Mengader Penulis Santri Al-Falah Banjarbaru

68 views

Pertengahan tahun lalu,di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan digelar diskusi buku Kitab, Buku, Sepakbola; Kenangan Seorang Santri Wangal Hairus Salim HS. Diskusi buku ini dilaksanakan sebagai rangkaian acara haul ke-38 Mualim Muhammad Sani. Diskusi buku ini menjadi semacam angin segar—betapa tidak, ini merupakan diskusi buku pertama yang resmi masuk dalam agenda acara haul—sekaligus penentu nasib dunia kepenulisan di Pesantren Al-Falah.

Duskusi tersebut menghadirkan pembicara Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof Dr Mujiburrahman, dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia Prof Dr rer.soc Masduki, dan tentu saja penulis buku Hairus Salim HS yang menjadi teladan santri dalam mencurahkan pemikirannya melalui tulisan.

Advertisements

Saya termasuk yang menaruh harapan besar atas terselenggaranya agenda ini. Maka, agar diskusi buku ini tidak menjadi sekadar euforia sepintas lalu, dalam catatan ini saya mencoba merekomendasikan beberapa usulan yang kelak dapat menjadi bahan pertimbangan serta rancangan awal untuk membangun iklim literasi yang baik.

Pertama, perpustakaan yang nyaman. Mula-mula, seorang penulis yang baik adalah pembaca tekun yang mendapatkan akses buku-buku yang berkualitas. Di Al-Falah sendiri, setidaknya memiliki dua perpustakaan: satu perpustakaan yang terletak di bagian paling belakang, sederet dengan gedung kelas dua tingkat yang pertama kali dibangun di Al-Falah. Satu perpustakaan lagi terletak di antara asrama Abu Bakar dan Baburidwan.

Di perpustakaan pertama, buku-bukunya nyaris tak tersentuh; berisikan kitab-kitab lama, konon berasal dari warisan Mualim Muhammad Sani dan jejeran buku paket pelajaran. Fungsi lazimnya perpustakaan, yaitu adanya santri yang tengah asyik membaca buku atau menulis, tidak benar-benar dijumpai di sini, selain berfungsi sebagai tempat sekadar ngobrol atau rehat di saat jam mata pelajaran kosong. Terakhir, saya mengunjungi perpustakaan ini sekitar tahun 2016, dan kondisinya masih tidak banyak berubah.

Lain halnya perpustakaan kedua. Di sini terlihat lebih bergairah; ruangannya tidak terlalu besar, buku-bukunya lebih bervariasi, dan terdapat kipas angin di dalamnya. Meski buku-bukunya “belum ramah santri”, tetapi setidaknya di jam-jam tertentu, seperti jam sekolah pada siang sampai sore hari, selalu ramai dikunjungi santri.

Selama menjadi santri, saya mencintai perpustakaan ini. Sebab, di sinilah saya bisa melepas penat sesaat dari kegiatan sekolah pagi-sore dan pertama kali menjumpai buku Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern yang membekali wawasan saya ihwal dunia sastra.

Maka, kesimpulan pada poin pertama ini, penting untuk mengembalikan fungsi perpustakaan sebagai tempat yang nyaman dan menarik bagi santri untuk membaca, menulis, dan aktif berdiskusi. Perpustakaan menjadi media alternatif sumber pengetahuan selain ruang kelas. Para santri bisa mengekpresikan diri lebih leluasa terhadap pengetahuan yang mereka gemari dengan membaca buku di perpustakaan.

Perpustakaan yang nyaman tidak harus memiliki sofa yang besar, pendingin ruangan yang mahal, atau karpet tebal yang empuk. Kalaupun pada akhirnya hal tersebut direalisasikan dengan anggaran dana yang mencukupi, tentu membahagiakan sekali. Terlebih lagi jika bisa ditambahkan sarana komputer—tentunya dalam pengawasan para ustaz—supaya mereka dapat menyalin dan mempublikasikan tulisan secara rutin.

Kedua, penyediaan buku-buku berkualitas. Tidak ada standar pasti mengenai jenis buku apa yang berkualitas. Tetapi, setidaknya kita bisa melihat kecenderungan dan minat para santri terhadap suatu bacaan—kita bisa membuat semacam angket, genre dan judul buku apa yang mereka gemari, sembari mengarahkan selera jenis buku apa yang layak dibaca.

“Layak dibaca” yang saya maksudkan di sini, dapat diartikan sebagai jenis buku apapun—selama tidak mengandung sara maupun pornografi. Semisal, buku tentang pemikiran dan biografi tokoh seperti Gus Dur, Buya Hamka, dan Quraish Shihab. Buku semacam ini penting dimiliki perpustakaan Al-Falah agar menjadi inspirasi santri untuk meniru serta meneladani tokoh-tokoh cendekiawan muslim tersebut.

Buku-buku berkualitas ini tentu akan menjadi penunjang wawasan mereka. Rasa ingin tahu yang besar dapat terpenuhi dengan tuntas. Selain itu, dari sekian banyak buku yang mereka baca, kelak akan menjadi perbendaharaan kata dan pikiran agar mereka mampu menyampaikan beragam ide, gagasan serta hal-hal yang bermanfaat, salah satunya sebagai sarana media dakwah dan syiar agama.

Terlebih dalam dunia akademik kampus di Indonesia. Setiap mahasiswa, suka tidak suka—mau tidak mau, diharuskan memiliki kemampuan membaca, mengkritisi, serta menulis yang mumpuni. Tidak sedikit alumni santri yang beralih menjadi mahasiswa mengalami shock culture, karena tidak mapannya bacaan dan kemampuan menulis mereka, bahkan untuk sekadar parafrase atau mengembangkan paragraf.

Ketiga, menyemarakkan kegiatan mading. Mading menjadi ruang terbuka yang dapat diakses siapa saja serta menjadi penyaluran kreatifitas bagi para santri. Tanpa keberadaan mading, nyaris dapat dipastikan tidak ada geliat kreativitas yang hidup dan tumbuh di lingkungan pesantren. Mading menjadi wadah pertukaran informasi dan wawasan dalam bentuk yang lebih ramah. Peran mading, dalam konteks ini, tidak boleh disepelekan.

Menjaga konsistensi dalam berkarya bukan perkara mudah. Butuh sedikit strategi untuk menarik minat santri menulis dan berkarya, di antaranya memberikan apresiasi kecil-kecilan. Bisa berupa makanan ringan atau gantungan kunci. Ya, sesederhana itu saja. Tentu boleh dengan yang lebih besar. Saya rasa, tidak akan sampai merusak anggaran pesantren. Apresiasi, sekecil apapun, membuat penulis santri merasa dihargai.

Keempat, mengadakan perlombaan dan lokakarya menulis. Perlombaan menulis dapat diadakan secara berkala dalam momen tertentu. Misalnya saja, perhelatan Haflah Sanawiyah, Haul Mualim Muhammad Sani, atau Perayaan HUT Republik Indonesia yang digelar setiap tahunnya di Al-Falah. Perlombaan ini dibagi beberapa kategori: artikel dan esai, cerpen dan puisi, kaligrafi, grafiti, dan komik visual. Hasil karya pemenang dan peserta, selanjutnya dapat dimuat di mading.

Selain itu, adanya pelatihan atau lokakarya kepenulisan, walau umpama hanya setahun sekali, menjadi hal penting lain yang patut diagendakan. Al-Falah bisa mengundang penulis, jurnalis, maupun sastrawan untuk memberikan materi kepenulisan sesuai bidangnya serta berbagi kiat dan motivasi menulis.

Baik perlombaan maupun lokakarya, kedua-duanya merupakan bentuk komitmen serta perhatian Al- Falah kepada para santri untuk membangun mental sebagai penulis serta mendorong mereka memiliki jiwa kompetitif, saling berunjuk kemampuan terbaik secara sehat dalam bidang tulis-menulis.

Kelima, menginisiasi program asrama penulis. Melihat perkembangan Al-Falah beberapa tahun terakhir, membuat masyarakat luas semakin optimis dan percaya dengan kemajuan pesantren ini di masa yang akan datang. Semua program, berdasarkan peminatan santri, terorganisir dengan sangat baik, mulai dari program Amtsilati, metode cepat membaca kitab kuning. Program asrama bahasa Arab dan Inggris. Begitu pula program hafalan yang cukup menarik perhatian banyak pihak akhir-akhir ini, seperti program asrama tahfiz, hadis, mutun, dan falak.

Seluruh program ini dijalankan secara rutin dan ketat; para santri dikumpulkan dalam satu asrama agar memudahkan jalannya program. Segala bentuk instruksi akan mudah dilaksanakan. Tidak salah jika seluruh program ini diapresiasi dalam bentuk wisuda resmi di setiap tahunnya. Tidak tanggung-tanggung, saking meriahnya, wisuda mereka tak kalah ramainya seperti wisuda pelepasan siswa.

Lantas, mengapa Al-Falah tidak mencoba menyelenggarakan program asrama penulis? Dengan sistem dan sumber daya santri yang ada, saya yakin sekali, program asrama penulis akan sama berhasilnya seperti program lainnya. Seluruh program yang telah saya sebutkan di atas, berorientasi pada pengaderan ulama. Kini, tugas berikutnya adalah bagaimana para calon ulama tersebut dapat berkontribusi lebih luas kepada umat. Menjadikan mereka ulama yang aktif, bukan ulama yang pasif. Dan salah satu jalan mencapai kebermanfaatan tersebut yaitu, menjadikan mereka penulis yang produktif.

Selain itu, melahirkan calon penulis berbakat dalam bidang sastra adalah tujuan lainnya. Kita mafhum, bahwa pesantren dan sastra adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Di Al-Falah sendiri, misalnya, pembacaan burdah, simtuddurar, nazam aqidatul awam, kasidah madah terhadap nabi, merupakan hal yang lazim dan mendarah daging di setiap harinya. Bukankah jika kita hayati dengan seksama dan mendalam, semua teks tersebut berisikan ungkapan-ungkapan indah berupa syair atawa puisi.

Terlebih lagi, mata pelajaran Balagah telah diajarkan kepada santri sedari kelas 3 Tsanawiyah sampai 3 Aliyah. Sebetulnya, Al-Falah telah siap mengader calon sastrawan dan akademisi sastra sejak dini. Hanya, sayangnya tidak ditunjang dengan praktik konkret untuk menuju ke arah sana. Karena itu, program asrama penulis menjadi satu agenda besar untuk dapat direalisasikan bersama.

Saya sadar tidak sepenuhnya bisa menuntaskan catatan ini dengan baik. Catatan ini tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan siapapun. Saya juga membuka ruang diskusi, kritik, dan saran seluas-luasnya. Tiada tujuan lain, selain perhatian kecil serta upaya memikirkan kemaslahatan bersama. Meski belum dapat bersua dengan rekan seangkatan, para alumni, serta guru-guru tercinta, semoga catatan ini dapat menjadi ‘bentuk pertemuan lain’ dan sedikit khidmah saya kepada Al-Falah dari kejauhan.

Walhasil, hanya kepada Allah Swt, saya mengharap rida-Nya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan