Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026 menandai babak baru pembaruan hukum pidana Indonesia. KUHP ini digadang-gadang sebagai upaya dekolonialisasi hukum, menggantikan warisan Wetboek van Strafrecht peninggalan Belanda.
Namun, di tengah semangat pembaruan tersebut, muncul perdebatan publik: apakah KUHP baru lebih mencerminkan nilai hukum negara semata, atau justru mendekati prinsip-prinsip hukum agama, khususnya fikih Islam?

Salah satu sorotan utama KUHP baru terletak pada pengaturan tindak pidana kesusilaan, seperti perzinaan, kohabitasi, dan perbuatan yang dianggap melanggar norma kesopanan. Kelompok pendukung menilai pengaturan ini sebagai upaya menjaga nilai moral dan ketertiban sosial. Sebaliknya, kelompok kritis melihatnya sebagai bentuk intervensi negara ke ranah privat warga negara.
Dalam konteks fikih Islam, persoalan moral dan kesusilaan memang memiliki posisi penting. Fikih jinayah (hukum pidana Islam) mengenal konsep perlindungan terhadap lima tujuan utama syariat (maqāṣid al-syarī‘ah), yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Aturan mengenai perzinaan, misalnya, dimaksudkan untuk menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl) dan stabilitas sosial. Namun, fikih juga menetapkan standar pembuktian yang sangat ketat agar tidak terjadi kriminalisasi berlebihan.
Fikih verus Hukum Positif
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara hukum negara dan hukum agama. Hukum positif berorientasi pada kepastian hukum dan kewenangan negara dalam menegakkan aturan. Sementara itu, fikih Islam tidak hanya menekankan sanksi, tetapi juga aspek moral, edukatif, dan preventif, serta prinsip kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman.
KUHP baru, meski memuat nilai moral yang sejalan dengan ajaran agama, tetap beroperasi dalam kerangka negara hukum modern. Artinya, penerapan pasal-pasal tersebut tunduk pada asas legalitas, pembuktian di pengadilan, serta prinsip hak asasi manusia. Dengan demikian, KUHP tidak dapat disamakan dengan penerapan hukum pidana Islam secara normatif.
Mencari Titik Temu
Membaca KUHP baru dari kacamata fikih seharusnya tidak berhenti pada dikotomi hukum negara versus hukum agama. Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler murni. Nilai-nilai agama, termasuk Islam, secara sosiologis dan filosofis turut memengaruhi pembentukan hukum nasional.
Dalam perspektif ini, KUHP baru dapat dipahami sebagai upaya kompromi: hukum negara yang menyerap nilai-nilai moral dan religius, tanpa meninggalkan prinsip konstitusional dan pluralisme masyarakat Indonesia. Tantangan ke depan bukan sekadar isi pasal, melainkan bagaimana hukum itu ditegakkan secara adil, proporsional, dan tidak diskriminatif.
Karena itu, perdebatan mengenai KUHP baru menunjukkan bahwa hukum bukan sekadar teks undang-undang, melainkan cermin nilai yang hidup dalam masyarakat. Membacanya melalui kacamata fikih membantu kita memahami akar moral dan tujuan etik di balik aturan hukum. Namun, yang lebih penting adalah memastikan bahwa hukum negara tetap menjadi sarana keadilan, bukan alat pembatasan yang melampaui batas kemanusiaan.
Sumber Rujukan:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta.
3. Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami (Hukum Pidana Islam).
4. Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.
5. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
