Malam adalah ibu bagi semua yang berada di bawah kolong langit. Dan bintang yang berpendar-pendar cahayanya itu memenuhinya, menambah panorama bagi setiap mata yang memandangnya. Aku juga melihat bintang-gemintang itu dari balik kaca jendela kamar. Siapa yang menanam bunga-bunga di langit yang gelap sehingga terlihat indah benar di pelupuk mata? Aku kemudian mengabadikan pemandangan itu dan mengunggahnya di status WA.
Jauh dari kumpulan bintang-gemintang itu, bulan sedang sabit. Cahayanya remang. Siapa yang dapat membikin bulan buatan persis seperti itu? Secanggih apapun otak manusia menggagas, sukar ditiru peredaran dan tugas laksana bulan asli. Dan bulan sabit lebih indah daripada bulan purnama, menurutku, juga kata seorang pujangga yang sedang merindukan kekasih. Bagiku, bulan sabit adalah bulan yang sakit. Sebab itulah kemudian ia tidak bundar dan lengkap. Separo darinya hilang ditelan gelap. Kau tahu gelap? Gelap itu ketiadaan. Seperti mata ketika terpejam, yang tampak adalah hitam. Hitam adalah ketiadaan warna. Setiap yang berwarna akan punya rona. Maka yang tidak punya rona adalah hitam.
Aku seperti bulan sabit yang kehilangan separuh cahaya. Melebihi bulan sabit, cahayaku lebih remang, bahkan bisa dikatakan gelap: tak punya cahaya. Yang beda adalah bulan estetik sungguhan, sedang aku estetik yang manipulatif; nampak bahagia di depan banyak orang dan kelihatan estetik, padahal sebenarnya aku sedang menangis.
Aku kehilangan rona sempurna sehingga cahayaku tak jadi purnama. Ditambah, aku tak punya sumber cahaya. Kalau sumber cahaya bulan adalah cahaya matahari, maka bagi banyak orang, sumber cahayanya adalah hati yang dididik oleh orangtua, utamanya ibu. Sedang aku? Aku tak punya ayah dan ibu. Aku bukan bulan, bukan pula matahari. Aku hanyalah pekat malam hari.
****
Namaku Hitam. Seperti hitam yang gelap, hidupku juga. Aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sampai sekarang tak kuketahui wajah dan lesung pipinya. Ah, tiadakah Kau rindu pada darah dagingmu yang sekarang telah besar dan kaya raya ini, Ibu? Bila dulu Kau buang aku karena ketakutan yang melahap dan melumat habis pikirmu untuk biaya hidup dan sekolahku, maka tiada penyesalan bagiku untuk menerimamu dengan penuh cinta dan rasa sayang, Ibu. Kemarilah, Ibu, aku butuh pelukanmu. Hidup adalah siksa tanpa orang yang benar-benar sayang, Bu. Dan sejauh aku hidup tanpamu, semua orang bilang bahwa cinta yang paling tulus adalah cinta ibu pada anaknya. Aku merindukanmu.
Hidup tanpa ibu adalah gelap. Bila sedang sedih dan nestapa, aku mengadukan nasib pada semua orang yang kutemui. Harapku, aku diberi ketenangan dan kedamaian oleh mereka yang kuadui. Namun, sekarang baru kurasakan bahwa tidak semua orang punya empati pada sesamanya. Sekarang aku sadar, betapa hidup adalah simulasi merasakan kematian yang kelak seorang akan sendiri di liang kubur. Terkapar. Tertimbun tanah, sedang tak satu pun manusia menemani, bahkan seorang yang paling mencintai pun.
Kuceritai Kau, Bu: Bila aku melihat anak-anak seusiaku dapat dengan bahagia belanja di pasar bersama ibunya, mengenaslah hatiku dan menjerit mencari ibu. Aku merindukan ibu. Sebulan aku tidur di tempat pembuangan sampah di pasar itu, Ibu.
Pada suatu sore, seorang bapak-bapak menaruh iba padaku. Ia menghampiriku dan menawariku agar tinggal di rumahnya. Ia bilang bahwa aku akan dipondokkan di salah satu pesantren. Betapa aku sangat bersyukur saat itu, Ibu.
Dulu, aku kira bersyukur sama dengan kebahagiaan. Seiring waktu terus mengantarku pada proses pendewasaan, ternyata makna syukur lebih luas daripada sekadar bahagia. Saat umurku telah mencapai usia yang kata orang adalah dewasa, aku tahu bahwa syukur adalah menerima dengan lapang dada terhadap segala pencapaian, Bu. Syukur tidak melulu soal kebahagiaan, akan tetapi kesedihan harus juga disyukuri. Termasuk ketidakterimaanmu padaku sampai Kau tega membuangku seperti ini juga harus Kau syukuri, Bu. Ah, maafkan Hitam yang bahasanya terlampau kejam. Maklumilah, Hitam sedang rindu pada Kau.
Lalu, kuteruskan ceritaku, Bu: Sore itu, kami berjalan ke arah rumah besar yang tak jauh dari pasar. Bapak itu berkemeja biru, berdasi, dan bercelana hitam. Sedari perjalanan, ia diam saja. Tak mengajakku bicara. Aku pun segan untuk mengajaknya bicara.
Di depan pintu, ketika kami menaiki tangga kecil, ia membuka pembicaraan.
“Siapa namamu, Dek?”
“Hitam,” jawabku sedikit gugup karena ketakutan.
“Hitam?”
“Iya, Pak.”
“Siapa yang menamaimu?”
“Teman-teman dan pengurusku di panti asuhan.”
“Kenapa kamu tinggal di tempat pembuangan sampah?” Dia bertanya sambil membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci.
“Aku tidak tahu siapa ibuku, Pak,” selorohku sambil menangis.
“Duduklah,” suruhnya yang terlebih dahulu duduk di sebuah kursi kayu yang panjang. Ia menunjuk kursi kayu besar di depannya.
Aku duduk. Dan kemudian ia mempersilakanku bercerita.
Berceritalah aku padanya: “Sebulan lalu aku kabur dari panti asuhan. Sejak kecil aku tinggal di panti asuhan itu, Pak. Tak tahu siapa ibu dan ayahku. Aku bertanya pada pengurus panti asuhanku, ia menjawab tidak tahu. Aku punya enam teman di panti asuhan itu. Mereka semua bahagia kecuali aku. Aku sedih karena perlakuan pengurus kepadaku beda dari keenam teman itu. Kalau enam temanku dikasih makan bakso, aku hanya dikasih makan nasi yang lauknya adalah sisa kuah bakso mereka. Semua temanku itu disekolahkan, sedang aku tidak. Dari situ aku dipanggil “Hitam”. Sebab tak sekolah.
Sudah sejak lama aku ingin kabur dari panti asuhan itu, Pak, tetapi aku tidak punya keberanian. Aku takut diculik orang yang akan menjual ginjal dan jantungku bila aku hidup di luar panti asuhan itu. Soalnya, salah satu pengurus pernah bilang bahwa di luar banyak sekali kasus pencurian anak seusiaku.” Aku menangis.
Tak lama, seorang perempuan cantik, berkerudung disampirkan seadanya di kepalanya menghampiri kami dengan membawa minum.
“Minumlah dulu, Nak,” kata bapak itu.
Perempuan itu ikut duduk di sebelahku sambil menata kerudungnya yang berantakan.
“Jadi, kamu tak punya ayah dan ibu?”
Aku menangis sejadi-jadinya. Ah, ibu, di mana Kau sekarang? Tegakah kau pada anakmu yang setiap saat merindukanmu? Aku menunduk dan kemudian merangkul perempuan yang ada di sebelahku. Ternyata ia membalas pelukanku. Ia memelukku sangat erat. “Ibu…….,” teriakku.
“Husss….” Ucapnya lirih sambil mengelus kepalaku. “Rambutmu kumal dan kotor sekali. Mandi dulu, ya.”
Tangisku semakin meledak. Tak kuindahkan ucapannya, aku memeluknya semakin erat. Ia memelukku semakin erat pula.
Setelah beberapa menit, ia meraih tanganku dan melepaskan pelukannya. “Mandi dulu, ya. Nanti diteruskan lagi ceritanya sama Ayah.”
Aku memandang bapak itu tadi. Ia membalas pandanganku sambil tersenyum.
“Sana, mandi dulu,” ucapnya kemudian.
“Ayo,” ajak ibu sambil meraih tanganku. Ia sudah berdiri.
Kemudian aku mandi.
****
Setelah seminggu di rumah itu, aku tahu nama bapak yang menolongku tadi, Bu. Namanya Ibrahim. Sedangkan, perempuan yang membawakan minum kemudian kupeluk bernama Aisyah. Tepat seminggu itu (aku masih sangat ingat, Bu) aku diantar oleh mereka berdua di pondok pesantren besar. Mereka membayar semua biaya pembayaran, mulai dari sekolah, makan, dan segala macam kebutuhanku selama mondok.
Setelah membayar, mereka menitipkanku pada pengasuh pondok. Alhamdulillah, Bu. Dan Kau tahu, Bu? Anakmu ini, yang kau buang tanpa pernah kau beri air susumu dan kasih sayang, sangat tekun belajar. Banyak sekali temanku yang memusuhiku sebab aku terlalu rajin, tetapi aku bodoamat dan tidak peduli. Aku terus belajar untuk memperluas wawasan dan pengetahuan.
Dua bulan sekali, Bapak dan Ibu Aisyah menjengukku sambil membawakan banyak makanan. Mereka telah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri, Bu. Ah, Mana rasa kemanusiaanmu yang tega membuangku tanpa tanda dan simbol untuk kucari Kau bila aku sudah sukses seperti ini, Bu?
Lalu, kulanjutkan ceritanya: Tak terasa sudah enam tahun aku mondok. Takdir mengantarkanku pada kebaikan nasib, Bu. Aku diberangkatkan oleh kiaiku ke Jepang untuk menjadi imam salat di sana. Kubilang pada Bapak dan Ibu Aisyah bahwa aku akan ke Jepang. Mereka turut bahagia. Waktu itu aku sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk, Ibu. Aku sudah tidak cengeng lagi.
Sebulan setelahnya, aku berangkat ke bandara dengan diantar oleh kiaiku, Bapak, dan Ibu Aisyah. Namun, aku masih bertanya-tanya, di mana Kau pada saat itu?
Sekarang aku di Jepang, Ibu. Dan dari balik jendela kamarku yang megah nan mewah ini, kulihat bintang-bintang bertabur dan berkeruman menambah panorama langit yang gelap. Jauh dari kerumunan bintang, bulan sedang sabit. Cahayanya remang dan estetik. Tahu Kau, Bu, yang jauh lebih remang dari bulan sabit? Adalah seorang anak yang sedang merindukan ibunya. Namanya Hitam, Ibu.