Menunggu Ratu Adil, yang Datang Suzzanna

181 views

Ketika bangsa ini sedang menunggu Ratu Adil, yang datang justru Suzzanna. Kembali menjelma sundel bolong, dia berhasil menyedot 3,3 juta orang ke bioskop untuk menonton aksi-aksi balas dendamnya.

Rumah tangga Suzzanna (Luna Maya) dan Satria (Herjunot Ali) awalnya bahagia. Kebahagiaan pasangan muda nan kaya ini memuncak ketika buah hati yang ditunggu-tunggu selama lima tahun akhirnya akan hadir ke tengah keluarga kecil mereka. Suzzanna hamil.

Advertisements

Betapa bahagia Satria mendengar penuturan sang istri tentang kehamilannya, ketika suatu pagi, Suzzanna memintanya pulang lebih cepat dari kantor. Suzzanna kemudian meminta Satria agar mengajaknya ke luar rumah demi mencari udara segar. Keduanya pun bersepakat pergi ke kantor tempat Satria bekerja.

Di sinilah konflik bermula. Jonal (Verdi Solaiman) dan Umar (Teuku Rifnu Wikana) sudah menunggu Satria di kantor. Setelah meminta izin sejenak kepada Suzzanna, Satria memanggil Jonal dan Umar ke ruangannya. Keduanya melapor, karyawan pabrik meminta kenaikan gaji lagi. Mendengar laporan mereka, Satria murka, karena gaji karyawan sudah dua kali dinaikkan dalam tiga bulan terakhir. Satria mengendus ini hanya akal bulus dua mandor itu di hadapannya.

Kesal setelah menemui Satria, Jonal dan Umar kemudian menenggak bir bersama Dudun (Alex Abbad) dan Gino (Kiki Narendra), dua karyawan lain di pabrik tempat mereka bekerja. Merutuki nasib masing-masing, keempatnya akhirnya berembuk untuk merampok rumah Satria. Ketika Satria berangkat ke Jepang untuk sebuah tugas perusahaan dan rumahnya sepi karena Suzzanna sedang menonton layar tancap bersama tiga pembantunya, keempatnya pun beraksi.

Namun aksi jahat itu tak semulus yang mereka rencanakan. Belum selesai mereka menggondol barang-barang berharga di rumah pasangan kaya itu, Suzzanna memergoki aksi mereka. Suzzanna yang pulang tanpa tiga pembantunya akhirnya mati di tangan komplotan itu. Suzzanna menjelma arwah penasaran yang terus bergentayangan di alam nyata demi menuntut balas atas kematian dirinya, kematian anak yang dikandungnya, serta kehancuran rumah tangganya.

Begitulah sutradara Anggy Umbara dan Rocky Soraya meramu Suzzanna Bernapas dalam Kubur, film yang diproduksi oleh Soraya Intercine Films. Di awal film dijelaskan, film ini dibuat untuk mengenang Suzzanna Martha Frederika van Osch, sang legenda dalam sejarah film horor Indonesia yang meninggal dunia pada 15 Oktober 2008. Selain urusan kenang-mengenang, tentu juga karena tren film-film reinkarnasi sukses mendulang pundi-pundi rupiah beberapa tahun terakhir. Film Warkop DKI Reborn Jangkrik Boss! (Bagian 1, 2016), misalnya, berhasil meraih 6.858.616 penonton, dan 4.206.103 penonton untuk Pengabdi Setan (2017).

Judul film Suzzanna Bernapas dalam Kubur diadaptasi dari dua film yang pernah dibintangi Suzzanna, Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971). Meski bukan pengulangan atau sekuel dari dua film tersebut, film ini tetap saja tidak bisa keluar dari simbol-simbol keduanya. Adegan hantu Suzzanna memakan bunga, misalnya, juga adegannya bermain piano sebagaimana terdapat dalam film-film Suzzanna sebelumnya, masih saja dipertahankan.

Dengan memakai wajah prostetik yang dibuat Tatiana Melkomova dan Peter Gorshenin dari Rusia, Luna Maya dipermak semirip mungkin menjadi Suzzanna. Begitu juga dalam gerakan maupun ucapannya. Meski, Luna tetap terlalu tinggi dan terlalu langsing untuk memerankan aktris legendaris itu. Herjunot Ali juga memaksimalkan diri berperan sebagai Satria walau aktingnya masih tampak sebagai sosok Zainuddin dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013).

Plot film ini pun mudah ditebak. Keluarga bahagia  Suzzanna diusik komplotan penjahat, Suzzanna terbunuh saat hamil, kemudian dia menuntut balas atas kematiannnya; kematian bayi yang dikandungnya; juga kehancuran keluarganya. Pengadeganan juga sering tidak meyakinkan, misalnya saat Suzzanna terbunuh tanpa sengaja di tangan Dudun. Dengan adegan semacam itu, seruas bambu yang dipegang Dudun mustahil bisa menusuk perut Suzzanna begitu dalam. Meski tidak sekeras batu, tubuh manusia juga bukan puding yang mudah ditembus benda dengan tekanan tidak seberapa. Dengan adegan itu, Suzzanna mestinya hanya luka saja.

Tata kamera masih saja mengandalkan teknik mengagetkan (jump scare) sebagaimana film horor pada umumnya. Teknik semacam ini membosankan, kecuali saat kamera mengarah pada foto almarhum Suzanna Martha Frederika van Osch. Setiap kali kamera mengarah ke foto yang terpajang itu, saya merinding. Mungkin, karena di dunia nyata, legenda dalam sejarah film horor Indonesia itu memang benar-benar sudah meninggal dunia.

Di bagian tata suara juga tidak ada yang baru. Permainan musik yang keras tiba-tiba dan cekikikan khas Suzzanna juga masih diandalkan untuk menghadirkan suasana mencekam.

Sedangkan dalam tata artistik, saya menemukan anakronisme di mana-mana. Menurut keterangan di awal film, kisah ini terjadi pada Mei 1989, 32 tahun lalu. Latar ini awalnya meyakinkan saya ketika kamera menampilkan Morris 1951, mobil milik Satria. Namun, setelah itu, imajinasi saya langsung hancur ketika menyaksikan rambut para pemain. Model rambut Jonal dan Satria, misalnya, terlihat seperti model rambut cowok milenial. Belum lagi model celana yang dipakai keduanya, juga tokoh pria lainnya. Kalau tidak melihat keterangan tahun di awal film, penonton akan merasa kisah dalam film ini terjadi seminggu sebelum film ini ditayangkan di bioskop.

Film ini juga beberapa kali kehilangan logika cerita, salah satunya ketika warga kampung membakar rumah Suzzana. Dari mana warga kampung tahu kalau Suzzanna menjelma sundel bolong padahal mereka belum tahu bahwa Suzzanna sudah mati? Padahal, Suzzanna tidak menghantui warga kampung. Sebelumnya juga tidak terlihat ada interaksi antara Umar dengan warga kampung, tapi kenapa tiba-tiba Umar bisa memprovokasi warga kampung hingga mereka berduyun-duyun membakar rumah Suzzanna? Apakah karena Suzzanna tidak ikut sembahyang Subuh berjamaah sebagaimana biasa, lalu penduduk bisa langsung menyimpulkan Suzzanna mati dan jadi hantu? Sungguh tidak logis!

Tapi, ini juga gambaran kebudayaan kita akhir-akhir ini. Masyarakat kita adalah masyarakat yang mudah diprovokasi oleh oknum yang bahkan belum mereka kenal. Dengan mudah Umar bisa menghasut warga kampung untuk membakar rumah Suzzanna dan Satria. Tanpa tabayun terlebih dahulu, warga kampung pun bergerak bersama-sama penuh kemarahan. Dalam adegan ini, kita juga bisa melihat kecenderungan masyarakat kita yang suka menyelesaikan persoalan dengan cara main hakim sendiri. Sebuah gambaran tentang musnahnya budaya berpikir sebelum bertindak.

Dalam film ini memang tidak ada lagi pemuka agama semacam kiai atau ustaz yang dikerdilkan peran sosialnya sebagai pengusir hantu atau setan sebagaimana sering kita lihat dalam film-film horor di Indonesia. Namun, Suzzanna masih saja kepanasan saat mendengar ayat-ayat Al-Quran. Penulis skenario atau sutradara sepertinya malas berpikir atau kebingungan mencari alternatif lain yang lebih cerdik, serta logis, untuk meyakinkan Satria bahwa Suzzanna sudah mati dan menjelma arwah gentayangan.

Akhirnya, sebagaimana selalu dipakai dalam film-film horor Indonesia, kitab suci masih saja dijadikan pilihan utama untuk menggambarkannya. Suzzanna menjerit berlari kepanasan hingga kaca jendela rumah mereka berantakan saat Satria melantunkan ayat-ayat Quran di hadapannya. Sungguh dramatis, meskipun tidak logis, dan terkesan mimesis.

Apakah kitab suci diturunkan ke muka bumi hanya untuk membuat hantu-hantu kepanasan ataukah sebagai pedoman bagi manusia untuk menjalani kehidupan? Adegan ini memberi kita gambaran bahwa agama, khususnya kitab suci, masih dipahami secara dangkal oleh sebagian sineas kita.

Kedangkalan film ini dalam memaknai agama juga tampak pada kesalehan Suzzanna dan Satria yang dicitrakan melalui adegan rajin sembahyang berjamaah dan mengaji Quran. Di sini pula ketidakkonsistenan itu berada. Sebagai orang yang taat beragama, kalau pun harus mati dengan cara mengenaskan, mestinya Suzzanna tidak jadi arwah gentayangan, apalagi bangkit sebagai sundel bolong untuk balas dendam. Dalam eskatologi Islam (sebagaimana agama yang dianut Suzzanna dan Satria dalam film tersebut), tidak ada konsep manusia bereinkarnasi menjadi hantu, apalagi menjelma sundel bolong. Dan sebagaimana dalam ajaran agama apa pun, balas dendam juga dilarang dalam Islam.

Namun narasi tersebut sebenarnya juga potret keberagamaan masyarakat kita hari-hari ini. Seolah-olah agamais, tapi kapan pun bisa berperilaku bengis. Maka jangan heran kalau Suzzanna yang awalnya terlihat salehah, akhirnya bisa begitu keji membunuh manusia lain demi melampiaskan dendam kesumatnya. Begitu juga warga kampung, yang sebelumnya rajin sembahyang berjamaah, akhirnya kalap dan main hakim sendiri saat membakar rumah Suzzanna dan Satria.

Dari sisi politis, film ini mengerdilkan peran dan perjuangan kaum buruh dalam menuntut haknya. Kaum buruh, melalui tokoh Jonal dan kawan-kawannya, dicitrakan sebagai sekelompok orang yang tamak. Padahal, dalam kehidupan nyata, justru pemodal atau pemilik perusahaanlah yang tamak dan bertindak semena-mena terhadap kaum buruh. Buktinya, hingga hari ini, buruh di Indonesia masih belum sejahtera. Upah minimum regional di tiap daerah pas-pasan untuk menunjang beban hidup mereka dan keluarganya. Ketimpangan sosial dan ekonomi terus terjadi akibat regulasi-regulasi perburuhan atau ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada mereka.

Tidak hanya dangkal dalam memaknai agama dan realitas ekonomi-politik, film ini juga dangkal dalam memahami budaya. Kearifan lokal masih saja dicitrakan sebagai ajaran sesat. Ini bisa kita saksikan pada sosok Mbah Turu (Norman R. Akyuwen), seorang dukun yang membantu niat jahat Jonal dan Umar untuk menghabisi hantu Suzzanna beserta Satria.

Dengan kemenyan, keris, juga kidung Rumekso ing Wengi gubahan Sunan Kalijaga (yang lagi-lagi membuat hantu Suzzanna menjerit kepanasan), Mbah Turu yang gondrong dan berpenampilan awut-awutan digambarkan sebagai penganut ilmu hitam yang kejam sekaligus mata duitan. Padahal kemenyan, keris, juga tembang tidak berkonotasi kepada hantu atau setan. Ketiganya adalah medium yang dipakai manusia-manusia Nusantara untuk menyambungkan batin mereka kepada Tuhan sekaligus menjaga ikatan kosmologisnya dengan alam. Sebegitu picisankah film ini memaknai instrumen-instrumen kebudayaan kita?

Untuk mengesankan cinta pasangan muda ini abadi dan bahagia, Satria pun dibikin terbunuh di akhir cerita. Pertanyaan saya, kenapa Satria harus mati? Hanya dalam atau dengan kematiankah manusia bisa meraih kebahagiaan? Tidak bisakah Satria dibiarkan tetap hidup lalu menjalani kebahagiaan tanpa harus ikut mati bersama Suzzanna? Kenapa mati menjadi solusi terakhir untuk bahagia? Sampai di sini, tiba-tiba saya teringat kepada para pelaku bom bunuh diri di berbagai tempat demi mendapatkan sekeping surga yang diidamkan.

Film ini juga gagal menampilkan realitas sosial masyarakat kita. Absennya penegak hukum ketika terjadi kekacauan di tengah-tengah masyarakat menjadi indikatornya. Tidak hanya dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria, polisi juga tidak ada ketika Dudun dan Gino terbunuh. Padahal keduanya mati di tempat umum: di pabrik dan di asrama pekerja. Dudun mati mengenaskan karena terlilit gulungan tali ketika lari dari bayang-bayang Suzzanna, sementara Gino tewas setelah Jonal menusuknya berkali-kali karena mengiranya hantu sundel bolong itu.

Sebegitu lalaikah polisi kita? Mengapa tidak ada seorang pekerja pun yang melapor ke polisi atas terbunuhnya Gino atau Dudun? Sebegitu naifkah warga kampung, hingga tidak ada satu orang pun yang waras, lalu mencegah agar warga lainnya tidak main hakim sendiri dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria? Atau, lagi-lagi, inikah potret mutakhir dari kebudayaan kita? Atau inikah kritik untuk aparat dan penegakan hukum di negeri ini?

Situs Filmindonesia.or.id mencatat, film Suzzanna Bernapas dalam Kubur meraih 3.346.185 penonton. Film ini pun menjadi film Indonesia terlaris kedua pada tahun 2018. Gejala apa ini? Kenapa masyarakat kita suka menonton film berisi aksi-aksi balas dendam dengan adegan-adegan bertabur kekerasan dan kekejian?

Film ini dirilis pada 15 November 2018 di bioskop-bioskop se-Indonesia. Saat itu, situasi sosial-politik bangsa ini sedang meriang akibat demam Pilpres 2019. Dengan capaian penonton sebanyak itu, jangan-jangan itu cara masyarakat kita mencari hiburan untuk menghindari kisah horor di luar bioskop. Apa itu? Politisasi agama dan identitas, rasialisme, sumpah serapah cebong dan kampret yang mengotori media sosial, penegakan hukum dan hak asasi manusia yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, korupsi wakil rakyat dan pejabat negara yang tak sudah-sudah, juga kepalsuan yang diumbar elite politik dalam acara debat-debat politik di televisi.

Film Suzzanna Bernapas dalam Kubur menjadikan kekerasan sebagai komoditas, dan masyarakat kita pun membelinya, sebagai cara termurah untuk melarikan diri dari realitas. Film-film semacam ini, bagi saya, tidak mendidik karena membuat masyarakat kita semakin banal terhadap kekerasan. Lihat saja bagaimana orang-orang begitu mudah menyebarkan foto atau video-video kekerasan di media sosial. Kalau situasi ini terjadi terus-menerus, masyarakat kita akan mengidap masokhisme kebudayaan: gemar melihat tindakan kekerasan atau aksi-aksi kekejian, yang akhirnya dapat mempengaruhi alam bawah sadar mereka untuk melakukan hal yang sama di kemudian hari. Sungguh, ini sangat tidak sehat bagi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Film tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi juga media komunikasi massa yang berpengaruh langsung terhadap perubahan dan pergeseran budaya sebuah bangsa. Bahasa atau simbol-simbol di dalam film membawa nilai-nilai dan pesan bagi penontonnya. Nilai dan pesan ini berdampak terhadap pengembangan atau pengerdilan potensi diri, pencerdasan atau pembodohan generasi. Dengan propaganda dan peran-peran strategis yang dimiliki film itulah kita butuh film-film bagus.

Kita butuh film yang merayakan kehidupan, bukan film yang merayakan kematian. Film yang cerdas sekaligus mencerdaskan. Film yang tidak hanya berfungsi sebagai penyedot pundi-pundi rupiah belaka, tapi juga berfungsi sebagai media untuk memperbaiki ketimpangan sosial-politik, melalui kearifan-kearifan budaya. Karena itu, bagi saya, bangsa ini tidak butuh film-film yang mati. Bangsa ini butuh film-film yang hidup, film-film yang bernapas. Bernapas dalam film. Bagaimana menurut sampean?

Multi-Page

2 Replies to “Menunggu Ratu Adil, yang Datang Suzzanna”

Tinggalkan Balasan