Islam terus tumbuh dan berkembang. Dalam perkembangannya, tentu saja cobaan-cobaan bagi umat Rasulullah juga semakin deras. Namun, tak mengapa, tidak ada yang pantas didapatkan selain iman. Seberapa pun besar beban yang mereka tanggung, tetap saja, yang paling nikmat adalah nikmatnya iman dan nikmatnya berada di sisi Rasulullah.
Saat itu, Nabi Muhammad dan para sahabatnya tiba di Madinah. Betapa senang hati penduduk Madinah, tak terbandingkan dengan kesenangan apa pun. Kaum Anshor, begitu mendengar kabar bahwa Rasulullah Muhammad hendak berhijrah dari Mekkah menuju ke wilayahnya, tak sehari pun mereka lewatkan dengan menunggu kedatangan Sang Nabi. Di kala pagi, mereka keluar rumah untuk menanti sosok mulia tiba. Dan, tepat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun ke-14 kenabian, atau tepat pada tanggal 23 September 622 Masehi, Sang Nabi tiba.
Kaum muslimin yang ada di Madinah, serta kaum Yahudi yang ada di sana, sontak berbondong-bondong menyongsong kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hari itu adalah hari paling membahagiakan bagi kaum Anshor. Sambutan hangat penuh suka cita itu ditangkap oleh Rasulullah. Selawat terus-menerus dilantunkan oleh mereka,
Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita
Dari lembah Wada’
Dan wajiblah kita mengucap syukur
Di mana seruan adalah kepada Allah.
Wahai engkau yang dibesarkan di kalangan kami
Datang dengan seruan untuk dipatuhi
Engkau telah membawa kemuliaan kepada kota ini
Selamat datang penyeru terbaik di jalan Allah.
Rasulullah, Muhammad. Seorang Imam besar satu-satunya yang terbaik dan termulia di sepanjang waktu. Tak akan pernah tergantikan. Rupanya, tidak hanya penduduk Yatsrib yang bungah menanti kedatangan Nabi.
Kini, di hari kelahiran Nabi, maulid Nabi, seluruh orang beriman sedang menunggu dan menantikan sapaan Nabi Muhammad. Hati yang sudah kosong, tidak ada panutan yang benar-benar patut diteladani, tidak ada pemimpin yang benar-benar patut dimuliakan, tidak ada guru, tokoh, pencerah, yang benar-benar patut digugu selain Kanjeng Nabi Muhammad. Hati yang sudah lelah mondar-mandir ke sana dan kemari mencari kebenaran, saat ini hanya merindukan sapaan Kanjeng Nabi.
Saat ini, dalam perayaan maulid Nabi, kaum muslimin Indonesia sedang secara besar-besaran menyambut kedatangan Imam Besar, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Tiada hari dilewati tanpa berselawat. Yang mengayuh becak untuk mencari rezeki, yang terbakar di bawah terik untuk mengatur lalu lintas, yang sedang berjuang berikhtiar menyelamatkan nyawa orang, yang sedang berjalan mencari botol-botol bekas di pinggir jalan, semuanya sedang menantikan kedatangan Nabi dan mengimbangi kegiatan mereka dengan berselawat. Hanya satu tujuan mereka, agar mereka juga disapa kembali oleh Nabi Muhammad.
Selawat tak pernah berhenti di bumi Nusantara. Itulah bukti kalau tanah Nusantara tidak mau meninggalkan Rasulullah dan tidak mau ditinggalkan Rasulullah. Karya-karya selawat menjadi membumi dan menyebar di kanal media sosial. Selawat menjadi tren baru untuk anak muda masa kini. Dan, selawat menjadi wadah menuangkan gundah. Bukan, bukan karena kita rakyat Indonesia men-Tuhankan Muhammad. Sangat bodoh, jika Muhammad kami Tuhankan menggantikan Allah. Mana mungkin kami musrik kepada Allah, walaupun itu kepada Nabi Muhammad.
Kami sudah mendapat legitimasi dari Allah, bahwa untuk menuju Allah, kami harus bersama-sama dengan Kanjeng Nabi. “Laulaka, laulaka ya Muhammad, maa kholaqtul aflak”.
Bagaimana kami melangkahi Nabi Muhammad dan langsung menuju Allah, jika alam semesta ini Allah ciptakan untuk Muhammad. Begitu keji kami, jika tidak mencintai Kanjeng Nabi. Maka, sampai kapan pun kami akan berselawat, karena hati kami ingin disambangi oleh Kanjeng Nabi. Itulah cara kami menjalin cinta segi tiga, antara muslimin Nusantara, Rasulullah, dan Allah. Selamanya kami akan berselawat, karena kami sedang dalam penyambutan Imam Besar Umat Islam, Muhammad bin Abdullah.