Menulis dan Lapisan Bawang Merah

61 views

Dalam salah satu edisi kumpulan tulisan sebuah gerakan nonprofit, ada satu hal menarik yang diuraikan oleh salah satu kontributor penulisnya. Bukan tentang indahnya tempat atau budaya masyarakat, atau tentang nakalnya anak-anak di lokasi pengabdian, melainkan tentang kejenuhan dan rasa frustrasinya selama berada di lokasi pengabdian yang membuatnya takut untuk menulis. Dia mengatakan bahwa dia enggan menulis karena takut bahwa apa yang akan dia tulis nantinya adalah sesuatu yang palsu. Dia khawatir kalau-kalau tulisan yang ia tulis bukanlah representasi dari dirinya sendiri; dia hanya menulis untuk menyenangkan orang lain yang mau dan sempat membaca tulisannya saja.

Saat membaca curhatan singkat dari pengajar muda tersebut, jujur saja aku merasa tergelitik. Ada sedikit rasa tidak nyaman yang tiba-tiba berkecambah. Curhatan pendek tersebut seakan-akan mengingatkanku pada tulisan yang sempat aku tulis, yang belum bisa mewakili “aku” di dalamnya. Dan ini pulalah yang sebenarnya sering membuat jariku malas untuk mengetik. Sebuah kekhawatiran akan “produk palsu” yang terlahir dalam tulisan tersebut. Kekhawatiran atas pertanyaan: “apakah ini benar-benar aku?”

Advertisements

Keraguan itu tidak jarang menjelma menjadi tembok yang susah untuk dilewati. Membuat beberapa waktu menjadi kering tanpa tulisan-mandul. Namun keraguan itu sedikit demi sedikit tergerus dengan pemahaman baru yang entah benar atau tidak tentang konsep diri.

Begini. Dengan kedangkalan ilmu yang kumiliki, aku ingin sedikit berhipotesa tentang lapisan-lapisan karakter yang membentuk pribadi kita secara utuh. Aku mulai curiga bahwa diri kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bawang merah. Iya, bawang merah. Saat kita mengiris bawang merah, kita akan melihat lapisan-lapisan yang sangat banyak, sangat kompleks yang saling terkait dan menyusun dirinya sendiri menjadi satu kesatuan utuh dan membentuk entitas bernama bawang merah.

Rasa-rasanya aku juga mulai menduga bahwa kita sebagai manusia juga terdiri dari lapisan-lapisan semacam itu. Kita terdiri dari bermacam lapisan yang sangat banyak yang membungkus inti dari kita sendiri. Mungkin saja di lapisan yang paling luar kita menemukan “aku” yang biasa kita lihat di keseharian kita, sedangkan di lapisan yang lebih dalam, kita menemukan karakter “aku” yang sedikit berbeda. Pun, di lapisan-lapisan yang lain kita akan bertemu dengan “aku-aku” yang tidak serupa. Dan layaknya bawang merah, ketika lapisan-lapisan itu terus menerus kita kupas, kita akan menemukan inti dari “aku” tersebut: menemukan “aku yang sejati”.

Namun, kadang kala, karakter atau lapisan yang terkunci rapat itu bisa menyeruak ke permukaan dalam bentuk atau medium yang tak terduga-duga. Dan, salah satu mediumnya aku rasa adalah lewat tulisan. Sangat mungkin sebenarnya bahwa ketika kita menulis, dan tulisan yang kita hasilkan itu agak berbeda dengan “kita” yang kita kenal selama ini, sebenarnya pada saat itu kita menulis bagian dari “diri kita yang lebih dalam”. Menulis “aku” dalam versi yang lebih dekat dengan inti, yang lebih orisinil. Tulisan yang merepresentasikan diri kita yang lebih murni, mewakili suara yang selama ini tertimbun jauh di dalam. Terimbun oleh lapisan kulit yang lain.

Kita mungkin belum mengenal karakter-karakter kita yang lain, sehingga kita merasa asing dan merasa bahwa itu bukanlah bagian dari kita. Kita terdominasi oleh lapisan luar yang kita kenal selama ini. Kita memarjinalkan sebagian diri kita, menguncinya dalam ruang yang sangat dalam, dan meletakkannya jauh di luar area kesadaran kita. Oleh karenanya, suara-suara atau karakter yang terkunci tersebut tidak pernah mendapatkan ruang untuk menunjukkan dirinya ke permukaan, karena memang dia selalu ditekan terus-menerus.

Paralel dengan uraian tersebut, ada sebuah ungkapan yang sangat mahsyur yang mengatakan bahwa writing is an escape, menulis adalah sebuah upaya untuk melarikan diri. Dulu aku berpendapat bahwa ungkapan ini hanya pas apabila diasosiasikan dengan orang-orang introvert yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dengan baik. Sehingga mereka memerlukan medium untuk dapat menyalurkan unek-uneknya. Oleh karenanya, untuk mereka, menulis merupakan sebuah upaya “pelarian diri” dari ketidakmampuannya berkomunikasi secara lancar. Sebatas itu saja dulu pikiranku.

Namun, sedikit demi sedikit aku mulai menyadari bahwa makna kalimat tersebut tidak sebatas dan sedangkal itu. Menulis adalah medium untuk mengenal diri kita pribadi dengan lebih baik. Writing makes us understand ourselves better. Mungkin dalam beberapa tulisan kita yang belum bisa kita implementasikan secara komperhensif, secara utuh, yang bahkan kita sendiri heran dengan hasil tulisan yang sangat berbeda dengan niat awal kita menulis, di situ terdapat suara-suara minor dari diri kita yang mengalir dan muncul ke permukaan. Ketika kita menulis, sebenarnya kita menyalurkan energi yang ada dalam diri kita sendiri. Kita memberikan akses agar suara yang selama ini tertekan oleh diri kita yang lain, diri kita yang lebih dominan, dapat keluar dengan bebas.

Terkadang dengan menulis, kita mulai menemukan kebaruan-kebaruan, kesegaran dalam sudut pandang, dalam diksi atau apa pun yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ketika membaca lagi draf tulisan pertama yang masih acak-adut dan membandingkannya dengan tulisan akhir, kita terheran-heran dengan apa yang kita tulis. Kita tidak menyangka bahwa kita mungkin bisa sangat romantis dalam tulisan kita, bisa menjadi santun, menjadi galak, liar, super nakal, dan kejutan-kejutan aneh lainnya yang barang kali sangat berbeda dengan “kita” dalam versi keseharian.

Namun, keanehan yang tertuang dalam tulisan tersebut kadang malah membuat kita relief-legaMembuat kita plong. Mungkin memang inilah asyik dan seninya menulis. Bagaimana suara yang terperangkap akhirnya menemukan jalan keluarnya. Menemukan udara untuk dapat bernapas setelah lama terkurung tak dipedulikan. Dia keluar tidak melalui perkataan, namun melalui jemari yang dengan telaten menari-nari di atas simbol rumit yang disebut huruf. Mereka keluar untuk menuntut dan mengingatkan si empunya bahwa dia ada, dan dia ingin juga didengarkan, dipahami, dan dipelajari. Dan karena itulah menulis adalah jalan melarikan diri – untuk suara yang tersisih. Menulis adalah upaya memahami diri kita dengan lebih baik.

Sekarang silakan putuskan, bila misalnya tulisan kita berbeda dengan karakter dominan kita, yang kita kenal saat ini, apakah itu sebuah kepalsuan atau kebenaran dari dalam?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan