Merindukan Masa Keemasan NU

Ada semacam kerinduan kolektif di kalangan Nahdliyin (warga NU) terhadap masa ketika organisasi ini terasa lebih sederhana, lebih merakyat, dan nyaris kebal terhadap intrik kekuasaan. Kerinduan itu bukan sekadar nostalgia buta; ia adalah refleksi atas sebuah masa yang dianggap sebagai “Masa Kejayaan” Nahdlatul Ulama.

Namun, kejayaan dalam konteks NU tidaklah diukur dari jumlah kursi menteri atau aset triliunan. Sejatinya, kejayaan NU diukur dari otonomi moralnya, kemandirian intelektualnya, dan peran sentralnya sebagai penjaga tradisi (Aswaja) dan kebangsaan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Artikel ini akan menelusuri tiga periode emas NU yang menunjukkan puncak peran kultural dan independensinya, menilik warisan apa saja yang kini berisiko hilang.

Periode Emas I: Konsolidasi Keilmuan dan Jihad Kebangsaan (1926-1950-an)

Masa kejayaan pertama NU adalah periode pendirian dan konsolidasi, dipimpin langsung oleh para ulama pendiri yang berwibawa tinggi.

Pencapaian Intelektual Murni

NU didirikan pada 31 Januari 1926 sebagai respons untuk membentengi tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di tengah arus modernisme Islam dan gerakan Wahabi dari Timur Tengah. NU berhasil mengkonsolidasikan sanad (mata rantai keilmuan) dan manhaj (metode berpikir) ulama Nusantara, memastikan bahwa pemahaman Islam yang dianut adalah Islam yang moderat, toleran, dan berakar pada budaya lokal. Fokus pada masa ini adalah ilmu, bukan politik.

Peran Kebangsaan

Keterlibatan NU dalam politik pada masa ini murni bersifat kebangsaan. Puncak kejayaannya adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh KH Hasyim Asy’ari. Fatwa ini menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban agama (fardhu ‘ain).

Resolusi Jihad menjadi pemantik utama perlawanan dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Ini adalah bukti nyata bahwa NU adalah bagian integral dari fondasi berdirinya Republik. Pada periode ini, NU sangat mandiri, energinya didedikasikan sepenuhnya untuk pendidikan, sosial, dan perjuangan.

Periode Emas II: Penegasan Jati Diri Melalui Khittah (1984–1990-an)

Masa kejayaan kedua NU muncul paradoksnya setelah organisasi ini mengalami kehancuran akibat politik praktis pasca-kemerdekaan. Periode ini ditandai dengan upaya heroik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mengembalikan NU ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo 1984.

Bebas dari Belenggu 

Tujuan Gus Dur adalah membebaskan NU dari belenggu partai politik (saat itu melalui peleburan dalam PPP) yang telah melemahkan, memecah belah, dan meredupkan cahaya NU.

NU secara resmi menarik diri dari politik struktural, menjadikan organisasi ini kembali menjadi gerakan kultural. Gus Dur meyakini bahwa kekuatan NU yang sesungguhnya berada pada masyarakat akar rumput (grassroots) dan independensi moralnya, bukan pada jabatan di pemerintahan yang koruptif (Orde Baru).

Puncak Intelektual dan Humanisme

Periode ini adalah masa keemasan pemikiran Islam yang Humanis, Inklusif, dan Progresif. Gus Dur dan lingkaran intelektual muda NU saat itu (seperti Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla, dll.) mendominasi wacana keislaman dan kebangsaan. NU menjadi pelopor toleransi antaragama, demokrasi, dan pembela hak-hak minoritas. Di mata publik, NU adalah organisasi yang berani, kritis, dan visioner, serta mampu menempatkan kemanusiaan di atas klaim kebenaran sektarian.

Kekuatan Grassroot

Karena organisasi menjauhi politik struktural, energi PBNU saat itu difokuskan pada penguatan jaringan, pesantren, dan basis massa. NU menjadi rumah yang nyaman bagi wong cilik karena organisasi berani menentang kebijakan otoriter Orde Baru dan fokus pada pelayanan masyarakat, bukan lobi kekuasaan. Ini adalah puncak otonomi moral NU.

Pelajaran dari Kejayaan: Kontras dengan Masa Kini

Masa kejayaan NU, baik di periode pendirian maupun di era Khittah, memiliki benang merah yang sama. Kekuatan NU diukur dari:

Indikator Kejayaan (Dulu)Indikator NU Saat Ini (Kini)
Otonomi MoralKeterikatan Struktural
Jarak dari KekuasaanKedekatan dengan Kekuasaan
Kemandirian Ekonomi (Koperasi)Ambisi Korporasi (Aset Besar)
Dominasi Ide dan IntelektualDominasi Politik dan Jabatan

Pada masa-masa emas tersebut, NU adalah pengontrol moral, bukan pemain politik. Ulama adalah penentu arah, bukan jabatan struktural.

Kini, NU disibukkan oleh lobi jabatan, urusan aset, dan ambisi untuk memiliki entitas bisnis besar. Banyak pihak khawatir NU telah menukarkan otonomi moralnya demi kekuatan struktural, yang ironisnya adalah jebakan yang ingin dihindari oleh para ulama pendiri dan Gus Dur. Energi organisasi kini berisiko terkuras untuk mempertahankan status quo politik, alih-alih melayani umat.

Memanggil Kembali Ruh Kejayaan

Mengingat masa kejayaan bukanlah sekadar upaya bernostalgia buta, melainkan sebuah refleksi kritis untuk mengidentifikasi ruh yang hilang. Kita perlu bertanya: Bagaimana membawa kembali semangat independensi, idealisme intelektual, dan keberpihakan total kepada grassroots ke dalam struktur NU saat ini?

Membangun NU di abad kedua harus dimulai dengan mencontoh kembali kearifan para pendiri: berani menjadi pihak yang independen, bersahaja, dan fokus pada umat. Jika para ulama pendiri berani melawan penjajah dan Gus Dur berani melawan rezim otoriter demi kemuliaan organisasi, maka NU hari ini harus berani melawan godaan pragmatisme politik dan bisnis.

Ruh kejayaan sejati NU terletak pada kesanggupannya untuk tetap menjadi organisasi ulama yang dicintai karena kesederhanaan dan kemuliaan moralnya, bukan karena kekuatan politiknya. Itu adalah warisan yang patut diperjuangkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan