Mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut Islam. Demikian juga simpul-simpul budaya bangsa kita banyak dirajut dalam nilai-nilai keislaman. Sudah menjadi tradisi khazanah Islam masyarakat Indonesia memperingati Isra Mikraj. Isra Mikraj merupakan peristiwa luar biasa yang diukur dari rasionalitas manusia biasa. Hal itu karena dianggap aneh dan secara nalar empirik tidak masuk akal.
Kejadian Isra Mikraj diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran yang dinamai surat Al-Isra. Secara bahasa Isra yang berarti perjalanan malam hari antara Nabi Muhammad SAW dan malaikat Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), dan Mikraj yang berarti naik dari bumi ke langit (Sidratulmuntaha) sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Isra ayat 1 dan QS An-Najm ayat 1-18.
Peristiwa Isra Mikraj merupakan mukjizat sekaligus bukti tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Perjalanan Isra Mikraj merupakan perjalanan suci penuh spiritualitas dan moralitas. Banyak hikmah dan nilai pendidikan dibalik peristiwa luar biasa ini. Salah satunya adalah seruan persatuan dan penghambaan diri manusia sebagai hamba Allah.
Secara historis, peristiwa Isra Mikraj mendapat penentangan dari masyarakat Arab kala itu. Namun, Nabi tetap memberitakannya secara jujur dan terbuka. Kaum Arab jahiliah yang sejak awal menolak kerisalahan Nabi semakin menentang dan menganggap Nabi Muhammad bukan hanya berdusta, tetapi telah menjadi gila. Dengan kabar Isra Mikraj itu, bahkan sebagian orang yang telah masuk Islam berubah menjadi murtad. Sungguh, betapa beratnya posisi dan perjuangan Nabi akhir zaman itu dalam mendakwahkan risalah Islam kala itu.
Di kalangan ulama, sejarawan, saintis, dan umat Islam sendiri dari dulu hingga kini terjadi perbedaan pendapat mengenai perjalanan itu, apakah Nabi Muhammad menjalani Isra dan Mikraj itu dengan ruh atau jasadnya atau keduanya. Hal ini perlu dikaji dan dipandang dengan cara pandang yang terbuka. Terlebih di era modern, para pakar sains dan teknologi ikut memberikan sumbangsih keilmuan, menantang riset ilmiah terhadap peristiwa Isra Mikraj.
Meskipun demikian, pertanyaan paling mendasar dari segala pemahaman kita mengenai peristiwa Isra Mikraj adalah, apa yang menjadi substansi dari Isra Mikraj itu sendiri? Apa yang menjadi keintian dari diadakannya dan dihadirkannya sebuah peristiwa ini bagi manusia? Bagaimana kontekstualisasi nilai-nilai Isra Mikraj di era disrupsi?
Substansi Isra Mikraj yang paling primordial terletak pada dua dimensi, yaitu ubudiyah dan ilahiyah. Isra Mikraj menjadi momentum bentuk penghambaan manusia kepada Sang Khalik. Melalui Nabi Muhammad dari Mikraj-nya memperoleh kewajiban ibadah mahdhah, yakni salat lima waktu. Salat juga menjadi jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, serta menjalankan apa-apa yang diizinkan oleh-Nya. Dengan ibadah itu manusia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, memperoleh rida dan karunia-Nya.
Dalam peristiwa itu, jika bukan atas saran Nabi Musa, boleh jadi salat bagi umat Islam tetap 50 kali, sebagaimana ketentuan semula yang Nabi menerimanya tanpa keberatan. Akan tetapi akhirnya hanya 5 waktu yang diwajibkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah wajib ini. Inilah sifat ta’abudi atau ketaatan total Nabi kepada Allah.
Kemudian, pada dimensi ilahiyah peristiwa Isra Mikraj merupakan pertanda dan penanda kekuasaan Allah atas nubuwah atau kenabian Muhammad SAW dalam menunaikan misi Islam. Nabi sendiri tidak merekayasa peristiwa yang tidak mungkin terjadi lagi di masa sekarang.
Buku Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, “Bagi mereka yang sedikit saja dapat memahami karakter kekuasaan ilahiah dan karakter nubuwah (kenabian), mereka pasti tidak akan melihat satu keanehan sedikit pun. Karena di hadapan kekuasaan ilahiah tidak ada perbedaan jarak antara semua bentuk pergerakan makhluk, yang sering tampak di mata manusia. Yang tampak dan yang terlihat di permukaan alam kasat mata manusia tidaklah tepat untuk jadi hakim dalam mengetahui kadar ukuran segala sesuatu, jika dibandingkan dengan ukuran kekuasaan Allah.
Memaknai Kembali
Saat ini kita telah masuk di era disrupsi, era 4.0, di mana terjadi inovasi dan perubahan secara besar-besaran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini mengubah sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Maka mau tidak mau generasi muda harus sudah bersiap menghadapi segala kemajuan itu.
Besar harapan bangsa ini kepada generasi muda. Saat ini, peristiwa Isra Mikraj dapat dijadikan momentum refleksi diri dan menyandarkan segala urusan kita kepada Allah SWT. Di tengah keterbukaan informasi yang semakin tidak terbatas, membuat mindset dan cara berpikir bahwa apakah ada yang salah dari hidup kita? Mengapa kita seolah tertinggal dari teman-teman sebayanya dan hidup kita begini-begini saja, yang pada akhirnya kita terjebak dalam lomba lari yang tidak berujung. Itulah yang terjadi di era digital sekarang.
Maka sebetulnya Isra Miraj menjadi pelajaran berharga kita dalam meningkatkan nilai diri. Sebagaimana makna Mikraj itu sendiri yang artinya adalah naik. Maka di dalam kehidupan kita wajib menaikkan nilai diri sendiri. Memperbanyak amal ibadah, meningkatkan amal kebaikan, dan terus mengembangkan diri adalah sebagian dari perilaku Mikraj yang bisa kita lakukan.
Sejenak kita menengok ke belakang, di masa sekarang seharusnya dengan memperingati Isra Mikraj niscaya mengambil peran pencerahan sebagaimana jejak kerisalahan Nabi akhir zaman. Melalui gerakan pencerahan Islam, umat Islam Indonesia yang mayoritas harus tampil sebagai umat yang berkemajuan.
Kita pasti merindukan Islam di era abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi. Rentang masa itu sering disebut sebagai masa kejayaan Islam atau the Islamic Golden Age. Lahirlah tokoh-tokoh ulama sekaligus ilmuwan seperti Ibn Haitham, al-Biruni, al-Khawarizmi, dan sebagainya yang sangat berpengauh terhadap peradaban Islam. Pada masa itu peradaban Islam berhasil menjadi pusat perhatian dunia. Itulah yang kita harapkan pada generasi muda sebagai ujung tombak peradaban.
Melalui momentum Isra Mikraj menjadi pelajaran bagi generasi muda untuk betul-betul mengaplikasikan nilai-nilai luhur di kehidupan sehari-hari. Isra Mikraj melahirkan karakter pemahaman diri pada nilai sosial dan spiritual. Sehingga menyadarkan dan membentuk manusia yang theomorphis (ideal).
Di tengah zaman yang semakin luntur antara etika, moral, dan agama dibutuhkan pemikiran yang dipayungi nilai “ketuhanan” untuk melakukan pembebasan terhadap kemanusiaan. Dibutuhkan manusia theomorphis untuk membangun revolusi peradaban. Dibutuhkan saling mengkoreksi antara eksistensi dan esensi. Hal ini menjadi sangat penting mengingat sampai detik ini tradisi saling mengakfirkan, tindakan kejahatan, dan hilangnya rasa kemanusiaan masih sering terjadi.
Semoga Allah berkenan menjadikan kita semua istiqamah dalam iman, menjadi pribadi yang lebih baik dan selalu meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT.
Selamat memperingati Isra Mikraj 1444 Hijriyah.