Dalam khazanah abad pertengahan, kedudukan antara akal dan wahyu mendapat banyak perhatian. Atensi terhadap dua entitas ini yang nantinya juga berpengaruh bagaimana corak pemikiran yang dihasilkan selanjutnya. Hal tersebut masih sering banyak dikaji di dalam studi Islam belakangan.
Salah satu ulama yang menaruh perhatian pada isu tersebut adalah Ibn Taimiyah. Pemikirannya tidak sedikit mempengaruhi khazanah keislaman mutakhir. Saya berani menjamin, jika disebut nama Ibn Taimiyah, yang telintas di pikiran banyak orang adalah Mazhab Salafi cum Wahabisme. Itu bukan sesuatu yang berangkat dari kekosongan, sebab memang para pegiat yang sering mendaku penganut Mazhab Salaf banyak menukil Ibn Taimiyah.
Ia sendiri juga banyak mempengaruhi Muhammad bin Abdul Wahab. Kita paham, gerakan purifikasi Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H/ 1703-1792 M) di tanah Arab bertepatan dengan superioritas dinasti Saud. Salah satu catatan yang masih segar dalam ingatan kita adalah ketika Raja Saud hendak membongkar makam Nabi Muhammad Saw. Isu yang terakhir ini sekaligus punya andil besar dalam terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU) dengan Komite Hijaz-nya. Seperti itulah catatan sejarah yang mendominasi hingga detik ini.
Ibn Taimiyah lahir di kota Harran dan besar di kalangan Mazhab Hanbali. Barangkali, corak pemikiran Ibn Taimiyah ini tidak pernah kalis dari corak yang dianut Mazhab Hanbali. Meski di sini tidak hendak dijelaskan, kohesi antara keduanya, sekadar memperjelas kondisi sosiologis Ibn Taimiyah dibesarkan. Sehingga, ketika suatu saat kita menemukan corak yang bersentuhan antara Ibn Taimiyah dengan Mazhab Hanbali, tentu tidak akan mengejutkan. Karena Ibn Taimiyah memang besar di kalangan Mazhab Hanbali.
Selanjutnya, kita akan coba menengok bagaimana alur pemikirannya serta melakukan pembacaan ulang. Sebagai ulama yang tercatat sangat produktif dengan berbagai karangannya, tentu perlu kiranya untuk membaca beberapa poin penting dalam pemikirannya. Hal itu juga nanti bisa ditarik benang merah —sejauh mana pengaruh pemikiran Ibn Taimiyah sendiri dalam studi Islam mutakhir. Dalam wacana wahyu dan akal, tentu bisa dengan mudah dikatakan, bahwa Ibn Taimiyah lebih mendahulukan wahyu. Ia meletakkan inferioritas akal di bawah dominasi wahyu. Artinya, inferioritas akal dianggap tidak bisa melangkahi wahyu (nash).
Di saat yang bersamaan pula, ia menerima hanya Quran dan sunnah sebagai pedoman yang absah dalam menentukan hukum Islam. Ihwal yang berkelindan erat dengan syariat Islam cenderung dirujukkan kepada keduanya. Dengan begitu, seolah tidak ada celah lain selain mengembalikan perkara agama kepada kedua landasan itu. Bahkan, Ibn Taimiyah sendiri menolak beragam takwil, hingga cenderung menempatkan teks dan pemaknaannya secara leksikal-tekstual. Dalam konsepsinya, hakikat dan kebenaran suatu ayat tidak bisa dicapai dengan takwil tersebut, sebab hanya Allah yang bisa mencapai kebenaran itu. Sekali lagi, ini menegasi superioritas akal dan menjadikan akal inferior.
Itu merupakan suatu corak pemikiran yang dilahirkan oleh Ibn Taimiyah. Ada banyak pemikiran sebenarnya yang dihasilkan olehnya dengan bebeberapa karangannya yang banyak ia tulis di balik jeruji besi. Salah satu karangan yang cukup keras dalam menentang pencaci Nabi adalah As-Sharimul Maslul ala Syatimi ar-Rasul. Karya ini lahir setelah berseteru dengan ‘Asshaf an-Nashrani, seorang Kristiani dari Suwayda. Dan atas ketegasan itu pula yang mengantarkannya ke dalam penjara. Yang tidak kalah menarik juga kritik Ibn Taimiyah terhadap logika formal Aristotelian yang banyak dianut ulama Islam sebelumnya.
Kritik Terhadap Mantik
Dua bukunya yang berjudul Ar-Raddu ala al-Mantiqiyyin (Penolakan Terhadap Ahli Logika) dan Naqd al-Mantiq (Kritik Logika) dengan terang-terangan mengkritik logika Aristoteles. Salah satu poin kritiknya pada logika Aristoteles ikhwal definisi. Jika Aristoteles menganggap bahwa definisi yang dapat mengantarkan kepada hakikat sesuatu, hal itu dinegasi oleh Ibn Taimiyah. Ia menganggap, entitas yang mendefinisikan juga butuh untuk didefinisikan. Artinya kemungkinan yang terakhir ini akan mengantarkan pada nalar yang sirkular. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada kesepakatan umum terkait dengan definisi dari suatu hal. Katakanlah dalam takrif “manusia adalah hewan yang berpikir,” di sana masih terdapat perdebatan sengit.
Inilah motif pemikiran dari Ibn Taimiyah yang turut mewarnai khazanah Islam. Setidaknya, hal ini dapat menunjukkan bahwa studi keislaman masa itu bukanlah maujud yang statis dan stagnan. Ada dinamika-dinamika yang dialami di dalamnya. Dan Ibn Taimiyah ikut mengambil alih kajian keislaman saat itu. Meski, mungkin hari ini tidak sedikit yang menegasi pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah. Tentu, hal ini tidak patut untuk dipersoalkan, yakni ikhwal negasi dan afirmasi. Hanya, saya di sini membeberkan beberapa pemikiran darinya yang mungkin masih banyak berkembang hingga saat ini. Itu penting, bagaimana kita akan mempelajari suatu corak pemikiran—beserta epistemologi di dalamnya—terlepas dari apakah setuju atau tidak. Hal ini juga sebagai upaya untuk menghapus penolakan buta dan tanpa negasi yang kritis.
ilustrasi: unisla.ac.id