MISALKAN PAGI KITA DI GUNUNG
Misalkan pagi kita di gunung
Kau pandangi mentari seperti terbit di belakang punggung
Misalkan sore kita di lautan,
Kau pandangi mentari seperti tenggelam menuju kelam
Maut kini seumpama gelombang saat malam tiba;
Datang bergantian seperti sudah biasa,
Tetapi pagi di sini amatlah tenang
berbaris sajak tertulis, meski perasaan datang dan terbuang
Cerita di lautan tak akan surut
meski keadaan sedang pasang,
nelayan bercerita tentang kematian
bukan hanya nyawa, namun juga perihal nasib,
tetapi lihatlah. . .
Orang-orang dengan tenang
membuang kesialan di atas terumbu karang,
lalu diombang-ambingkan gelombang
Jangan hujan dulu di pantai kami
Puisi belum terbuat dan kau sudah pergi
Biarlah senja mengambang di sore hari
Kau nikmati dan pandangi, sampai tiba kau kembali–ke surga yang abadi.
RUMAH TANGGA
Kita senantiasa kesulitan mengungkapkan perasaan melalui kata-kata;
“Lebih baik pulang sebelum hujan tiba,
dari pada berteduh setelah terlanjur basah”
Kita saling berbagi kisah–perihal kehidupan dengan ungkapan dan perasaan masing-masing,
Meski dengan nada dan bahasa yang paling asing
Kita saling bertukar problematika–dengan penyelesaian masing-masing,
Meski jalan keluarnya berputar-putar bagai gasing
Kita sudah saling membuka pintu ketika pagi tiba,
tatkala mentari memancarkan sinarnya
Kita sudah saling membuka jendela, tatkala pelangi tampak, seusai hujan reda
Kita sudah sama-sama menyiram dan merawat harapan-harapan, agar langkah ke depan tak mencekam
Kita sudah saling menulis dan membaca dengan apa yang sudah kita tulis dan kita baca.
Aku menulis tentang gerimis
dan kau membaca tentang senja.
Kita sudah belajar tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan–tidak dengan hati yang panas, tapi dengan kepala yang dingin.