Kemenangan Taliban di Afganistan membangkitkan euforia kelompok Islam radikal di Indonesia. Mereka semakin yakin dengan kemenangan umat Islam dalam pemahaman yang sangat sempit: Islam hanya bisa tegak dan berdiri kokoh di atas kilatan pedang dan lautan darah. Taliban memberi energi positif kepada kelompok Islam garis keras. Dan hal ini justru akan membunyikan alarm intoleran, radikalisme, sampai terorisme.
Baru-baru ini misalnya, kasus perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, telah menutup keran kebebasan beragama bagi setiap masyarakat Indonesia. Padahal konstitusi menjamin kebebasan beragama, seperti tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Dan diperkuat dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Jadi, setiap warga negara Indonesia diberi kesempatan untuk memilih agama dan kepercayaan. Tentu berdasar pada keyakinan dan selera masing-masing tanpa adanya penekanan dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Tapi, faktanya di lapangan banyak kasus yang justru menunjukkan bahwa keberagamaan kita masih eksklusif.
Dalam catatan Setara Institute, ada sekitar 39 peristiwa pelanggaran KBB sepanjang tahun 2020, di antaranya 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan (Kompas.com, 6/4).
Persoalan intoleransi masih terus mencuat di Indonesia, dan pemerintah merespons dengan menyuarakan tentang moderasi beragama, anti radikalisme, dan terorisme. Yang sebenarnya, radikal dan teroris berangkat dari payung intoleransi baik di ruang lingkup keluarga, sekolah, dan lingkungan beragama. Toleransi sendiri berarti adanya sikap untuk menerima perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang tidak sama dengan apa yang kita yakini atau miliki.
Dalam buku Toleration and the Limit of Liberalism, Susan Mendus membagi toleransi menjadi dua, yaitu toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance).
Toleransi negatif menegaskan bahwa toleransi itu hanya cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti individu ataupun kelompok lain yang berbeda. Sedangkan, toleransi positif lebih dekat pada toleransi yang meliputi bantuan dan kerja sama dengan kelompok lain. Tidak cukup sekadar memberikan ruang aktivitas dan hidup berdampingan tanpa adanya kerja sama antara kedua belah pihak.
Ketika poin kedua yang dijalankan, maka Indonesia akan menjadi lumbung toleransi yang kokoh, mengakar sesuai dengan kebudayaan, realitas sosial, dan sejarah bangsa. Di sinilah ingatan saya langsung tertuju kepada konsep Trilogi Ukhuwah NU, yang pada mulanya dikenalkan oleh KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Dalam konsep trilogi tersebut, semata-mata untuk menyatukan di antara persaudaraan sesama umat Islam, persaudaraan dalam ikatan kebangsaan, dan persauadaraan dalam ruang lingkup kebangsaan.
Pertama, Ukhuwah Islamiyah. Persaudaraan ini meliputi berbagi negara yang di dalamnya hidup orang Muslim. Dalam artian bahwa selama orang tersebut Muslim meskipun berada di benua Afrika, Amerika, atau Eropa mereka dianggap sebagai saudara. Kedua, Ukhuwah Wathaniyah. Artinya persaudaraan sesama satu bangsa. Rasa saudara yang dibangun karena adanya kesamaan wilayah atau satu negara. Meskipun, seperti di Indonesia banyak identitas keagamaan, budaya, bahasa, dan suku. Tapi, masih wajib menjalankan hidup berdampingan, karena sama-sama lahir dan tumbuh dari tanah Indonesia.
Ketiga, Ukhuwwah Basyariyah. Artinya persaudaraan sesama manusia. Sebagai hamba yang diciptakan oleh Tuhan, dengan latar belakang berbeda. Maka, sudah sepatutnya dalam berinteraksi antar sesama tidak memandang agama, budaya, dan sosial. Karena, pada dasarnya perbedaan merupakan kehendak Tuhan untuk mengajari hidup berdampingan. Seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad tentang agama yang lebih mengedepankan nilai perdamaian dan toleransi.
Dari sinilah, konsep trilogi ukhuwah yang ditawarkan KH Ahmad Siddiq perlu kiranya terus dipupuk dan dijadikan sebagai nilai yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena tiga persaudaraan yang merangkul perbedaan bermacam-macam identitas itu akan melebur dalam satu ruang bernama kedamaian, persatuan, dan kesatuan masyarakat Indonesia. Maka, intoleransi yang pada mulanya menggerogoti nilai-nilai kebangsaan menjadi lunak, kemudian tercipta sebuah bangsa dengan perdamaian dan keguyuban di tengah-tengah keberagaman identitas.