Tak bisa dimungkiri bahwa umat Islam selalu menunjukkan keterkaitannya pada masa lalu. Tumpukan kitab kuning peninggalan intelektual ulama terdahulu tak susut. Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-din di Indonesia intensif mengajarkan, juga mendiskusikan, hasil karya para ulama salaf. Kreasi intelektual para ulama klasik itu telah menjadi tonggak intelektual ulama Indonesia. Bahkan, keulamaan seseorang belakangan amat ditentukan apakah yang bersangkutan memiliki kemampuan mengakses kitab kuning atau tidak.
Spontan sahabat berkata; sekiranya di lemari buku seseorang kita temukan jejeran kitab kuning, maka pastilah ia seorang ulama. Sebaliknya, jika lemari buku seseorang penuh dengan kitab putih, maka yang bersangkutan tak mungkin disebut ulama.
Dari sini, kita bisa meraba bagaimana seharusnya memperlakukan khazanah keislaman klasik. Mestilah disadari bahwa sebuah karya intelektual tak lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari sebuah konteks. Konteks keindonesiaan kita hari ini tak sama dengan konteks ketika karya ulama salaf itu disusun. Karena itu, tak bijaksana kalau kita terus memobilisasi pandangan keislaman lama yang tak relevan untuk memecahkan problem masa kini. Kita tak mungkin mengikuti pemikiran-pemikiran lampau yang berlangsung di kawasan Timur Tengah untuk diterapkan di Indonesia, tanpa proses kontekstualisasi bahkan modifikasi.
Karya para ulama klasik bukan wahyu, melainkan tafsir atas wahyu. Ia merupakan produk ijtihad. Persoalan siapa yang merumuskannya, untuk kepentingan apa, dalam kondisi sosial yang bagaimana dirumuskan, serta lokus geografi seperti apa. Karena itu, seharusnya kita meletakkan sebuah pemikiran dalam susunan konfigurasinya saat pemikiran itu diproduksi di satu sisi, dan dalam konteks epistemologisnya di sisi lain.
Mengetahui konteks-konteks tersebut bukan hanya penting bagi pengayaan pengetahuan sejarah sosial suatu pemikiran, melainkan juga berguna untuk kebutuhan kontekstualisasi pemikiran lama atau bahkan penyusunan pemikiran keislaman baru, yaitu jenis pemikiran yang bertumpu pada problem-problem kemanusiaan dan kondisi obyektif masyarakat Indonesia.
Tak hanya itu, kita juga harus memilah-milih antara teks yang relevan dan yang tak relevan. Kita tak bisa mengawetkan tafsir-tafsir lama yang cenderung menistakan perempuan dan umat agama lain. Kita tak mungkin mempertahankan pandangan ulama yang melarang perempuan menjadi pejabat publik atau menghalalkan penumpahan darah umat agama lain. Tafsir yang demikian tak boleh mendominasi percakapan intelektual kita hari ini.
Betapun canggihnya sebuah pemikiran jika berujung pada tindak kekerasan, maka ia batal dengan sendirinya. Karenanya, kita perlu mencari tafsir lama yang lebih mengapresiasi perempuan dan menghargai umat lain. lebih dari itu, seharusnya kita memproduksi tafsir baru yang memuliakan kaum perempuan dan menghargai umat non-Muslim. Pendek katanya “emansipatoris” memanusiakan manusia.
Sementara pandangan lama yang masih relevan dan masih bisa kita resepsi untuk memuluskan jalan bagi dialog dan kerjasama agama-agama di Indonesia di antaranya adalah pandangan Muhyiddin Ibn Arabi. Ketika para ahli fikih bersilang-sengketa mengenai kedudukan non-Muslim di negeri mayoritas Muslim, Ibn Arabi melangkah jauh dengan mengintroduksi agama cinta.
Perbedaan di ranah eksoterik fikih ini luluh dalam agama cinta Ibn Arabi. Lewat tasawuf falsafinya, Ibn Arabi membuka tirai dan menghapus sekat di antara para pemeluk agama yang berbeda. Sebagaimana Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa visi pokok ajaran agama adalah cinta dan kasih. Kerap kali dikatakan bahwa di antara murid-murid Rumi terdapat orang-orang Nashrani dan Yahudi. Apa yang dirintis Ibn Arabi dan dilakukan Rumi adalah jalan untuk menampilkan keramahan agama.
Agama yang terus-menerus dikampanyekan dengan jalan teror dan kekerasan akan kehilangan simpati dari pemeluk agama itu, apalagi dari orang lain. Sementara agama yang direklamekan dengan cinta, maka ia akan mengundang selera. Sejarah agama-agama menunjukkan perihal naik dan turunnya pamor satu agama. Bahkan, ada agama yang telah ribuan tahun hidup kemudian hilang ditelan bumi. Tentulah pasti ada berbagai faktor kenapa agama-agama itu tak lagi diminati dan tak dipilih masyarakat. Sisi lain, di samping karena ketidakmampuan agama untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan lingkungan sosial baru, faktor para juru kampanye yang suka menebar tafsir kebencian dan menghalalkan kekerasan akan turut memerosokkan reputasi agama itu.
Di Mana Posisi Akal
Ajaran Islam tak ditujukan kepada anak-anak, melainkan kepada manusia dewasa yang memiliki kemampuan rasional utuh. Dengan akalnya, manusia bisa menentukan yang baik dan yang tidak. Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi pernah berkata, “Wahai saudara, engkau adalah pikiran itu sendiri, dirimu selebihnya bukanlah apa-apa kecuali otot dan tulang”.
Menurut Ibnu Bajjah, berpikir adalah fungsi tertinggi manusia. Berpikir akan mengantarkan manusia berjumpa dengan Tuhan sebagai Sang Akal Aktif. Ibnu Tufail misalnya dalam novel filsafatnya, Hayy ibn Yaqzhan, mengisahkan seorang anak yang dibuang ke pulau kosong. Ia diasuh hewan dan dididik alam. Di tengah rimba itu, dengan akalnya yang masih berfungsi, ia bisa berfilsafat dan berteologi, dan akhirnya bisa menyatu dengan Tuhan. Apa yang dikatakan para filosof itu paralel dengan apa yang ditegaskan Al-Qur’an. Bahwa, Allah telah mengilhamkan kepada manusia suatu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga. Ia tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk, tapi juga untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, kitab suci tak mungkin bisa dipahami.
Menurut Ibn Rusyd, dalam agama, akal berfungsi untuk menakwilkan kitab suci ketika teks kitab suci tak bisa dikunyah akal sehat. Maka benar ketika para ulama menyepakati bahwa kebebasan berpikir (hifzh al-aql) termasuk salah satu pokok ajaran Islam (maqashid al-syari‘ah). Dengan demikian, seharusnya Islam lekat dengan kebebasan berpikir.
Konon, Imam Syafii pernah ditanya salah seorang muridnya tentang tafsir agama yang bertentangan dengan akal, maka Imam Syafii memerintahkan untuk mengikuti petunjuk akal, karena akal punya kemampuan untuk menangkap kebenaran.
Problem yang terjadi bahwa kita menghadapi fenomena dan kecenderungan untuk mendisfungsikan peran dan kemampuan akal. Fenomena ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, bermunculannya berbagai fatwa keagamaan yang membingungkan umat menunjukkan betapa tak berfungsinya akal. Dalam banyak kasus, akal tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum. Akhirnya, tindakan manusia menjadi tak terkontrol, hidup permisif, sehingga yang muncul adalah sejumlah kekacauan dan kesemrautan di tengah masyarakat.
Kedua, pada saat yang bersamaan, diciptakanlah sejumlah lembaga keagamaan yang berfungsi untuk menghukum orang-orang yang dianggap menggunakan akal secara overdosis. Institusi ini diberi kewenangan memvonis bahwa seseorang telah menyimpang atau keluar dari Islam. Sejumlah intelektual Muslim mendapatkan vonis sesat-menyesatkan dan kafir dari lembaga-lembaga tersebut. Ujungnya adalah penghalalan darah yang bersangkutan. Naif, jika di negeri-negeri lain orang berlomba-lomba untuk menggunakan akal pikiran, maka di negeri-negeri Muslim, orang-orang masih berlomba untuk mengkafirkan mereka yang menggunakan pikiran.
Syahdan, banyak orang yang kini tak berani menggunakan akal pikiran ketika berhadapan dengan pemikiran keagamaan. Padahal, wahyu Al-Qur’an terus menantang manusia untuk mendayagunakan akalnya dengan berbagai jenis ungkapan seperti Afala ta‘qilun (Apakah tidak berfikir?), Afala tatadabbarun (Apakah kalian tidak merenung?), Afala yanzhurun (Apakah mereka tidak melihat dengan seksama?), dan lain-lain. Dalam ushul fikih, akal diberi kesempatan untuk mensortir dan menyeleksi hukum dalam Islam, yang dikenal dengan takhsish bi al-aql, taqyid bi al-aql, tabyin bi al-aql.
Akal diberi otoritas untuk menjelaskan ajaran yang samar, membatasi keberlakuan hukum yang terlampau umum, mengeksplisitkan sesuatu yang tersembunyi dalam wahyu. Dengan demikian, wahyu dan akal mestinya saling mempersyaratkan. Yang satu tak menegasi yang lain bahkan saling mengafirmasi. Akal akan turut memperkaya wawasan etik wahyu. Sementara wahyu potensial mengafirmasi temuan kebenaran dari akal.
Akal merupakan subyek yang aktif dalam mendinamisasikan gugusan ide-ide ketuhanan dalam wahyu. Sementara wahyu adalah tambang yang bisa digali terus-menerus oleh akal manusia. Dengan perangkat akal yang dimilikinya, manusia kemudian tak hanya berfungsi sebagai hamba Allah, melainkan juga sebagai khalifah Allah di bumi.
Kalau kita percaya pada kisah purba agama, begitu pentingnya kedudukan manusia sebagai makhluk yang berakal budi di sisi Allah, sampai-sampai Allah tak memedulikan sejumlah kritik para malaikat yang menolak penciptaan manusia. Allah mengacuhkan keberatan malaikat atas diciptakannya Adam. Allah tetap menciptakan manusia bahkan memikulkan amanat kepadanya. Kepercayaan Allah dan pemberian amanat kepada manusia ini bukan tanpa alasan.
Sekiranya wahyu Allah tak sampai kepada sekelompok manusia, maka Allah telah menyiapkan piranti lunak berupa nurani dan akal budi yang berfungsi sebagai suluh penerang dan penunjuk jalan. Allah tak akan membebankan kewajiban syariat dan memberikan hak kepada manusia jika manusia hanya berupa daging, tulang, dan darah. Dengan nurani dan akal budi yang melekat pada dirinya, maka manusia pantas memikul amanat dari Tuhannya. Wallahu A’lam…