Menjaga Bumi, Merawat Iman

Di banyak desa, bumi sedang berbisik pelan. Sungai menjadi keruh, musim tak lagi menentu, dan tanah perlahan kehilangan daya. Bisik itu sesungguhnya panggilan spiritual: apakah ilmu dan iman masih berjalan beriringan, atau sudah saling meninggalkan?

Ekoteologi hadir untuk menjembatani keduanya. Ia menegaskan bahwa merawat lingkungan bukan sekadar tanggung jawab sosial, tetapi bagian dari ibadah. Karena itu, setiap santri, kiai, dan warga desa sejatinya memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan antara iman dan bumi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Gairah itu kini mulai tumbuh. Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Shidiq (KHAS) Jember baru-baru ini menyelenggarakan Bootcamp Ekoteologi yang menggabungkan kajian agama dengan isu lingkungan melalui pendekatan lintas disiplin: budaya, sosial, hukum, dan pendidikan. Program ini menjadi bukti bahwa ekoteologi bukan konsep teoretis, melainkan gerakan yang berakar dari kehidupan sehari-hari di desa.

Ekoteologi: Teologi, Tanah, dan Air

Dalam khazanah Islam, manusia disebut sebagai khalifah yang memegang amanah untuk menjaga keseimbangan ciptaan. Ajaran itu melarang berlebih-lebihan dan mendorong terciptanya keadilan bagi seluruh makhluk.

Di Indonesia, nilai-nilai tersebut telah dihidupkan dalam gerakan eco-pesantren yang menata kebersihan, energi, air, hingga pengelolaan sampah. Pedoman Eco-Pesantren yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup sejak 2008 menegaskan bahwa kepedulian terhadap alam bisa menjadi bagian dari tata kelola lembaga keagamaan.

Beberapa tahun terakhir, jejaring ulama, akademisi, dan aktivis memperluas semangat itu. Mereka menyelenggarakan pelatihan dai konservasi, merumuskan fiqh al-bi’ah, dan ikut dalam deklarasi Islam global tentang perubahan iklim. Semua ini menunjukkan bahwa etika lingkungan dalam Islam bukan pelengkap moral, melainkan kerangka praktis untuk menyelamatkan bumi.

Mengapa Mendesak?

Data lingkungan tidak bisa kita abaikan. Indonesia kehilangan sekitar 259 ribu hektare hutan alam pada tahun 2024. Angka ini melonjak dibanding tahun sebelumnya, dan berkontribusi besar terhadap emisi karbon dunia. Sebagian besar kehilangan tersebut justru terjadi secara “legal” akibat kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi.

Di sisi lain, krisis sampah plastik semakin serius. Produk kemasan sekali pakai yang sulit didaur ulang menjadi ancaman bagi sungai dan laut. Meski ada inisiatif seperti kemitraan Indonesia National Plastic Action Partnership atau Kemitraan Aksi Plastik Nasional (NPAP) yang mendorong ekonomi sirkular, perubahan tidak akan berarti tanpa kesadaran masyarakat. Dari sinilah ekoteologi menemukan relevansinya: mengubah gaya hidup menjadi bagian dari nilai iman.

Desa sebagai Laboratorium Ekoteologi

Desa menyimpan modal yang luar biasa. Pertama, kearifan lokal dalam mengelola air, hutan, dan pangan tradisional. Kedua, jejaring sosial seperti kelompok tani atau pengajian yang bisa menjadi wadah gerakan ekologis. Ketiga, institusi keagamaan seperti pesantren dan madrasah yang menanamkan disiplin serta nilai hidup bersahaja.

Ketika ketiga unsur ini bekerja bersama, ekoteologi tidak lagi sebatas konsep, tetapi menjelma menjadi praktik: tauhid yang menolak kerusakan, fikih yang menata perilaku, dan akhlak yang melahirkan kesederhanaan.

Pemerintah pun mulai merespons. Kementerian Agama kini menyiapkan program Pesantren Ramah Lingkungan untuk memperkuat gerakan hijau di lembaga pendidikan Islam. Langkah ini menjadi sinyal bahwa kepedulian terhadap alam harus terintegrasi dengan sistem pendidikan dan kebijakan publik.

Lima Pilar Gerakan Ekoteologi

Sebagai pendidik, saya percaya bahwa perubahan besar berawal dari langkah-langkah kecil. Ada lima pilar yang bisa kita terapkan di tingkat pesantren dan desa.

Pertama, Ibadah Hijau. Masjid dan pesantren menjadi teladan dalam menghemat air, memilah sampah, dan menanam tanaman obat di halaman. Setiap khutbah Jumat bisa diselipkan pesan amanah terhadap alam.

Kedua, Kurikulum Lingkungan. Pelajaran fikih dan akhlak dapat dihubungkan dengan ayat-ayat tentang alam. Santri dapat melakukan riset kecil seperti memetakan sumber air atau mengelola bank sampah.

Ketiga, Tata Kelola Sirkular. Pemerintah desa dapat membangun sistem daur ulang lokal dan mendukung UMKM pengganti plastik sekali pakai.

Keempat, Pelindungan Hutan dan Lahan. Pesantren bisa mengadopsi hutan desa atau mengembangkan kebun agroforestri yang memperkuat ketahanan pangan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem.

Kelima, Ekonomi Rahmah. Santri dapat mengembangkan wirausaha hijau seperti kompos, biogas, atau kerajinan bambu. Prinsipnya sederhana: mencari rezeki tanpa merusak bumi.

Mengubah Bahasa, Mengubah Kebijakan

Gerakan lingkungan sering terjebak dalam bahasa teknis yang sulit dipahami masyarakat. Di sinilah peran santri dan kiai menjadi penting: menerjemahkan istilah ilmiah menjadi nilai kehidupan sehari-hari.

Khutbah tentang hemat air harus berlanjut menjadi musyawarah warga tentang perbaikan saluran air. Kajian tentang keseimbangan alam sebaiknya diakhiri dengan kesepakatan bersama untuk membersihkan kampung tanpa plastik.

Pendekatan seperti ini sudah dicontohkan oleh Bootcamp Ekoteologi UIN KHAS Jember. Program tersebut mempertemukan akademisi, aktivis, dan masyarakat desa untuk belajar bersama dan merancang langkah nyata. Jika pola ini diperluas, desa-desa di Indonesia dapat menjadi laboratorium hidup bagi peradaban ekologis.

Etika Islam sebagai Fondasi Ekologis

Etika Islam memberikan tiga nilai pokok dalam menjaga alam: khalifah, amanah, dan keadilan. Nilai-nilai ini menjadi dasar moral yang mencegah kerusakan dan menumbuhkan kasih terhadap semua makhluk. Ketika diterapkan dalam pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik, ia membentuk arsitektur peradaban yang selaras dengan fitrah bumi.

Ekoteologi mengajak kita menafsirkan kembali makna takwa. Ia tidak hanya berbicara tentang hubungan dengan Tuhan, tetapi juga tentang cara kita memperlakukan tanah, air, dan udara.

Dari serambi masjid hingga lumbung desa, dari pesantren hingga pasar tradisional, iman menemukan wujudnya dalam tindakan menjaga kehidupan. Jika desa menjadi laboratorium, pesantren menjadi universitas kehidupan, dan santri menjadi penjaga alam, maka Indonesia sedang menulis babak baru: peradaban yang beriman, berilmu, dan berwelas asih terhadap bumi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan