TADI MALAM, 19 Oktober, terjadi peristiwa unik, menarik, dan terbilang monumental. Suatu momentum perdamaian antara tradisionalitas dan modernitas melalui kolaborasi musik antara Ki Ageng Gajur dengan Rosemary di Bandung dalam event DCDC Rock’nsamble. Suatu pagelaran yang memadukan musik rock (modern) dengan gamelan dan instrumen tradisional lainnya.
Ki Ageng Ganjur adalah musik tradisinal-spiritual yang mengeksplorasi berbagai genre musik dan beberapa instrumen etnik tradisional dan digawangi oleh para musisi yang mayoritas santri dari sejumlah pesantren. Grup musik Ki Ageng Ganjur dibentuk tahun 1996 atas prakarsa dan perintah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) kepada Zastrouw al-Ngatawi. Pendirian Ki Ageng Ganjur dimaksudkan sebagai media dakwah Islam melalui jalur seni budaya. Mengikuti (itba’) jejak para wali dan ulama Nusantara.
Sejak berdirinya hingga saat ini, Ki Ageng Ganjur telah mengisi berbagai event baik di tingkat nasional maupun internasional. Mengisi acara di beberapa TV nasional, konser di hampir seluruh pelosok Nusantara. Sejak tahun 2009, Ki Ageng Ganjur telah tampil di hadapan publik Internasional di Qatar dan Uni Emirat Arab. Selama tahun 2019 ini, Ki Ageng Ganjur telah melakukan pagelaran internasional di Hongkong, Belanda, dan Aljazair.
Sementara itu, Rosemery adalah grup musik stakepunk dari Bandung yang beraliran punkrock yang lagi naik daun dan menjadi idola generasi milenial. Berdirinya band ini berawal dari pertemanan dalam sebuah komunitas skateboards di Bandung yang kemudian membentuk grup band pada tahun 1997 atas prakarsa Indra Gatot dkk.
Pada perkembangan selanjutnya, band ini banyak memengaruhi remaja milenial, khususnya yang sama-sama memiliki hobi bermain papan selancar alias skateboarding. Apalagi, sang vokalis merupakan salah satu pemain skateboard terbaik di Indonesia. Rosemary memiliki penggemar fanatik yang tergabung dalam komunitas WARS (We are Skatepunkers). Anggota komunitas ini mayoritas generasi milenial dan tersebar beberapa kota di Indonesia. Ini menunjukkan akar sosiologis Rosemary adalah masyarakat urban modern.
Kolaborasi Kaum Punk-Kaum Sarungan
Event DCDC Rock’nSamble ini tidak hanya mengkolaborasikan dua jenis musik yang berbeda: modern (punkrock) dengan tradisional religius (etnik), tetapi juga menautkan dua komunitas yang secara sosiologis berbeda, yaitu masyarakat urban perkotaan dengan masyarakat tradisional pesantren alias kaum sarungan.
Kolaborasi pada aspek budaya melahirkan karya seni musik yang sangat menarik, eksotik, dan memesona (sofisticated). Komposisi musik yang ditampilkan malam itu sangat menyentuh, namun tetap enak dinikmati sambil bergoyang. Karakter dari masing-masing kelompok tetap muncul secara jelas lewat komposisi musik yang releflektif namun menghibur. Kolaborasi pada aspek sosial melahirkan ruang interaksi antarkomunitas yang bisa berbaur dengan santai dan enjoi bersama. Malam itu, komunitas santri dan urban berbaur tanpa sekat, bergembira dan bergoyang bersama menikmati pertunjukan musik yang unik dan menarik.
Ada beberapa hal menarik yang bisa dijadikan catatan pada event DCDC Rock’nSamble kali ini. Pertama, hubungan tradisionalitas dan modernitas yang selama ini diametral-konfrontatif (berhadap-hadapan dan bermusuhan) diubah menjadi kelaboratif-komplementer (bekerja sama dan saling melengkapi). Hubungan ini tercermin dalam komposisi musik yang saling melengkapi dan mengisi antara yang tradisional dengan yang modern, sehingga tercipta harmoni yang indah dan menarik.
Kedua, dalam kolaborasi mensyaratkan adanya sikap saling memberi dan menerima secara setata. Tak ada yang merasa lebih tinggi sehingga berhak menempati posisi superior dan berhak mendominasi posisi rendah yang inferior. Dalam kolaborasi ini, yang modern dan tradisional didudukkan secara setara dan seimbang. Masing-masing diberi ruang untuk menunjukkan eksistensi. Hal ini tidak hanya terlihat pada komposisi musik yang dihasilkan, tetapi juga interaksi antarmusisi saat berproses bersama menggarap komposisi. Masing pihak (Ki Ageng Ganjur dan Rosemery) berdialog secara terbuka dan setara, saling berbagi dan mengisi, melepas ego masing-masing demi terciptanya karya yang baik dan menarik
Ketiga, apa yang terjadi merupakan bukti bahwa seni budaya merupakan instrumen yang sangat efektif dan tepat untuk merajut perbedaan. Modernitas dan tradisionalitas yang selama ini konfrontatif bisa disatukan. Komunitas santri yang selama ini dianggap religius, kampungan, dan tradisional sehingga berjarak dengan komunitas urban kota yang elite dan modern, malam itu bisa melebur dan berbaur. Sekat-sekat sosial, kultural, bahkan ideologis sekalipun dapat ditembus oleh gerakan budaya melalui pagelaran musik.
Di tengah masyarakat yang sedang retak akibat tarikan kepentingan politik, saat masyarakat sedang terbelah oleh dinding ideologi intoleran yang melahirkan kebencian dan caci maki, maka gerakan kebudayaan seperti DCDV Rock’nSamble ini menjadi event yang sangat bermakna. Meski, event ini masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan persoalan yang dihadapi bangsa ini, tapi saya yakin makna yang diberikan cukup besar.
Melalui event ini bisa terlihat, ketika politik telah memecah belah, maka seni budayalah yang menyatukan. Ketika agama telah digunakan untuk memisahkan, maka seni budayalah yang mempertemukan. Dan, ketika politik dan agama digunakan untuk saling melukai, maka seni budayalah yang mengobati.
Dan, para santri adalah pelopor penggunaan seni budaya dalam beragama, sehingga lebih terbuka dan menerima kehadiran kelompok lain. Modal sosial inilah yang perlu dijaga komunitas santri.
Semoga event seperti ini makin banyak dilaksanakan dan kolaborasi Ki Ageng Ganjur dengan Rosemary makin sering diselenggarakan di tempat-tempat lain. Agar makin banyak virus kebaikan yang tersebar di masyarakat. Terima kasih Ciklat Kita yang telah memfasilitasi pelaksanaan event yang sangat monumental dan bersejarah ini.*