Di Indonesia, demonstrasi seakan menjadi catatan dengan huruf tebal di dalam sejarah. Demonstrasi selalu dicatat dengan huruf tebal sebagai cara melakukan perubahan kualitas kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, benarkah demonstrasi adalah satu-satunya jawaban bagi demokrasi?
Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa sering dielu-elukan sebagai agen perubahan. Dan fenomena itu sudah muncul sejak zaman pergerakan kemerdekaan, di mana para pemuda yang selalu mau berbuat sesuatu berada di garda depan. Merekalah yang lebih mau berpikir kritis dan progrsif, terus bergerak, yang dalam istilah modern sering disebut revolusioner.
Tapi apakah para pemuda yang turun ke dalam aksi massa, yang berbaur di dalam demonstrasi, yang menyuarakan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah sebagai kritik atas kebijakan yang kurang adil, yang menyuarakan suara rakyat banyak itu, benar-benar sadar sepenuhnya tujuan daripada perjuangan mereka?
Di negara-negara dunia ketiga ini, sebuah gerakan tidak bisa berdiri di kaki sendiri. Banyak sekali gerakan yang diasuh oleh dan berelasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik, atau didanai oleh luar negeri, dan seterusnya.
Dan kita tahu sendiri, bahwa partai politik di Indonesia banyak dihuni oleh orang-orang yang bisa jadi kompeten tapi tidak punya integritas dan prinsip-prinsip yang jelas, atau boleh jadi tidak kompeten tapi memiliki modal yang banyak. Partai sendiri seringkali tidak jelas pendidikan politiknya, tidak jelas komitmen sikap etisnya, sehingga bisa kita lihat dan baca di koran dan media-media bahasa mereka yang kurang berbobot, dan banyaknya dari mereka yang terjerat korupsi. Ini sangat miris, dan tentu menjadi perhatian kita bersama.
Pendidikan kita yang ada sekarang juga tidak mendukung kesadaran kita akan keadaan yang konkret, akan kehidupan yang harus ditata dengan baik secara kepahaman bersama-sama. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk bertahan hidup membuat banyak dari kita hanya mengandalkan secarik kertas ijazah. Dan, sebagai seorang sarjana muda, seperti lagu Iwan Fals, kita terlempar ke sana kemari, tanpa dapat pekerjaan, tanpa dikenal, tanpa dangau persinggahan, kata penyair WS Rendra.