Mujtahid Jalur Sufi

21 kali dibaca

Dalam disiplin ilmu fikih atau ushul fikih dikenal istilah ijtihad. Menurut terminologi ushul fikih, ijtihad didefinisikan sebagai proses penggalian dalil untuk menghasilkan suatu hukum furuk.

Aktor dari ijtihad ini dinamakan mujtahid. Biasanya, kitab-kitab ushul fikih menyebutkan beberapa syarat-syarat tertentu -yang sepertinya sulit terpenuhi di era sekarang-agar bisa dikategorikan sebagai mujtahid. Syarat utama mujtahid adalah keilmuan yang mempuni, harus menguasai bahasa arab, ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan lain sebagainya.

Advertisements

Di antara tokoh yang berhasil menggapai derajat mujtahid adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik Ibn Anas, Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad Ibn Hambal. Jumlah mujtahid pada era dahulu sangatlah banyak, lebih dari empat, namun mazhab mereka tidak berhasil diselamatkan karena tidak ada pengikut yang menjaga dan melestarikannya.

Selain mujtahid yang telah penulis jelaskan di atas, adapula mujtahid yang penguasaan terhadap ilmu tidak menjadi syarat utama. Justru yang menjadi syarat utama adalah kebersihan hati dan ketersediaannya menerima ilmu langsung dari Allah Swt.

Mujtahid ini biasa disebut mujtahid sufi. Proses ijtihad sufi adalah dengan cara mendapatkan ilham langsung dari Allah Swt. Kemudian dari ilham tersebutlah sang sufi akan mendapatkan suatu hukum.

Allah sendiri sudah menegaskan adanya hamba yang dengan ketaqwaan nya akan diberikan furqon, pembeda antara yang benar dan salah.

Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا… الاية

Artinya: “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqon.” (Q.S. al-Anfal: 29)

Karena dihasilkan dari ilmu yang berbeda, maka ijtihad sufi ini juga mempunyai konsekuensi yang berbeda pula. Jika hasil ijtihad biasanya boleh disebarkan kepada orang lain, namun ijtihad sufi ini tidak boleh disebarkan, hanya boleh untuk dirinya sendiri.

Seorang sufi yang mendapatkan hukum melalui ilham dilarang menyebarkannya dan masyarakat juga dilarang mengikutinya.

Sebagai contohnya, Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’rani menceritakan dalam kitabnya, al-Mizan al-Kubro, bahwa Imam Abu Hanifah beserta muridnya, Abu Yusuf, berpendapat air musta’mal (air yang sudah digunakan untuk bersuci) hukumnya najis. Di antara penyebab munculnya pendapat ini adalah kasyaf yang diberikan kepada beliau berdua.

Diceritakan, suatu hari Imam Abu Hanifah melihat seorang pemuda yang membangkang pada kedua orang tuanya sedang berwudhu, kemudian Imam Abu Hanifah melihat tetesan sisa air wudhu tersebut dan berkata: “Tobatlah dari perbuatan durhaka pada orang tuamu!” Dengan penuh sadar pemuda tersebut mengamini ucapan sang imam tersebut.

Di lain hari, Imam Abu Hanifah melihat orang berbeda yang sedang berwudlu juga, kemudian Imam Abu Hanifah melihat tetesan sisa air wudhu tersebut dan berkata: “Tobatlah dari perbuatan zina!” Dengan penuh sadar pemuda tersebut mengamini ucapan sang imam tersebut.

Imam Abu Hanifah seolah melihat dosa-dosa yang rontok akibat wudhu sebagai kotoran yang bisa dilihat oleh mata, sehingga beliau menghukumi air yang telah digunakan untuk bersuci sebagai air najis.

Logika fikihnya, ketika air sedikit tercampur dengan kotoran,maka berubah hukum menjadi air mutanajjis yang tidak boleh digunakan untuk bersuci. Walllahu a’lam bi showab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan