah hening beberapa saat, Gus Dur kembali bicara. Beliau menceritakan langkah-langkah yang akan diambil untuk melawan manuver politik yang akan memakzulkannya. Termasuk, rencana menerbitkan dekrit sebagai upaya terakhir menghadapi manuver politik dan menyelesaikan ketegangan yang terjadi saat itu. Tanggal 23 Juli 2001, dekrit itu benar-benar dikeluarkan Gus Dur, dibacakan oleh Juru Bicara Presiden, Yahya Cholil Staquf. Dekrit ini menjadi puncak perlawanan terhadap politisi yang ingin memakzulkannya.

Peristiwa itu sangat membekas bagi saya, bahkan hingga saat ini. Dari ini saya melihat, bagaimana Gus Dur meneguhkan sikap menjaga nilai-nilai keadilan dan menegakkan konstitusi. Kalau saja saat itu Gus Dur mau berkompromi dan menerima syarat-syarat yang diajukan, mungkin tidak terjadi drama pemakzulan sehingga kekuasaan Gus Dur “selamat” sampai akhir periode. Tapi Gus Dur melawan demi menjaga agar kekuasaan benar-benar dapat menjadi alat mensejahterakan umat sesuai kaidah “tasarruful imam ‘alal ra’iyah manuutun bil maslahah” (kebijakan pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan umat).

Jelas di sini terlihat, Gus Dur tidak menerima begitu saja ketika ada upaya pemakzulan dirinya. Gus Dur melawan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Perlawanan Gus Dur bukan karena ingin mempertahankan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya, tetapi untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan penegakan konstitusi. Gus Dur melihat ada indikasi perebutan kekuasaan untuk disalahgunakan, sehingga dia berusaha menjaganya dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Perlawanan Gus Dur berhenti, ketika risiko terburuk mengadang di depan mata, yaitu adanya potensi pertumpahan darah di antara sesama anak bangsa. Karena, bagi Gus Dur, yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Jika politik sudah mengancam kemanusiaan, maka harus dihentikan. Dan Gus Dur rela melepas semuanya itu, meski dengan perasaan sedih. Saya tahu kesedihan Gus Dur saat itu bukan kerena kehilangan jabatan sebagai Presiden, tapi karena tahu adanya pontensi terjadinya distorsi fungsi kekuasaan. Dan saat ini apa yang dikhawatirkan Gus Dur itu terbukti.

Dua puluh empat tahun lebih peristiwa tersebut berlalu, tapi bagi saya ini menjadi cermin jernih untuk melihat peristiwa saat ini. Apa yang dilakukan Gus Dur dapat menjadi inspirasi dalam menyikapi konflik yang terjadi saat ini. Gus Dur tidak membela kekuasaan atau mempertahankan jabatan. Yang dilakukan Gus Dur adalah membela nilai dan aturan main, agar kekuasaan dapat dipergunakan secara konsisten untuk membangun kemaslahatan umat, bukan sekadar alat memperkaya diri.

Semoga kita dapat belajar dari apa yang terjadi dan dialami Gus Dur, dan kita dapat meneladan apa yang sudah dilakukan Gus Dur, meski dengan risiko yang pahit dan sulit.

Ila Ruukhi Gus Dur, Al Faatihah…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan