MISALAKAN KITA DI MASALALU
Semisal kita di masalalu;
Aku akan bertanya benarkah perempuan tercipta dari tangis?
Dan untuk itu dia mencoba mempengaruhi setiap musim
Agar panas sekalipun tetap menghasilkan gerimis dan dingin.
Semisal kita di masalalu;
Aku akan menyatakan bahwa lelaki lahir dari kebohongan
Maka dari itu mereka kerap kali mencipta replika
Seperti gema terakhir teriakan terompet di kanal
Lalu seorang awak kapal menarik jangkar
Dia yang tidak paham bagaimana sebuah
Ketakutan menggila di hadapan perpisahan.
Semisal kita di masalalu;
aku akan mengajakmu menyaksikan sepuluh ribu lempeng senja
Dan kita menyanyikan lagu-lagu paling nelangsa
Tentang cinta yang sebenarnya hanya bisa kita angankan.
*
Setelah itu akan aku tutup jalan menuju masalalu
Agar tak lagi ada semisal semisal yang lain
Dan aku berhenti menerka batas
Yang aku tak pernah tahu.
Annuqayah, September 2024.
GAPURA
_Almarhum M.J
Di gapura, hujan dan kangen
Berimpitan. Seperti detik jam yang langgeng
Angin terbahak di malam yang beku
Langit menjauh, enggan memeluk seorang perempuan
Yang terguguk di samping pemakaman seorang mantan kekasih.
“ Apakah di Gapura, tersedia secelah pintu masuk?”
Malaikat menjawab dengan suara parau
‘Gapura telah menutup segala pintu
Termasuk pintu menuju masalalu.
Masalalu hanya seonggok bangkai di kuburan
Kematian memberinya makna
Kesakitan memberinya kata.
Di Gapura hujan dan kangen
Senantiasa menabur firman
“cinta hanyalah serpihan-serpihan kesedihan!”
Annuqayah, 2024.
CATATAN MASALALU
1/Cafe Taneyan
Kita hanya duduk, tatap menatap
Meski waktu dipingit matahari ke arah yang jauh
Sebab sunyi tidak mampu
Menyisakan apapun
Kecuali kenangan yang telah lebur
Lagu in the star menjadi instrumentalia
No one can rewrite the star
How can you say you’ll be mine
Everithing keep us apart
And i’m the one you werw meant to find
Di sinalah bayangan seorang perempuan itu berdiri
Apa yang mampu ia pungut dari runcing gemintang
Kecuali hanya peliknya kenyataan!
Di Taneyan malam itu, Bim
Aku mulai paham bahwa dalam lagu itu tercipta batas
Waktu juga sudah makin lawas
Dan kesedihan-kesediha lain
Mulai dirancang di belakang.
2/Bhintaro
Kemudian pantai.
Pada debur ombak berikutnya
Kau menghadiahiku lanskap yang tipis
Sebuah kapal. Seseorang di buritan.
Layar-layar berkembang. Langit berwarna tembaga.
Dan angin meraung;
Pelayaran telah lama dibelenggu kabut
Dan ia tak pernah melihat takat mapum semenanjung
Kompas yang dikantunginya hilang di tengah lautan
Ia hanya terapung dalam kemalangan
Di seret dari satu derita ke derita yang lain.
Senja itu, di Bhintaro, Bim
Aku paham lanskap yang kauberikan adalah batas!
Dan di sisi lain kesedihan telah dipahat pada dek-dek kapal
Untukku berlayar. Sendirian.
3/Sudi Mampir
“Semangkuk bakso, 10 sendok cabe
Cuka secukupnya, jangan pernah kau campuradukkan
Dengan kenangan, Damayanti
Karena setelah mangkuk terakhir habis
Kau hanya akan menyeduh tangis”
Betapapun aku baru menyadari
Bahwa itu merupakan batas kata-kata
yang tak lagi berhamburan dari tubuhmu
Di hari-hari berikutnya.
Maka hari ini, Bim
Sudi mampir hanya kedai bakso biasa
Orang-orang lalu lalang
Sepi susul menyusul di antara
Denting garpu dan isak tangis yang tersimpan
Pelanggan-pelanggan yang lain tidak akan pernah sadar, Bim
Bahwa dulu, di sudi mampir
Seorang laki-laki yang kasmaran
Sedang meleburkan segenap cintanya
Dalam semangkuk bakso
Si perempuan melahapnya dengan tenang
Ia tak pernah tahu bahwa sewaktu-waktu
Semangkuk bakso bisa menjadi apologi air mata
Menjadi stasiun waktu yang pergi sia-sia.
5/Lancaran
Di perempatan jalan ini
Gemetar di dadaku menggugurkan
Sekujur tubuh daun-daun
Langit keperakan, angin basah
Melumuri kita berdua
”apakah tidak sekarat menanggung kangen sendirian” Katamu.
Kemudian hari mulai rembang,
Cuaca hilang,
Kau menjelma butir-butir embun
Di gugur daun-daun.
6/Pelabuhan Dungkek
“berangkatlah” katamu
Aku pun sudah berkemas untuk kenyataan yang lain
Karena penyair terlahir dari derita
dan teka-teki yang entah
pada peluit ketiga
angin pucat pasi membawa jerit ombak
ke gigir pelabuhan
di sanalah panggung kesedihat itu digelar
namun, sedu sedan di dadaku telas habis
air di mataku kandas untuk sekadar menangis.
Lambung kapal akhirnya menjauh
Menciptakan kenyataan baru
Dalam dek kapal pelayaran derita telah dimulai
Dan kau tentu tak pernah paham
Bahwa maut selalu mengintai di tiap-tiap wajah perpisahan.
Annuqayah, 16-19 September 2024.
MELANKOLIA SEBUAH NEGERI
Sepuluh tahun kemudian
Seorang anak lahir dari rahim kesedihan
Bapaknya tengah disandera dari penjara ke penjara
Ibunya sibuk mumunguti sisa-sisa keserakahan
Di depan istana negara.
*
Kuntum bunga gagal mekar
Sebab tanah hanya menyimpan hama
Kesedihan-kesedihan lain dibelenggu
Dalam cadas batu
Dalam nisan pemakaman massal
Bertahun-tahun lalu
*
Negeri yang bagaimana mesti kami gambarkan:
seorang pemahat kayu
yang sedang menata masa depan
anak-anaknya di kursi rotan tak layak pakai?
Atau seorang pedagang asongan
Yang telah begitu lihai menjualbelikan kebenaran?
*
Sepeluh tahun kemudian
Anak-anak berlarian memegang bendera
dari satu bukit ke bukit lainnya
Angin keparat, sakit sekarat
Mereka kemudian menggali kepala mereka sendiri
karena kehilangan tanah
untuk mengibarkan merah putih
Annuqayah, 2024.
POTRET PAK PRESIDEN
Matahari begitu binal menyengat kota
Saat potret pak presiden terpampang di papan reklame
Orang-orang terkencing-kencing
Lari lintang pukang
Ketakutan-ketakutan yang lain
Membuat rumah di segala penjuru
“tidakkah hidup ini adalah
Sepenuhnya milik kami?”
Di papan reklame itu
Peluru-peluru dimuntahkan dari arah masa lalu.
Senyum keparat, timpa menimpa dengan gempar angin
Dan tangannya yang buntung
Telah sempurna mengubah lanskap langit
Udara berlapis kolusi, korupsi, dan praktik monarki.
“kemerdekaan tak ubahnya ladang tembakau
Yang disekat hujan”
Di papan reklame itu
Dia tersenyum sekali lagi
Menatap nyalang segenap penjuru tanah air ini.
Amarah, 2024.
Ilustrasi: lukisan Hanung S.