Wabah yang tengah mendunia ini tak kunjung hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak respons negatif terhadap wabah yang menyerang tersebut. Tak jarang ada yang menyebut bahwa wabah itu adalah buah konspirasi terhadap kebutuhan suatu kelompok atau perorangan. Akan tetapi, respons ini tidak sepenuhnya dapat diterima karena pada dasarnya wabah ini telah memberikan dampak yang sangat besar. Baik terhadap pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan bahkan sistem pendidikan pun terkena imbasnya.
Berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nadiem Makarim, di masa pandemi ini pelaksanaan pendidikan dilaksanakan secara jarak jauh atau yang dikenal dengan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan akademisi. Karena, pada dasarnya banyak hal dalam pelaksanaan pendidikan yang memang tidak bisa dilaksanakan dengan cara jarak jauh atau dalam jaringan (daring/online).
Mencermati perkembangan yang telah berlaku semenjak Maret 2020 sampai saat ini, proses pengajaran dengan metode ini masih berlaku di beberapa tempat di Indonesia. Banyak keluhan yang muncul dari berbagai kalangan, seperti dari para siswa, guru hingga, dari wali murid.
Sebagai seorang akademisi, kita tentu harus mampu menganalisa permasalahan pendidikan yang seperti ini. Apa yang menyebabkan banyaknya muncul keluhan hingga pantaskah PJJ masih direalisasikan? Untuk menjawab ini perlu kiranya melihat ke beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Nadiem Makarim.
Berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 4 tahun 2020, ada 4 poin yang berkaitan dengan PJJ. Pertama, memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum kenaikan kelas maupun capaian kelulusan. Kedua, menfokuskan kepada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19. Ketiga, memberikan variasi aktivitas lain dan tugas pembelajaran belajar dari rumah antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Keempat, memberikan umpan balik terhadap bukti atau produk aktivitas belajar dari rumah yang bersifat kualitatif dan berguna bagi guru tanpa harus memberikan skors/nilai kualitatif.
Melihat kebijakan tersebut, sistem PJJ masih sangan kurang efektif untuk direalisasikan dalam pendidikan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai sudut pandang. Apakah kita melihat secara teoretis maupun secara realita di lapangan.
Pendidikan, jika merujuk pada pendapat Ki Hadjar Dewantara, merupakan suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada diri peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya. Artinya sangat jelas bahwa pendidikan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Lantas bagaimana dengan pendidikan di Pesantren? Apakah PJJ dapat direalisasikan di pesantren? Jawabannya pasti tidak. Banyak pondok pesantren yang menyerah untuk melakukan pendidikan jarak jauh. Bahkan, banyak orang tua yang meminta dan memohon kepada pimpinan pondok untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka.
Sebagai contoh adalah Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek yang mengupayakan segala cara agar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka dapat dilakukan. Pihak pondok sampai harus mengurus surat izin dari kecamatan sampai provinsi yang sebagaimana kita ketahui bahwasanya mengurus izin kepada pemerintah merupakan hal yang sukar. Kemudian, Pesantren Sumatera Thawalib Parabek juga melakukan rangkaian swab test bagi seluruh sangtri dan tenaga pengajar.
Kemudian, pondok yang berusaha untuk melakukan pembelajaran secara offline juga melakukan tindak protokol kesehatan yang tegas. Di Parabek sendiri, contohnya, para siswa yang ingin melakukan pembelajaran di sekolah wajib untuk melakukan swab test yang dibiayai oleh pondok sendiri. Kemudian, jika santri kedapatan positif, maka ia langsung dipulangkan. Akan tetapi, jika santri setelah melakukan swab test hasilnya negative, maka ia dilarang untuk berinteraksi dengan masyarakat dan hanya boleh berkeliaran di sekitar asrama dan lingkungan pondok.
Pemeriksaan swab juga berlaku untuk tenaga pengajar. Konsekuensinya sama. Jika hasil dari swab test tenaga pengajar positif, maka ia diwajibkan untuk isolasi di rumah dengan catatan bahwasanya ia orang tanpa gejala (OTG). Santri dan tenaga pengajar dilarang untuk bertemu masyarakat.
Selain itu, pihak pondok juga mengambil inisiatif untuk hanya membolehkan para alumni yang berkunjung singgah ke ruangan tata usaha saja. Para alumni yang ingin menyelesaikan urusan lain yang di luar kewenangan tata usaha, seperti urusan dengan guru bidang studi harus membuat janji untuk bertemu. Alumni dilarang untuk berkeliaran di dalam lingkungan pondok.
Berdasarkan pengalaman penulis sewaktu mengambil ijazah di pondok, Pondok Sumatera Thawalib Parabek memang menggunakan protokol kesehatan yang tegas dan ketat. Mulai dari kewajiban untuk mencuci tangan sewaktu masuk lingkungan pondok, wajib menggunakan masker, ukur suhu tubuh. Dan penulis juga dilarang untuk berkeliaran di pondok. Penulis hanya diperbolehkan untuk mendatangi ruangan tata usaha saja. Dan dilarang untuk menemui tenaga pengajar maupun santri yang belajar.
Hal ini dilakukan karena sulitnya komunikasi yang dilakukan saat PJJ. Sebagai contoh adalah pembelajaran bahasa Arab yang mencakup ilmu qawaid yang kemungkinan besar mustahil untuk diajarkan secara PJJ. Banyak contoh pondok lain yang berusaha agar pembelajaran tatap muka dilakukan demi kebaikan bersama. Akan tetapi, hal ini masih belum berlaku di lembaga pendidikan negeri atau milik pemerintah. Karena kebanyakan dari pendidikan negeri tidak mau mengambil resiko.
Tentu saja dari berbagai pihak berharap pembelajaran tatap muka segera dilakukan demi kebaikan bangsa Indonesia. Karena, tanpa pendidikan yang bermutu bangsa Indonesia takkan pernah berubah. Dan penulis mengapresiasi kebijakan pondok pesantren di Indonesia yang mau mengambil risiko demi terhindarnya kebodohan di negeri ini, tapi dengan syarat tetap mengindahkan protokol kesehatan demi keselamatan generasi penerus bangsa.