Konon puisi adalah mahkota bahasa. Puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang yang mampu bermain-main dengan bahasanya.
Begitu yang tertulis dalam bagian belakang buku Bilang Begini Maksudnya Begitu karya Sapardi Djoko Damono. Saya setuju dengan pendapat Sapardi Djoko Damono. Puisi sepanjang yang saya ketahui, adalah permainan bahasa.
Semisal keasyikkan seperti yang dilakukan Gregor Johann Mendel yang mengawinkan biji-bijian untuk menemukan pola pewarisan sifat tertentu yang kemudian menjadi dasar ilmu genetika pada kacang kapri. Penyair juga melakukan hal yang hampir sama, yaitu mengawinkan kata-kata ke dalam puisinya untuk menemukan ekspresi baru dalam bahasa (sejarah pengucapan) yang dia gunakan sebagai representasi atas pengalaman duniawi maupun spiritual.
Saya menyebut cara mengawinkan kata-kata itu sebagai metafor.
Puisi tidak bisa dilepaskan dari metafor, setidaknya dalam puisi modern. Metafor dalam salah satu pengertian yang saya ambil dari buku-buku linguistik adalah menggabungkan kata benda dengan kata sifat yang dipinjamnya dari benda lain. Agar lebih jelas, saya contohkan di sini, misalnya kata ‘matahari’ (kata benda) dan kata ‘merekah’ (kata sifat yang dipinjam dari ‘bunga’, atau lebih tepat kata yang melekat pada sifat bunga), menjadi ‘matahari merekah’.
Frasa ‘matahari merekah’ terdengar cukup aneh secara bahasa umum untuk berkomunikasi secara langsung, hal yang lazim adalah ‘matahari terbit’ bukannya ‘merekah’. Tapi di situlah letak beda antara metafor dan bukan metafor.
Metafor selalu menimbulkan gambaran di benak kita, semacam figuratif. Dan tentu saja, kekuatan frasa bermetafor berusaha secara tepat menangkap peristiwa atau momen yang benar-benar terjadi di dunia nyata kita, seperti frasa ‘matahari mereka’ lebih cocok kita rasakan dengan pengalaman langsung kita ketika melihat matahari pagi yang perlahan seakan merekah seperti bunga saat awan-awan yang menutupinya perlahan membuka.
Metafor, dengan kata lain, adalah memindahkan sesuatu ke sesuatu yang lain (perubahan tempat, terjadi perubahan kualitas), meminjamnya, kemudian meletakkannya dengan tepat untuk mendapatkan gambaran yang tepat tentang momen kenyataan yang direpresentasikan ke dalam bahasa.
Cukup sulit memang untuk membuat definisi yang jernih tentang metafor, tapi metafor menjadi cara yang seringkali dipakai sebagai teknik oleh para penyair untuk menuliskan puisi-puisinya.
Metafor tidak sepenuhnya hadir dalam tiap baris-baris puisi, pada beberapa penyair ia digunakan pada saat dan celah tertentu yang dianggap penyair tepat ditaruh dalam puisinya. Tapi pada tiap puisi, sepanjang yang saya ketahui, selalu terdapat metafor.
Jika Anda pernah belajar atau sedikit membaca tentang linguistik, ada teori yang terkenal oleh Ferdinand de Saussure tentang segitiga tanda. Ketika saya mendalami mengenali teori tanda tersebut, saya berfikir bahwa metafor adalah upaya untuk menemukan sekaligus memperkaya bahasa baik dari segi makna atau ekspresi.
Jadi secara luas, metafor tidak hanya membuat frasa-frasa saja, ia bisa mencakup kalimat, bahkan paragraf. Dalam hal ini, saya membatasi diri pada metafor dalam frasa-frasa untuk puisi.
Metafor adalah perbandingan-perbandingan. Dalam puisi, perbandingan-perbandingan itu dipakai oleh penyair untuk mengekspresikan sesuatu yang ia tangkap pada momen puitiknya. Penyair tentu saja memilih, bahkan tidak segan-segan membuang apa-apa yang tidak perlu atau tidak mewakili apa yang ingin dia ungkapkan.
Saya teringat dua baris puisi Paul Verlaine, penyair besar Prancis, yang begitu mengesankan; cucuran airmata di hatiku/laksana hujan turun di kota itu. Frasa bermetafor yang sangat indah, yang menggambarkan betapa sedih batinnya.
Penyair membandingkan antara airmata yang jatuh di hatinya dengan hujan di sebuah kota yang entah di mana. Jika ini adalah bahasa komunikasi langsung masyarakat umum pastilah akan lain jadinya, orang akan bilang; airmata di pipimu, atau hujan di kota Jakarta, misalnya.
Penyair punya keistimewaan untuk mengekspresikan bahasa sehingga bahasa itu menjadi kaya (terutama dalam ekspresi pengucapannya). Walaupun itu berisiko untuk dibilang aneh, gila, atau bahkan lebih jahat lagi, tidak berguna.
Pandangan yang salah tentang penyair sungguh membuat kita miris. Tapi akhirnya, kita mengerti sekarang, mengapa penyair menjadi penting untuk bahasa dan bangsa, puisi menjadi penting bagi kehidupan kita, dan mengapa metafor menjadi sangat penting dalam puisi.
Pertanyaan lain setelah mengerti cara kerja metafor adalah, jika demikian, apakah puisi itu kenyataan sebenar-benar yang terjadi di dunia? Apakah metafor adalah cara mengatakan dunia dengan sebenar-benarnya? Apakah penyair adalah orang yang mengatakan kebenaran tentang dunia dan kehidupan?
Mungkin, saya tidak berani mengatakan itu memang benar, sebab dalam banyak sekali puisi yang pernah saya baca, barangkali sebagian tidak mengatakan apa-apa tentang kenyataan, bahkan seringkali saya temui frasa-frasa bermetafor mereka kurang kuat melukiskan kenyataan duniawi itu, dan memang ada beberapa penyair yang mampu meramalkan kematiannya melalui puisi yang ditulisnya, tapi saya tidak berani menyimpulkan apa pun.
Sampai di sini kita semua tahu, puisi memiliki dunia sendiri, begitu yang kita baca dari ulasan-ulasan penyair besar. Puisi masih tetap sebagai misteri yang perlu diselami kedalamannya, dasar jurang ketidaksadaran penyair mengekspresikan bahasa yang digunakannya. Dan kita masih menuju ke sana, masih berusaha menangkapnya, masih tak henti-hentinya “menjadi”. Sekian.