Beberapa waktu lalu, petani sayur di daerang Pakis, Tumpang, Malang, Jawa Timur beramai-ramai membagikan sayur di pasar kepada pedagang. Alih-alih bantuan kemanusiaan, mereka mengeluh karena sayur mereka dihargai murah bahkan tidak laku. Hal itu disebabkan efek dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama masa pandemi Covid-19. Karena PSBB, para mengalami kesulitan untuk mendistribusikan sayur hasil tanam.
Petani, seperti petani palawija (padi, jagung, kacang, kedelai, dll), petani sayur, petani buah, petani tebu, seringkali terantuk masalah-masalah klise. Saat musim tanam tiba, pupuk sulit didapatkan. Ketika panen tiba, harga hasil pertanian turun. Ini masalah klise yang terus berulang. Nasib petani selalu terabaikan, meskipun menjadi tulang punggung penyediaan pangan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat suatu bangsa. Bahkan, di mata Islam pun, bercocok tanam merupakan kegiatan mulia.
Pertanian dan Islam
Islam telah menganjurkan umatnya untuk bercocok tanam, untuk memanfaatkan lahan secara produktif. Surat Yasin mengisyaratkan bahwa tanda kekuasaan Allah SWT adalah bumi yang mati. Kemudian, dkeluarkanlah biji-bijian agar manusia dapat makan. Allah SWT menjadikan kebun-kebun kurma dan anggur, juga mata air untuk menghidupkannya.
Rasul SAW dalam sebuah hadits juga memerintahkan agar umatnya bercocok tanam karena menjadi penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Pertanian tidak hanya bersubstansi duniawi, tapi juga ukhrawi, karena kemanfaatannya bernilai jariyah. Pangan yang dihasilkan menjadi energi bagi manusia, yang dimakan burung, ataupun dicuri menjadi sedekah. Subhanallah.
Islam juga mengharamkan manipulasi harga yang berlebihan dengan menipu, melarang pengadangan terhadap kafilah pedagang, melarang pemerintah intervensi dalam harga dasar ataupun harga maksimum, tidak boleh menimbun dengan kepentingan tertentu yang membuat kerugian massal, melarang muhaqalah, mukhadarah, mulasamah, munabazah, dan muzabanah. Islam juga mengatur mekanisme penguasaan dan pengolahan tanah, yang kesemuanya demi adanya pemenuhan dan kemakmuran kebutuhan pokok manusia serta meningkatkan kesejahteraan bagi petani.
Pertanian Kekinian
Lalu, sekularisme bermasyarakat merasuki kebiasaan, cara berpikir, menerjemahkan nilai-nilai dan ibrah beragama menjadi esensial dan komprehensif. Pemahaman dangkal, bahwa seorang yang melakukan pengajian, syiar, aktif di media maya, menjadi simbol yang lebih tinggi daripada seorang petani muslim yang bersimbah keringat, sibuk mencangkul tanah, menerapkan lima panca usaha tani, belum lagi problematika yang tersebut di atas dianggap lebih rendah dan tidak tampak melakukan dakwah.
Padahal, petani menjadi wakil Alllah SWT di muka bumi, menjadi khalifah, mengelola hasil bumi agar bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Bertani adalah seni, seni membaca musim dan iklim, seni merawat tanaman hingga berbuah atau berbulir, seni kesabaran menunggu, dan seni alam dengan memproporsionalkan air, pupuk, juga pesti-insektisida. Bertani adalah religi, mental spiritualitas keilahiahan. Mendoakan ketika memilih dan menanam bibit, berharap hujan ketika mulai menanam, asa panas ketika menjemur hasil tani, tawakal dengan kewajiban menanam bagi petani dan hasil panen adalah kehendak Allah SWT, berdoa khusyuk dan syukur ketika panen menghasilkan, sehingga pundi-pundi rezeki dapat dikais untuk menafkahi keluarga. Subhanallah.
Memang, tidak dimungkiri ada beberapa petani di beberapa wilayah yang “nakal”. Dengan cara berpindah ladang seusai humus kesuburan yang berkurang, membakar hutan untuk dijadikan lahan, pupuk dan obat kimiawi berlebihan, dan sikap yang menentang sunatullah sebagai hukum alam.
Petani harus menjaga keseimbangan alam, agar tidak “membalas” dengan ketandusan, bencana alam, berkurangnya unsur hara, yang disebabkan eksplorasi yang miss dan over. Tidak banya itu, rekayasa genetika juga terus berproses dikembangkan dengan inovasi teknologi. Kreasi kromosom pada buah menciptakan beberapa varian bentuk dan rasa, juga jenis-jenis varietas bibit yang beraneka. Hal ini oleh MUI pada 2013 pernah diteliti dan dibolehkan, dengan azas kemanfaatan dan kemaslahatan.
Petani adalah khalifah bagi tanah. Manajemen mengolah bumi harus juga perlu dipikirkan take and give. Manusia janganlah berbuat kerusakan, di laut dan bumi, begitu Allah SWT berfirman. Manajemen keseimbangan demi mekanisme dan struktur manusia dan alam terjaga.
Krida Pertanian
Hari Krida Pertanian, yang jatuh pada 21 Juni, diperingati tidak hanya oleh petani, tetapi juga peternak, pegawai, dan pengusaha yang berkecimpung di sektor pertanian. Peringatannya memang masih kalah pamor dari hari besar lainnya. Terlebih lagi, generasi sekarang yang cenderung meremehkan profesi petani. Apalagi di era youtuber, drakor, tik-tok, dan hits-tren lainnya, membuat Krida Pertanian kurang akrab dan lekat ditelinga.
Dari berbagai sumber, 21 Juni dipilih dengan berbagai pertimbangan. Segi pranata mangsa, yang secara historis pada akhir abad IX diprekenal dan diuraikan 12 musim ((1) Kasa/Kartika; (2) Karo/Pusa; (3) Katelu/Manggasri; (4) Kapat/Sitra; (5) Kalima/Manggakala; (6) Kanem/Naya; (7) Kapitu/Palguna; (8) Kawola/Wisaka; (9) Kasanga/Jita; (10) Kasepuluh/Srawana; (11) Desta/Padrawana; (12) Sada/Asuji), dan 21 Juni sebagai permulaan musim ke-I.
Segi astronomis seiring pergantian iklim yang selaras dengan perubahan kegiatan pertanian. Sisi komoditi, karena Juni-Juli pertanian membuat perhitungan laba-rugi, analisis SWOT, sekaligus antisipasi musim berikutnya. Hari Krida Pertanian adalah hari apresiasi, mawas diri, dan berbesar hati, atas hasil para petani yang bekerja untuk menghasilkan pangan serta tidak memandang remeh profesi petani.
Habiburrahman El Shirazy berujar, “Pernahkah kita berterima kasih kepada para petani penanam benih? Keramahan yang putih, ketulusan yang tak pernah menagih”. Sekiranya perlu Hari Krida Pertanian perlu lebih disosialisasikan dan diberikan prioritas seimbang dalam agenda strategis pemerintahan.
Petani Milenial
Regenerasi petani dan kualitas SDM menjadi faktor kesinambungan untuk meningkatkan sektor pangan di Indonesia. Modernisasi dari petani konvensional layak diprioritaskan, selain fasilitas terutama air yang menjadi kunci dalam bercocok tanam. Pemerintah juga semestinya mengendalikan inflasi pangan, bisa menekan harga, meminimalkan impor bahan pangan, dan implementasi pemerataan dari wujud keadilan sosial karena mayoritas petani berada di perdesaan.
Diperlukan sinergi antara berbagai pihak, pemerintah, swasta, dunia pendidikan, lembaga swadaya, ulama, dan masyarakat secara luas, terutama petani untuk menaikkan statis dan status petani dengan ritme kerja yang lebih berdaya saing.
Bertani adalah profesi yang baik, karena bekerja dilakukan dengan tangannya sendiri. Terdapat ibadah tawakal setelah berikhtiar. Menganggap “miring” petani, berarti meremehkan pangan yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Dan, tersedianya cukup pangan menjadi simbol kemakmuran sebuah negara dan kesejahteraan rakyatnya.
Selamat Hari Krida Pertanian, 21 Juni, semoga 2045 bisa terealisasi Indonesia menjadi lumbung pangan. Terima kasih para petani, jasamu sungguh besar, semoga Allah SWT selalu memuliakan dan melimpahkan keberkahan. Allahumma amin.