Setiap musim hujan, banjir kembali menggenangi rumah-rumah warga. Longsor menyusul di wilayah perbukitan, sementara di tempat lain kekeringan justru mengancam kehidupan. Bencana seolah hadir sebagai pengingat berulang bahwa relasi kita dengan alam sedang tidak baik-baik saja. Di balik gemuruh air dan runtuhnya tanah, tersimpan pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana manusia telah menjaga amanahnya sebagai penghuni Bumi?
Fenomena belum mereda: menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2024 tercatat lebih dari 2.181 kejadian bencana di seluruh Indonesia — dan sekitar separonya adalah banjir (Databoks). Angka ini menunjukkan bahwa bencana menjadi bagian dari kehidupan yang terus berulang, bukan insiden sporadis.

Banjir dan longsor memang tak bisa dilepaskan dari intensitas hujan yang makin ekstrem — tetapi kerentanan alam terhadap bencana itu sendiri telah tumbuh jauh sebelumnya.
Laporan terbaru dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyebut bahwa pada 2024 Indonesia kehilangan sekitar 175.400 hektare hutan akibat deforestasi netto (Lestari Kompas, 21/03/2025). Dari kawasan yang tersisa (95,5 juta hektare hutan, atau 51,1% dari total daratan), penyusutan ini menyisakan risiko serius terhadap daya dukung ekosistem (Kehutanan).
Akibat penghancuran tutupan hutan, wilayah tangkapan hujan dan aliran sungai makin rapuh — memperbesar peluang banjir bandang dan longsor. Sebagai contoh, banjir kilat di Sumatra awal Maret 2024 menghancurkan rumah, jembatan, dan infrastruktur, meninggalkan puluhan korban dan kerugian materi besar (Wikipedia).
Dalam konteks ini, bencana ekologis yang terus berulang tidak lagi dapat dipahami semata sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Banjir, longsor, kebakaran hutan, dan krisis air bersih merupakan bagian dari krisis relasi antara manusia, alam, dan cara pembangunan. Dalam perspektif keagamaan, kondisi ini menuntut pembacaan baru: bencana bukan hanya soal takdir, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif manusia sebagai khalifah di bumi.
Di sinilah gagasan fikih bencana dan fikih lingkungan (fikih bi’ah) menemukan relevansinya. Fikih tidak lagi dapat dibatasi pada wilayah ibadah privat, ketika ruang hidup publik justru menjadi medan kerusakan yang sistematis. Fikih bencana menghadirkan agama sebagai kerangka etika untuk membaca keterkaitan antara kerusakan lingkungan, kebijakan publik, dan orientasi ekonomi.
Gagasan ini memperoleh pijakan kuat dalam pemikiran Yusuf al-Qaradawi melalui bukunya Ri‘ayah al-Bi’ah fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah (2001). Al-Qaradawi menyebut perusakan lingkungan sebagai dosa kolektif (itsm jama‘i) karena dampaknya meluas, lintas ruang dan lintas generasi. Dalam pandangannya, negara tidak dibebaskan dari tanggung jawab keagamaan. Perlindungan lingkungan adalah bagian dari tugas moral kekuasaan, bukan sekadar urusan teknis pembangunan.
Di Indonesia, pemikiran ini dipertegas oleh Ali Yafie dalam Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006). Ali Yafie menempatkan penjagaan lingkungan sebagai fardhu kifayah. Jika kewajiban ini diabaikan secara sistematis — melalui pembiaran pembalakan, eksploitasi tambang, dan alih fungsi lahan tak terkendali — maka yang lahir adalah dosa sosial. Dalam kerangka ini, bencana tak lagi dapat sepenuhnya dipahami sebagai musibah yang netral, melainkan sebagai konsekuensi dari kelalaian kolektif.
Pembaharuan fikih ini sejalan dengan pengembangan tujuan hukum Islam (maqashid al-syari‘ah) yang dirumuskan Jasser Auda dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2008). Menurut Auda, maqashid harus dibaca secara sistemik dan dinamis. Perlindungan atas sistem kehidupan, ekosistem, dan keberlanjutan generasi masa depan harus menjadi bagian integral dari tujuan syariat. Dengan perspektif ini, pembangunan yang merusak lingkungan tidak hanya bermasalah secara ekologis, tetapi juga bermasalah secara normatif-keagamaan.
Namun, krisis lingkungan tidak hanya berakar pada persoalan hukum dan kebijakan. Ia juga bersumber dari krisis cara pandang manusia modern terhadap alam. Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) menyebut bahwa krisis ekologi pada hakikatnya adalah krisis spiritual. Alam kehilangan dimensi sakralnya, dan direduksi menjadi sekadar komoditas ekonomi. Ketika alam tidak lagi dipahami sebagai ayat-ayat Tuhan, relasi manusia dengannya pun berubah dari amanah menjadi dominasi.
Dari sudut pandang filsafat moral modern, Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979) mengajukan gagasan etika tanggung jawab antargenerasi. Teknologi dan industri modern telah memberi manusia kekuasaan destruktif yang sangat besar, sehingga menuntut standar moral baru. Setiap tindakan hari ini harus diuji bukan hanya oleh keuntungan sesaat, tetapi oleh dampaknya terhadap masa depan manusia dan bumi.
Dalam skala global, krisis ekologis juga berkelindan dengan ketimpangan struktur ekonomi dunia. Leonardo Boff dalam Ecology and Liberation: A New Paradigm (1995) menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi yang eksploitatif. Negara-negara berkembang kerap menjadi lokasi eksploitasi sumber daya, sementara dampak ekologisnya ditanggung oleh masyarakat lokal. Dengan demikian, bencana bukan hanya persoalan lokal, tetapi juga bagian dari ketidakadilan global.
Kerangka fikih, teologi, dan filsafat ini membawa kita pada pertanyaan kunci: di mana posisi negara, masyarakat, dan organisasi keagamaan dalam pusaran krisis ini?
Negara memegang peran strategis karena memiliki kewenangan regulatif. Penataan ruang, pengendalian industri ekstraktif, perlindungan hutan dan pesisir, serta kebijakan energi berkelanjutan merupakan wujud nyata tanggung jawab ekologis negara. Dalam perspektif fikih bencana, negara bukan hanya bertugas menyalurkan bantuan saat bencana terjadi, tetapi lebih utama mencegahnya melalui kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, regulasi lingkungan hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa daya ubah.
Negara juga memikul tanggung jawab besar dalam mitigasi dan adaptasi bencana. Rehabilitasi daerah aliran sungai, restorasi hutan, perlindungan mangrove, tata kota berbasis risiko iklim, serta penguatan sistem peringatan dini merupakan langkah-langkah preventif yang tak bisa ditunda. Bencana yang berulang menunjukkan bahwa pendekatan reaktif semata tidak lagi memadai.
Peran masyarakat dan organisasi keagamaan tidak kalah penting. Jaringan sosial ormas-ormas Islam memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran ekologis berbasis nilai-nilai keagamaan. Dakwah lingkungan, khutbah tematik tentang amanah sebagai khalifah, hingga gerakan penanaman pohon dan pengelolaan sampah berbasis komunitas adalah bentuk konkret penerjemahan fikih bi’ah dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, masyarakat sipil juga berfungsi sebagai penjaga etika publik melalui kontrol sosial. Partisipasi warga dalam mengawal kebijakan tata ruang, perizinan tambang, dan proyek-proyek strategis menjadi faktor penentu keberlanjutan. Tanpa pengawasan warga, kepentingan ekonomi jangka pendek akan selalu lebih dominan daripada kepentingan ekologis jangka panjang.
Sektor swasta pun tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab etik. Prinsip keberlanjutan harus menjadi bagian dari orientasi bisnis, bukan sekadar pelengkap tanggung jawab sosial. Kewajiban restorasi, pajak lingkungan, dan transparansi dampak ekologis harus ditegakkan secara konsisten. Dalam perspektif fikih bencana, keuntungan ekonomi yang diperoleh melalui perusakan lingkungan tidak sejalan dengan prinsip kemaslahatan.
Fikih bencana pada akhirnya berfungsi sebagai jembatan antara teks keagamaan, refleksi filosofis, dan praksis kebijakan. Ia menuntut keberanian untuk menggeser orientasi pembangunan dari semata pertumbuhan menuju keberlanjutan. Tanpa perubahan paradigma semacam ini, bencana akan terus berulang dengan pola yang sama, sementara penanganannya selalu bersifat jangka pendek.
Solusi yang mendesak harus bergerak simultan pada beberapa level: penegakan hukum lingkungan yang adil, integrasi nilai ekoteologi dalam pendidikan keagamaan, penguatan kapasitas komunitas lokal menghadapi risiko bencana, serta diplomasi iklim yang memperjuangkan keadilan bagi negara-negara berkembang. Semua itu menuntut kerja bersama negara, masyarakat, dan organisasi sosial-keagamaan.
Pada akhirnya, bencana ekologis bukan sekadar peristiwa alam yang datang tanpa sebab. Ia adalah cermin dari cara manusia membangun, mengelola, dan memaknai alam. Fikih bencana mengingatkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga kewajiban keagamaan, moral, dan politik sekaligus. Masa depan tidak ditentukan semata oleh kecanggihan teknologi, melainkan oleh sejauh mana manusia mampu membangun relasi yang adil dengan alam dan dengan sesamanya.
Moh Nur Fauzi, Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi, Editor in Chief Jurnal Darussalam, Penulis Opini-Esai
