Mencari autentisitas dalam dinamika zaman perlu menemukan runutan sejarah keindonesiaan. Untuk itu diperlukan ijtihad pemikiran yang penuh keseriusan, kegigihan, hingga menelaah berbagai referensi baik jurnal maupun berita. Juga memerlukan kepekaan yang prima.
Apakah buku ini mengungkap itu semua? Tentunya, Ya. Buku yang ditulis Ahmad Syafi’i Maarif ini mencoba menawarkan alternatif solutif bagi masyarakat Indonesia. Di mata Buya Buya Syafi’i, panggilan akrab Syafi’i Maarif, badai krisis yang melanda bangsa Indonesia pasti seakan berlalu. Melalui tulisan-tulisannya di buku ini, ia mengungkapkan pencariannya secara gamblang dan kritis agar bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis demi krisis.
Buku Buya Syafi’i yang berjudul Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman ini sejatinya juga menjadi bagian dari kesaksian-kesaksian seorang anak bangsa atas realitas di negerinya. Dalam kesaksiannya, ia menuturkan banyak hal: dari masalah agama, budaya, ekonomi, hingga politik. Dan ia berharap bahwa kesaksian itu dapat membangkitkan bangsa yang sedang mati suri agar segera siuman.
Buku ini merupakan kumpulan artikel Buya Syafi’i yang pernah dimuat di berbagai media cetak. Buku ini didesain dengan baik, dan kumpulan tulisan yang bertebaran di berbagai media dikelompokkan ke dalam empat bagian.
Bagian Pertama diberi judul “Autensitas Agama untuk Kemanusiaan” yang di dalamnya terdiri dari 6 artikel yang semuanya saling berkaitan satu sama lainnya. Bagian Kedua, di bawah judul “Artikulasi Nilai Islam dalam Politik” terdiri dari 8 srtikel, di antaranya berjudul “Etika Qur’ani dalam Berpolitik”. Kemudian Bagian Ketiga, “Bercermin dalam Kegalauan Bangsa” terdiri dari 8 judul. Dan, Bagian Keempat, “Membangun Tanah Harapan Indonesia” terdiri dari 10 tulisan, seperti “Bung Hatta: Integritas Pribadi yang Luar Biasa.”
Yang menarik, dalam salah satu tulisannya Buya Syafi’i menggunakan cara bertutur. Pada halaman 25, misalnya, dia menuliskan, “Suatu pagi, 14 Desember 2002, Pak H M Yusuf Hasyim, pemimpin Pesantren Tebuireng, berkunjung menemani saya di kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Singkat cerita, dia berbincang masalah pemerintahan pusat dan daerah yang kurang responsif terhadap tantangan.” Intinya, dari semua isi teks tersebut Syafi’I memberikan sumbangsih pemerintah peka dengan kejadian dalam negaranya.