Mustafa adalah laki-laki paling disegani oleh masyarakat di desanya. Disegani bukan karena ia mahir dalam bertarung, atau karena memiliki wajah seram. Tidak. Sosok lelaki sederhana, berwibawa, dan religius itu menjadi panutan banyak orang karena tingkah lakunya sangat mulia. Tutur katanya yang selalu membuat hati adem membalut segala rasa benci, iri, dan penyakit lainnya. Juga ketekunannya beribadah dengan berjemaah setiap waktu, membuat masyararakat semakin kagum padanya.
Bukan hanya hal semacam itu, Mustafa adalah juga menjadi tempat pengaduan masyarakat jika salah satu di antara mereka kehilangan sapi. Karena, banyaknya kasus pencurian sapi sangat meresahkan warga. Padahal, ronda malam sudah digalakkan. Hingga, mereka meyakini bahwa pemerintahan desa tak mampu menjamin keamanan warganya.
Maka, setiap terjadi kasus pencurian sapi, warga desa mendatangi Mustafa untuk meminta bantuannya. Ketika masyarakat mengeluh perihal kehilangan sapi, Mustafa selalu memberi jawaban yang sangat yang kalem, dan itu membuat orang-orang mengernyitkan dahi tapi dengan senyum yang sangat ranum. Karena setiap perkataan yang diucapkan Mustafa akan selalu menjadi kenyataan.
“Bawa tenang saja, tunggu sampai lima hari. Jika sapimu belum kembali, aku yang akan mencarinya sendiri.” Jawaban inilah yang membikin setiap orang menjadi tenang ketika sedang dirundung kemalangan: kehilangan sapi.
Tapi anehnya, tak sampai pada lima hari, sapi yang hilang itu sudah kembali ke kandangnya sendiri. Hingga warga dibuatnya terperangah dan bertanya-tanya. Setelah sapi yang hilang kembali, biasa warga yang kehilangan akan datang lagi ke rumah Mustafa. Tapi tidak dengan tangan kosong. Mereka membawa sekarung beras, setali rokok, dan keperluan lainnya. Itu karena mereka merasa berutang budi pada Mustafa.
Pernah suatu ketika Mustafa kedatangan tamu dari orang-orang terhormat di desanya. Mungkin karena sikap, perilaku, dan peran Mustafa terhadap masyarakat setempat dianggap sangat bagus, Mustafa diminta untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa.
“Alangkah baiknya sampeyan mencalonkan sebagai kepala desa. Demi ketenteraman desa ini. Soal biaya atau modal, itu urusan saya. Sampeyan tinggal duduk manis saja.” Pinta salah seorang dari tamu tersebut. Dengan kepala agak menghadap ke bawah. Mungkin ia adalah pangadha’ dari beberapa tamu tersebut.