Tubuhnya tak terlalu tinggi bahkan cenderung kecil. Kulitnya kuning langsat. Penampilannya sederhana nan santun namun tetap bersahaja. Tutur katanya begitu halus dan lembut membuatnya banyak disukai orang. Baju batik khas Pekalongan dan Madura tidak pernah lepas dari tubuhnya. Hari-harinya diwarnai dengan aktivitas bermanfaat, seperti beribadah kepada Allah, membimbing para santri terutama santri putri, serta mengayomi cucu-cucu dan cicit-cicitnya.
Dialah Mek Nyai, panggilan akrab saya kepada Nyai Zahroh. Sapaan kesayangan ini bukan tanpa alasan. Secara nasab, ibu saya adalah cucu Nyai Zahroh dari putra bernama Amiruddin dengan pasangan Nyai Mastura. Dan, Nyai Mastura termasuk putri dari KH Syarfuddin Abdus Shomad, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Zainul Huda, Duko Laok Arjasa, Kangean Sumenep, Madura, sekaligus kakak kandung Nyai Zahroh. Ini berarti, Nyai Zahroh bibi dari mbah saya (Nyai Mastura).
Nyai Zahroh lahir dari pasangan KH Abdus Shomad dan Nyai Zainabah. Ia termasuk putri keempat dari lima bersaudara, yaitu Nyai Munihah, Kiai Abdus Syukur, KH Syarfuddin, Nyai Zahroh, dan Kiai Hasbullah. Secara nasab, Nyai Zahroh berasal dari keturunan seorang kiai. Sebab, abahnya adalah keturunan kiai, yaitu KH Abdus Shomad ibn Kiai Dawud ibn Kiai Damsyiah ibn Kiai Abdul Bari (Ju’aji).
Kepribadian Nyai Zahroh
Ibarat pepatah, “Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.” Demikian juga dengan Nyai Zahroh. Sebagai orang yang terlahir dari keluarga terhormat dan sangat disegani oleh masyarakat Arjasa Laok-Duko Laok, tentu saja, laku hidup beserta kepribadian yang dimilikinya tak akan jauh dari kepribadian keluarganya.
Di antara kepribadian Nyai Zahroh tersebut: Pertama, gemar mendatangi rumah para cucu dan cicitnya sekadar untuk memastikan kesehatan mereka. Saking sayangnya, tak jarang Nyai Zahroh bermalam di salah satu rumah cucu dan cicitnya, dan bahkan dijadwal agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial dari masing-masing mereka.
Menurut ibu saya, kecintaannya terhadap cucu dan cicitnya melebihi segalanya. Ia rela mengorbankan diri demi mereka. Ketika saya masih kecil, sementara ibu saya disibukkan dengan aktivitas pertanian, maka Nyai Zahroh-lah yang mengasuh saya kendati ia juga bertani.
Bagi sebagian orang, hal ihwal mungkin dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya, sangat luar biasa. Mengapa demikian, selain kebiasaan tersebut melekat hingga usianya sepuh, juga jarang orang melakukan. Lazimnya, para cucu dan cicit yang mesti mendatangi rumah Mek Nyai. Berbeda dengan Mek Nyai, menurutnya, ia tak mau merepotkan mereka. Lebih baik mendatangi daripada didatangi.
Kedua, sosok yang sangat peduli terhadap dunia pendidikan. Menarik, meskipun Nyai Zahroh tak pernah mengenyam pendidikan formal hingga ke perguruan tinggi, tetapi kepeduliannya akan pendidikan melampaui orang-orang berpendidikan, khususnya masyarakat Arjasa Laok-Duko Laok tempat Nyai Zahroh dibesarkan. Menurutnya, pendidikan adalah ujung tombak untuk melakukan suatu perubahan.
Seperti diketahui bersama bahwa pendidikan memiliki peran cukup signifikan dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Melalui pendidikan, tiap-tiap individu dapat membuka wawasan baru, menggali atau mempelajari segala informasi, serta mengubah pola pikir menjadi lebih maju. Dengan pendidikan, kita dapat menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan, baik untuk diri sendiri maupun bangsa. Sebaliknya, tanpa pendidikan bukan mustahil akan terjadi kekacauan dan sebagainya.
Saking pedulinya terhadap dunia pendidikan, ketika santri di Pesantren Zainul Huda serta cucu dan cicitnya selesai menempuh pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Nyai Zahroh berpesan agar tetap melanjutkan studinya ke jenjang selanjutnya, yaitu perguruan tinggi. Tidak mengherankan, jika para santri, cucu, dan cicitnya banyak yang sudah menyandang gelar sarjana bahkan magister.
Ketiga, seorang ahli ibadah, zikir, dan pengkhatam Al-Quran. Di tengah kesibukannya mengurusi keluarga dan santri, Nyai Zahroh tak pernah meninggalkan rutinitasnya, yakni beribadah kepada Allah (baik wajib maupun sunah), berzikir, dan mengkhatamkan Al-Quran. Bahkan, ketika dalam kondisi sakit pun aktivitas ini tetap dijalankan. Karena bagi Nyai Zahroh, sakit bukan menjadi alasan atau penghalang meninggalkan hal tersebut. Begitulah kebiasaan sehari-hari Nyai Zahroh. Rasanya hampir tak ada waktu yang terbuang sia-sia.
Namun, sosok yang memiliki kepribadian mulia dan tutur katanya lemah lembut tersebut kini telah meninggalkan kita semua. Mek Myai menutup hidupnya di usia 95 tahun. Siapa sangka, hari raya Idul Fitri kemarin menjadi pertemuan terakhir saya dengan Mek Nyai. Tampaknya, Allah lebih menyayangi beliau daripada kita semua sehingga ia dipanggil menghadap-Nya. Semoga kepribadian Nyai Zahroh menginspirasi para santri, khususnya santri di Pondok Pesantren Zainul Huda terlebih masyarakat Arjasa Laok-Duko Laok, serta para cucu dan cicitnya. Allah merahmatimu, Mek Nyai. Wallahu A’lam