Secara kebahasaan, teks-teks dalam rumusan Pancasila ternyata problematik. Teks atau frasanya mengandung ambiguitas dan kesalahan sehingga sulit dimengerti. Juga membuka peluang adanya multitafsir dan penyimpangan.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi buku berjudul Eksegesis Pancasila, Membaca Ulang Lima Sila: Amatan Seorang Jerman, di sebuah hotel di Kelapa Gading, Jakarta, Minggu (14/12/2025) malam. Buku tersebut karya Indonesianis asal Jerman, Berthold Damshauser. Ia menguliti dan menggali makna teks Pancasila melalui pendekatan eksegesis. Bahkan, Damshauser berani mengusulkan rumusan baru teks Pancasila.

Eksegesis merupakan metode interpretasi ilmiah untuk menggali dan menjelaskan makna asli dari sebuah teks, dengan menganalisis konteks historis, sastra, dan linguistiknya untuk memahami maksud penulis semula. Tujuannya untuk mengeluarkan makna dari teks, bukan memasukkan ide pribadi (eisegesis). Melalui metode ini diharapkan diperoleh pemahaman menjadi lebih akurat dan objektif.
Sementara, Damshauser merupakan seorang pakar bahasa dan sastra Indonesia selama hampir empat dekade di Universitas Bonn, Jerman. Ia banyak menerjemahkan karya sastra dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jerman dan sebaliknya. Juga pernah menulis buku Mythos Pancasila (2021). Ia juga cukup lama tinggal di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia. Bahkan, lelaki yang punya istri perempuan Jawa ini juga pernah menjadi penerjemah Presiden Suharto.
Banyak intelektual dan pegiat sastra yang menghadiri acara diskusi bukunya. Di antaranya, Nasir Tamara, Denny JA, Agus Sarjono, Jamal D Rahman, Mahwi Air Tawar, dan lainnya. Analisis teks dalam buku Damshauser ini cukup memantik diskusi yang hangat.
Damshauser memulai analisis eksegesisnya dari sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, dan berfokus pada kata “Ketuhanan”. Berakar pada kata Tuhan, dengan afiks atau konfiks “ke- -an”, “Ketuhanan” menjadi kata sifat yang bermula dari kata benda. Di sini, menurut Damshauser, kata “Ketuhanan” tidak merujuk pada pribadi, Tuhan, melainkan merujuk pada yang ilahiah, sesuatu yang metafisik, spiritual, dan transenden.
Dengan demikian, menurutnya, sila pertama sesungguhnya tidak berbicara tentang “kepercayaan kepada Tuhan”, melainkan pada ketuhanan atau kelahiran yang berlaku secara umum dan dipercaya semua agama. Dari sini Damshauser menegaskan bahwa sila pertama menegaskan bahwa Indonesia berpijak pada ketuhanan/keilahian, suatu keyakinan yang merujuk pada rana metafisik atau entitas spiritual yang melampaui pengalaman empiris. Namun, menurutnya, sila pertama tersebut sering disalahpahami sebagai yang berorientasi pada dogma agama tertentu, bukan prinsip yang transenden dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
