Akhirnya kakiku menapak kota sunyi ini. Jalan raya meliuk, membelah banjar ratusan bangunan tua yang membisu. Tak ada satu kendaraan pun yang lewat di jalanan, selain kucing liar dan tikus got yang kejar-kejaran, atau anjing, atau ular, atau musang yang kemudian bertahi begitu saja, dikerubung lalat-lalat hitam, digerayang ulat-ulat halus.
Sejenak angin membagi desir, sebelum ditindih suara lolongan anjing dan tangis bayi jadi-jadian yang menjerit dari rumah-rumah yang jendelanya terkuak.
Aku bergidik. Bulu kuduk meremang. Zida, istriku, menggenggam erat lengan kananku. Wajahnya pucat ketakutan. Saat kutoleh, sepasang matanya suram dan berembun. Ia menangis, menahan rasa cemas. Aku berusaha menenangkannya meski sebenarnya aku juga merasa takut.
Matahari merah jambu seperti bertumpu pada ubun apartemen kosong, di antara burung-burung terbang dan gumpalan kabut mirip kudup bunga kecubung. Aku dan Zida terus melangkah, ke arah gang yang persis diceritaka oleh Ki Sin, gang yang diapit sepasang kafe kusam, yang di temboknya terdapat coretan-coretan darah berbau amis, dan pada tikungan pertama, ada sapu bertangkai tulang, bersandar pada batu umpak yang menyunggi tempayan hitam. Kata Ki Sin, sapu itu adalah sapu sihir milik para penyihir di zaman Harry Potter. Dan menurutnya lagi, kota ini jadi sunyi karena penduduknya pindah setelah lelaki petapa itu tinggal di bekas penjara dan menyebabkan banyak makhluk halus merubung ke kota ini.
“Kita harus melawan takut, demi melunasi utang dan demi menjadi orag kaya,” bibir kudekatkan ke telinga Zida.
Zida melirik dan tersenyum sebentar. Matanya kembali dilanun kecemasan. Kami terus melangkah. Beberapa kecoa, kelabang, dan kalajengking melintas-lintas di kaki kami. Zida menjerit-jerit, tangannya kian erat memegang lenganku. Bibirnya yang pucat mulai melontarkan kata “ingin pulang”. Aku mengedipkan mata, memberi isyarat untuk bertahan.
“Tinggal dua tikungan lagi, Sayang. Kita bakal menyentuh takdir baru, menjadi orang kaya,” aku mengulur senyum lembut.
“Baru satu tikugan tapi sudah membuatku hampir mati ketakutan, Mas.”
“Sabar, Sayang. Beginilah perjuangan.”
“Apa Mas Suto lebih memilih kaya daripada menyelamatkanku?” suara Zida agak nyaring.
Kuhentikan langkah. Kami berhadap-hadapan. Sepasang tangan Zida kugenggam lebih erat. Kutatap wajahnya dengan teliti, terutama kuselami bundar matanya yang lembap.
“Yang jelas aku tak akan menukarmu dengan apa pun. Aku sangat mencintaimu. Aku ke sini juga karena ingin membahagiakanmu nanti, Sayang. Ingat! Kita punya banyak utang. Agar mudah melunasi utang itu, kata dukun, kita harus mendatangi kota sunyi ini.”
“Masih banyak cara lain melunasi utang yang tidak menyiksa seperti ini,” suara Zida setengah membentak.
“Ingat, Sayang. Kita punya banyak utang karena kamu doyan jajan dan belanja yang tak terurukur. Hartaku habis karenamu, Sayang. Ingat itu! Ayolah bertahan, tinggal sedikit lagi untuk sampai pada tujuan yang kita inginkan,” suaraku keras, emosiku melonjak. Zida menangis, bahunya berguncang, ia mununduk sambil menghapus air matanya dengan ujung jarinya.
“Baiklah, Mas. Saya aka bertahan,” sahutnya berpadu isak.
Lalu kami melanjutkan langkah. Kami berpapasan dengan kambing-kambing berkepala manusia. Zida memejamkan mata. Tangannya yang gemetar, memelukku sangat erat. Aku yang mengatur haluan gerak kaki. Berbelok ke arah kiri. Kami diambung bau kemenyan. Di sebuah bangunan kumuh yang temboknya dijalari rumah rayap, sebuah pistol tua milik Kurt Cobain bergantung senyap dan penuh sawang. Mulutnya menganga, seolah hendak menuturkan kesedihan di masa silam
Bunyi-bunyi aneh terdengar dari halaman rumah dan toko-toko yang tak berpenghuni. Lalu kami berpapasan dengan seorang lelaki memakai jas, celana dan sepatu, tapi ia tanpa kepala, berjalan ke sebuah taman sambil menjinjing koper. Aku tak berani menyapanya, begitu pula manusia tak berkepala itu. Kesunyia kian menyepuh kota ini, jadi semacam kota mati yang hanya melahirkan ketakutan demi ketakutan.
Andai tidak karena dorongan keadaan, tak mungkin aku dan Zida datang ke kota sunyi ini. Tiga tahun kami menikah, utang terus menumpuk, sawah-ladang habis terjual, rumah pun ikut tersita. Penghasilanku sebagai nelayan, tak cukup untuk membiayai hidup Zida yang gemar berbelanja barang-barang mahal. Ia sulit kukontrol. Jika kunasihati baik-baik, ia akan marah dan membandingkanku dengan suami teman-temannya yang punya pekerjaan mapan. Jika demikian, aku akan sakit hati dan terpaksa meminjam uang kepada teman atau bank demi menuruti kemauan Zida. Akhirnya aku terlilit utang, hari-hariku tak bisa lagi mencari ikan karena harus cari pinjaman uang secara bergilir demi melunasi utang yang sebelumnya, begitu seterusya, hanya gali lubang tutup lubang. Bahkan hingga kami tiba pada garis nasib terburuk; tak mampu lagi membeli sembako, sudah biasa bibir kami kering, perut kami melompong dan air mata kami merembes, lintasi jalur garis pipi yang kian tirus.
Aku dan Zida tak pernah menyangka, masa berikutnya harus menjadi pengemis yang mesti datang ke pasar dan tempat-tempat keramain, menukar rasa malu, menadahkan tangan demi sesuap nasi. Tak jarang kami dimaki, dicaci, atau diusir. Dan di beberapa kesempatan, kami harus dibentak-bentak bahkan diancam oleh orang-orang yang kuutangi dan belum kulunasi. Lengkap nganga lukaku di dalam dada, air mata serasa sumber tunggal yang berasal dari dasar neraka. Setiap napas kami adalah tangis. Berlalu dari waktu ke waktu, hingga Bikar—teman lamaku—menyarankan kami untuk datang kepada Ki Sin, seorang dukun pesugihan yang hidup menyendiri di lereng bukit Lentang.
Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika tanah masih temaram, aku dan Zida datang ke rumah dukun itu, melintasi jalan berbatu, yang meliuk-liuk berpagar semak dan perdu. Setiba di rumah bambu dukun itu, kami dimarahi dan dibentak-bentak karena sudah telanjur miskin. Tak ada mantra dan benda apa pun yang ia berikan kepada kami, selain hanya menyarankan kami datang ke kota sunyi ini, menemui seorang petapa yang hidup berkerabat seekor anjing galak bermata satu. Mereka tinggal di gedung bekas penjara yang pintunya bergambar harimau.
“Mintalah cara-cara pesugihan kepadanya. Lalu laksanakan apa saja yang ia perintahkan kepada kalian,” suara Ki Sin serak, matanya setajam tatap elang. Kami pun mengangguk, saling tatap sejenak, sebelum akhirnya membayar mahar seratus ribu, total jumlah uang yang kami miliki setelah empat hari bersusah payah mengemis.
Sepulang dari Ki Sin, sambil mengemis lagi di jalan, aku dan Zida membicarakan seorang petapa itu karena hati kami masih diliputi rasa waswas antara percaya dan tidak. Kami pun kembali mendatangi Bikar dan dia pun menunjukkan beberapa tetangganya dan dirinya sendiri yang saat ini sudah kaya raya berkat ziarah ke kota sunyi ini. Kami pun percaya kepada Bikar karena ia dan tetangganya memang kaya raya, rumahnya besar dan mewah, lengkap dengan pagar besi berornamen bunga anggrek dan tentu beberapa mobil terparkir di garasinya.
“Tapi, tak mudah untuk datang ke kota sunyi itu, apalagi untuk menemui petapa itu,” Bikar mengerutkan dahi. Ia menembakkan tatapnya jauh ke ufuk barat.
“Kenapa, Bik?”
“Sebab orang-orang yang datang ke kota itu harus berhadapan dengan beragam cobaan dan ancaman. Tak sedikit yang pulang dengan kegagalan, bahkan tak sedikit pula yang meregang nyawa di kota angker itu,” Bakar menoleh ke wajahkku dengan wajah yang meringis.
Aku dan Zida diam mematung. Saling tatap dan menarik napas agak panjang.
“Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang dilakukan orang-orang saat bertemu petapa itu?” Zida menyela lembut.
“He-he. Lihat saja nanti,” jawab Bikar seraya mengedipkan mata. “Yang jelas, apa yang petapa itu perintahkan adalah hal-hal yang dilarang agama,” lanjut Bikar sambil menyandarkan kepalanya ke tembok.
Cerita Bikar itulah yang membuat kami —terutama Zida— sangat cemas memasuki kota sunyi ini. Seolah kami sedang menapak kota maut dan jalan sunyi menuju neraka.
Zida semakin erat memeluk lenganku. Terasa seluruh tubuhnya gemetar. Matanya umpama bunga kecubung kering. Beberapa kali ia menutup mata dengan telapak tangannya saat kami melintasi sebuah bar, di dalamnya ada beberapa kepala yang terpenggal, matanya melotot dan sebagian terpejam, di pangkalnya membekas darah kering. Lalat, semut dan ulat berpesta di tempat itu.
Kami terus melangkah. Genggaman Zida di bahuku sangat kuat dan ia memelukku erat sekali. Sedang jantungku berdegup kencang saat tangan kanan pelan membuka daun pintu tua bergambar harimau seperti yang dimaksud Ki Sin.
Kesunyian kota ini seperti berpusat dalam ruangan ini. Sangat sunyi, nyaris tak ada suara apa pun. Sesorot cahaya yang agak jauh, terbias dari sebuah retakan gedung di bagian pojok. Bau bangkai menusuk pembauan. Kami terus melangkah, seiring tubuh Zida yang semakin gemetar dan isaknya mulai terdengar. Dalam kegelapan, serasa kakiku menyentuh mayat-mayat, potongan daging, dan tubuh ular. Ketakutan dan kengerian hilang oleh rasa ingin kaya, sebagaimana yang dilakukan para koruptor di negeri ini.
Saat tiba di dekat sesorot cahaya dari retakan gedung itu, aku sangat terkejut. Di lantai yang kotor, seorang lelaki tua mati berpelukan dengan anjingnya yang bermata satu. Lidahnya menjulur. Ratusan ulat bermukim di tubuhnya yang sebagian sudah membusuk. Aku menoleh ke wajah Zida. Zida pun menoleh ke wajahku. Kami saling bertatap bisu dalam kesunyian.