Cryptocurrency atau mata uang kripto seperti Bitcoin masih terus diperdebatkan keabsahannya sebagai alat tukar atau transaksi. Namun, kehadirannya tak terelakkan di era digital ini.
Karena itu, melek akan transaksi digital merupakan keharusan bagi kaum milenial. Kurang kesadaran akan sistem transaksi yang berbasis digital menjadikan kaum milenial bisa ketinggalan proses membersamai kemajuan global.
Namun, yang terjadi sekarang adalah terbatasnya transaksi digital tertentu akibat konsep dan peraturan hukum negara dan agama Islam yang membatasinya meskipun uang kripto seperti Bitcoin telah digunakan oleh beberapa negara.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia serta Islam membangun pembatas terkait transaksi menggunakan mata uang kripto seperti Bitcoin ini?
Berawal dari Bitcoin
Untuk pertama kalinya, programer yang bernama Satoshi Nakamoto pada tahun 2009 menerbitkan Bitcoin guna meningkatkan aksesibilitas transaksi jual beli. Bitcoin dan uang digital lainnya identik dengan syarat alat tukar sah, unik, tidak mudah rusak, dan disepakati bersama antara para pengguna.
Dalam perkembangannya, Bitcoin memiliki kendala, terutama di Indonesia. Karena status legalitas yang tidak jelas dan belum dapat diterima oleh berbagai kalangan, Bitcoin tidak memiliki konsistensi karena pengaruh yang signifikan terhadap jumlah trader dengan jumlah pengguna Bitcoin sendiri.
Hukum Negara
Alasan Bitcoin sebagai mata uang digital tidak dapat digunakan dalam transaksi di Indonesia karena tidak diterbitkan oleh sebuah lembaga bank swasta maupun pemerintah. Selain itu, ada potensi kerugian yang lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh.
Hukum positif terkait mata uang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pada pasal 21 ayat 2, terdapat pengecualian bahwa penggunaan rupiah tidak wajib dalam hal transaksi tertentu, salah satunya transaksi pembiayaan Internasional.
Sementara itu, berdasarkan prinsipnya, menurut Pasal 21 ayat 1 UU Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. Dalam Pasal 1 ayat 1 UU dinyatakan bahwa, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 2 UU memuat bahwa, uang merupakan alat pembayaran yang sah dan Indonesia mengakui rupiah sebagai mata uang yang berlaku di wilayahnya, bukan mata lain apalagi uang kripto semisal Bitcoin.