Memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya.
Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan pencipta-Nya.
—KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mata kita, sengaja atau tidak, seringkali membaca kata bijak tersebut. Demikian pula telinga kita, kerapkali mendengar kalam hikmah sarat makna itu. Saking seringnya kita menemuinya, kutipan tersebut tidaklah asing dalam jagat keseharian kita.
Memuliakan atau memanusiakan manusia merupakan perbuatan yang luar biasa baik, sehingga setara dengan memuliakan Tuhan yang menciptakan. Poin utama yang harus kita renungkan adalah bisakah kita memuliakan orang lain tanpa memikirkan kemuliaan kita? Bisakah kita mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan kita? Tentu hal ini sangat berat bagi orang yang tak biasa berbagi. Ia akan merasa terbebani jika harus berkorban mengeluarkan biaya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebab, memuliakan orang lain butuh keikhlasan, jiwa yang besar serta niat yang kuat.
Jika kita tidak mampu memuliakan manusia, maka jalan keluarnya adalah jangan sekali-kali kita menghina manusia. Mohammad Monib dalam buku Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid mengatakan, “Jangan biasakan mulut kita mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.”
Kata menyakitkan yang dimaksud ialah kata yang dapat mencederai hati orang lain. Ucapan yang menyakiti hati orang lain sejatinya mencelakai diri sendiri. Ketika kita menghina orang lain dengan sebutan ‘dasar bodoh, dungu, jahlun murakab, tolol’, secara tidak langsung kita berarti telah menghina penciptanya.
Bahkan, terhadap pencuri atau pezina sekalipun kita tak patut menghakiminya dengan kutukan atau cercaan yang menyakitkan. Sebab, mereka meski pendosa tetaplah manusia yang butuh perhatian dan bimbingan. Kita yang sementara dijauhkan dari perbuatan dosa tersebut, jangan lantas mengklaim diri kita makhluk suci, terhindar dari perbuatan kotor, keji dan najis. Sebab, ketika kita merasa diri lebih bersih dari mereka, niscaya tanpa sadar kita telah takabur. Sedangkan dosa takabur, sulit diampuni.
Ingatkah kita kepada dosa Nabi Adam dan iblis? Nabi Adam sebab tak kuasa menahan nafsu ingin abadi tinggal di surga, dia termakan rayuan iblis laknatullah alaihi, yang akhirnya memakan buah khuldi sebagaimana yang dibisikkan oleh iblis. Nabi Adam bermaksiat, melanggar larangan Allah, lalu diturunkan dari surga. Namun, kemudian Allah mengampuni dosa Nabi Adam dan Siti Hawa. Sementara iblis yang takabur karena enggan sujud ke Nabi Adam sebab merasa derajatnya lebih tinggi daripada Nabi Adam, dosanya hingga sekarang tidak diampuni oleh Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka, cara kita menyikapi jika terdapat saudara kita yang berbuat dosa, sebagaimana yang diteladankan Gus Dur, adalah dengan cara membimbingnya, memberinya pemahaman, mengajaknya secara halus dan santun serta tiada henti terus mendoakannya setiap waktu. Karena terkadang hidup mereka yang tersisih menyudutkan mereka ke jurang maksiat. Walhasil, perhatian, pendekatan dan binaan secara lembut lebih mengena ke jiwa mereka daripada kutukan dan hujatan.
Berkenaan dengan memanusiakan manusia, Gus Dur pernah pula bernasihat, “Jika kamu membenci orang karena ia tidak bisa membaca Al-Quran, berarti yang kamu tuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Quran. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama denganmu, berarti yang kamu tuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu tuhankan bukan Allah, tapi moral. Tuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena, begitulah Allah.”
Ketika kita melihat sesuatu yang tidak kita sukai, biasanya reaksi yang timbul ialah rasa jengkel dan marah. Saatnya kini kita tetap tenang ketika dihadapkan dengan suasana yang menjengkelkan, tanpa reaksi negatif. Sebab, sebagaimana nasihat Gus Dur, kita harus bisa menerima makhluk walau dalam keadaan apapun.
Firman Allah yang berbunyi ‘lakum dinukum waliyadin’ menunjukkan bahwa kita tidak boleh bertingkah bodoh dengan menaruh kebencian terhadap orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Allah telah mewanti-wanti agar kita tidak memaksa kepada saudara-saudara kita yang memang berbeda keyakinan untuk menganut keyakinan kita. Jika Allah tidak mempermasalahkan hal perbedaan keyakinan, kenapa kita mesti mempeributkan? Kecuali jika agama kita mereka hina, kita harus membelanya dengan cara yang baik dan benar, bukan lantas menjelek-jelekkan agama mereka juga.
Wallahu a’lam bishawab.