Pada 28 Agustus 2025, sekali lagi Jakarta menjadi saksi atas luka kolektif. Seorang driver ojek online yang berada dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR tewas karena dilindas oleh kendaraan taktis (rantis) Brimob.
Rekaman kejadian tersebut menyebar dengan cepat di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat bahwa kekuatan negara sekali lagi menindas tubuh sipil yang tak bersenjata.

Tragedi ini bukan hanya tentang seorang korban. Bukan hanya tentang sebuah mobil rantis. Juga bukan hanya tentang demonstrasi. Tragedi ini tentang suara yang dibungkam dengan dalih kemanan, tentang keadilan yang dihilangkan.
Sekali lagi negara memperlihatkan wajah aslinya. Ia mulai menunjukkan kembali arti kekuasaan yang cacat. Kekuasaan yang seharusnya melindungi, tapi justru menjadi ancaman.
Seorang filsuf dan sejarawan Prancis Michel Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan tidak pernah netral. Ia akan bekerja melalui tubuh, institusi, dan bahasa. Saat negara mengerahkan mobil lapis baja untuk menghadapi rakyat, kita tidak sedang menyaksikan pengamanan. Kita tidak sedang menyaksikan penertiban. Kita sedang menyaksikan sebuah ancaman. Kita sedang menyaksikan suara yang sedang dibungkam dengan kekerasan dan kekuasaan. Mobil rantis menjadi simbol paling kasat mata atas apa yang disebut Walter Benjamin sebagai “kekuasaan institusional yang dilegalkan oleh hukum.”
Di tengah tragedi ini, muncul reaksi dari Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo yang menyampaikan rasa duka yang mendalam dan permintaan maaf kepada keluarga korban dan seluruh elemen masyarakat. Ia juga berjanji untuk melakukan “evaluasi” atas tragedi tersebut.
Namun permintaan maaf tanpa pertanggungjawaban dan solusi yang konkret serta transparan hanyalah kata lain untuk menunda keadilan. Filsuf Hannah Arendt menulis bahwa “di saat kekuasaan tidak disertai akuntabilitas, maka kekerasan menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa.” Pernyataan evaluasi tanpa tindakan memperlihatkan kekuasaan yang gagal berbicara dengan bahasa tanggung jawab.
Mengulang Masa Lalu?
Tragedi 28 Agustus bukanlah peristiwa tunggal. Ia adalah halaman baru dalam lembar buku catatan kelam kekerasan negara terhadap rakyat. Tentu kita masih ingat dengan sejumlah mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa 1998. Kita juga pasti ingat tentang Wiji Thukul, Marsinah, dan mereka yang hilang bak tenggelam ditelan bumi setelah melawan arus kekuasaan. Sejarah seharusnya menjadi guru. Namun, sepertinya negara lebih memilih menjadi murid yang dungu.
Semoga Affan Kurniawan mendapat ampunan di sisi-Nya. Aamiin ya Robb!