MEMOAR MAJNUN

72 views

Terjalnya jalan telah melukai menyayat langkah demi langkah lunglainya. Warna merah yang mengalir dari tungkai kakinya, menyisahkan bercak-bercak di tanah. Masih dengan dendangan lagu yang ngilu jika didengarkan, ia memasuki lembah demi lembah. Matanya tajam menatap ke depan, hanya ke depan saja. Wajah kekasihnya seperti sedang menuntun langkahnya menuju sebuah tujuan yang entah. Sementara itu, tak lupa di belakangnya bergerombol aneka satwa, seakan menjadi pengawal setia perjalanan.

 

Di kolong gulita langit, ketika dingin menggigit kulit dan jerit petir menggelegar

Advertisements

Aku menulis namamu di kesunyian yang paling asing. Kutulis namamu satu

Demi satu abjadmu kuucap amat fasih, kunyanyikan setiap huruf dengan suka cita

Tahukah engkau, begitulah caraku membelanjakan berkantung tabungan gelisah.

 

Aku ingin dekat dekapmu saja, aku ingin dekat dekapmu saja. Demikianlah.

Biarpun ribuan tebasan pedang, aku ingin selalu merasa dekat dekapmu saja.

Sebab sepasang matamu yang cerlang itu cukup meredam ngilunya nestapa.

Ya, begitulah, engkau selalu bisa membuatku melupakan lara luka berdarah.

 

Di tengah malam ketika purnama memancarkan kilaunya, sungai mengalir lembut bagai pantulan kaca cahaya, pepohonan yang rimbun meliuk-liuk bagai tarian sema yang khidmat. Di bawah sebuah pohon tua itu ia menatap rembulan dan bernyanyi,

 

Kekasihku, kesunyian yang mana lagi

Yang harus kulewati dan kusibak gelap nyerinya

Kedukaan yang mana lagi

Yang mestinya kuteguk dan kuperas jadi anggur

Merah yang memabukkan

Kematian yang mana lagi

Yang harus kulipat seperti caraku melipat perih harihariku

Kekasih, sebenarnya muara yang mana lagikah yang harus kutuju guna menyempurnakan pengembaraanku ini

 

Angin mendesir hebat. Burung-burung keluar dari sangkarnya. Sementara rembulan masih angkuh memandanginya yang seketika itu menjerit dan rubuh ke tanah.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan