Menyoal Legalitas Uang Kripto sebagai Alat Transaksi

1,482 kali dibaca

Cryptocurrency atau mata uang kripto seperti Bitcoin masih terus diperdebatkan keabsahannya sebagai alat tukar atau transaksi. Namun, kehadirannya tak terelakkan di era digital ini.

Karena itu, melek akan transaksi digital merupakan keharusan bagi kaum milenial. Kurang kesadaran akan sistem transaksi yang berbasis digital menjadikan kaum milenial bisa ketinggalan proses membersamai kemajuan global.

Advertisements

Namun, yang terjadi sekarang adalah terbatasnya transaksi digital tertentu akibat konsep dan peraturan hukum negara dan agama Islam yang membatasinya meskipun uang kripto seperti Bitcoin telah digunakan oleh beberapa negara.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia serta Islam membangun pembatas terkait transaksi menggunakan mata uang kripto seperti Bitcoin ini?

Berawal dari Bitcoin

Untuk pertama kalinya, programer yang bernama Satoshi Nakamoto pada tahun 2009 menerbitkan Bitcoin guna meningkatkan aksesibilitas transaksi jual beli. Bitcoin dan uang digital lainnya identik dengan syarat alat tukar sah, unik, tidak mudah rusak, dan disepakati bersama antara para pengguna.

Dalam perkembangannya, Bitcoin memiliki kendala, terutama di Indonesia. Karena status legalitas yang tidak jelas dan belum dapat diterima oleh berbagai kalangan, Bitcoin tidak memiliki konsistensi karena pengaruh yang signifikan terhadap jumlah trader dengan jumlah pengguna Bitcoin sendiri.

Hukum Negara

Alasan Bitcoin sebagai mata uang digital tidak dapat digunakan dalam transaksi di Indonesia karena tidak diterbitkan oleh sebuah lembaga bank swasta maupun pemerintah. Selain itu, ada potensi kerugian yang lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh.

Hukum positif terkait mata uang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pada pasal 21 ayat 2, terdapat pengecualian bahwa penggunaan rupiah tidak wajib dalam hal transaksi tertentu, salah satunya transaksi pembiayaan Internasional.

Sementara itu, berdasarkan prinsipnya, menurut Pasal 21 ayat 1 UU Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. Dalam Pasal 1 ayat 1 UU dinyatakan bahwa, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 2 UU memuat bahwa, uang merupakan alat pembayaran yang sah dan Indonesia mengakui rupiah sebagai mata uang yang berlaku di wilayahnya, bukan mata lain apalagi uang kripto semisal Bitcoin.

Hukum Islam

Hukum Islam mengenai uang kripto semisal Bitcoin bitcoin tentu saja terkait dengan gharar dan riba. Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu transaksi. Sedangkan, riba adalah melebihkan jumlah nominal dari ketetapan nilai asal.

Pengertian tersebut menjadi dasar pandangan Islam pada Bitcoin. Hal ini diperkuat dengan dalil populer di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [Al-Baqarah/2:275]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرّ ِبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan sisakan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. [Al-Baqarah/2:278]

Dalil tersebut menegaskan larangan Allah pada kegiatan yang memiliki unsur riba. Bahkan, larangan Allah berada pada tingkatan haram, sebab kemudaratan yang timbul pada kegiatan riba pasti besar.

Dengan demikian, status Bitcoin jelas sebagai mata uang yang tak diakui keabsahannya sebagai alat tukar atau transaksi. Sebab, berdasarkan kacamata hukum Islam, nilai Bitcoin terlalu fluktuatif sehingga mengandung ketidakpastian. Ia juga merupakan mata uang yang berdiri sendiri tanpa adanya badan pengawasan yang menaunginya dari lembaga otoritatif. Di saat yang sama, pemerintah mengeluarkan keputusan tentang Rupiah yang menjadi alat transaksi sah satu-satunya di Indonesia.

Sementara, secara tegas Islam juga melarang keras kegiatan yang memiliki unsur gharar (ketidakpastian) dan riba (melebihkan dari jumlah nilai yang telah ditetapkan), yang terdapat pada transaksi menggunakan uang kripto.

Dengan demikian, baik dari kacamata hukum negara maupun hukum Islam, status keabsahan uang kripto seperti Bitcoin memang masih menjadi persoalan, termasuk apa yang dihasilkan dari transaksinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan