Setiap tanggal 28 April, Indonesia memperingati Hari Puisi Nasional. Hari bersejarah ini juga sekaligus untuk mengenang wafatnya penyair legendaris Chairil Anwar sebagai Angkatan 45. Ia mengusung sebuah aliran seni dan budaya dengan sebutan ekspresionisme.
Ekspresionisme merupakan suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsyafan. Ide cemerlang Chairil Anwar tersebut bermula dari kegelisahannya terhadap kesusasteraan Indonesia yang cenderung mendayu-dayu karena pengaruh aliran seni di bawah kekuasaan Jepang. Aliran ini dianggap tidak membebaskan para penyair Indonesia dalam pemikiran tentang kesenian dan budaya.
Selanjutnya, aliran ekspresionisme yang diangkat oleh Angkatan 45 ini memberi angin segar kepada generasi baru Indonesia —meski hal itu ditentang oleh Armyn Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana, yang berpendapat bahwa Angkatan 45 bukan angkatan tersendiri melainkan lanjutan angkatan sebelumnya, yakni Angkatan Pujangga Baru—karena ia mempunyai beberapa ciri yang dianggap sangat cocok untuk mereka, seperti; penghematan bahasa, kebebasan pribadi, individualisme, berpikir kritis dan dinamis. Bentuk irama pada sajaknya jauh dari pantun, syair, sonata, atau sajak bebas dari Angkatan Pujangga Baru.
Angkatan 45 (atau juga disebut Angkatan Kemerdekaan) ini, disebutkan pertama kali oleh Rosihan Anwar pada 9 Januari 1949. Tetapi, menurut Abdul Hadi MW, Chairil Anwar sendiri yang menuliskan penamaan Angkatan 45. Dalam hal ini, sahabat Chairil Anwar, yaitu HB Jassin, pernah menerbitkan biografi tentang Chairil Anwar yang berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 dalam rangka menghormati sahabatnya tersebut.
Di dalam penulisan karya Angkatan 45 yang mulai ditulis dengan bahasa Indonesia ini terdapat pengaruh politik yang kuat karena mendekati perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tahun 1945.
Sebenarnya, aliran ekspresionisme mendapat pengaruh dari penyair-penyair Belanda angkatan sesudah Perang Dunia I seperti Marsman, Du Perron, dan Ter Braak. Beberapa tokoh penyair lainnya yang mendukung aliran ini, menurut HB Jassin, di antaranya yaitu Asrul Sani, Rivai Apin, Usmar Ismail, Idrus, Ida Nasution, Utuy Thtang Sontani, Balfas, JE Tutenfkeng, dan Pramoedya Ananta Toer. Hal ini merupakan suatu terobosan baru karena aliran sebelumnya dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zamannya saat itu.
Dengan demikian, Chairil Anwar kemudian mengadakan revolusi dalam dunia sastra Indonesia dan membawa perubahan radikal. Ia mengkritisi Angkatan Pujangga Baru dari sisi semangat dan bentuk sajak. Lalu ia mengemukakan puisi-puisinya sendiri yang revolusioner dari sisi bentuk maupun isi. Dalam penggunaan bahasa, ia menggunakan bahasa Indonesia yang hidup dan memiliki ruh, bukan bahasa baku tetapi bahasa percakapan sehari-hari yang dibuat bernilai sastra.
Sebelumnya, berdasarkan Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009) karya Sri Sutjianingsih, pada zaman pendudukan Jepang, pemerintah Jepang menaruh minat besar pada kesenian, termasuk kesenian Indonesia. Jepang lalu membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunko Shidoso) pada 1 April tahun 1943, tetapi baru diresmikan pada 29 April 1943 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Tenno Heika. Padahal di saat bersamaan, pemerintah Jepang melarang adanya perkumpulan (organisasi).
Apa yang dilakukan pemerintah Jepang tersebut adalah merupakan respons terhadap adanya pusat Kesenian Indonesia yang sebelumnya telah berdiri pada 6 Oktober 1942 yang diketuai oleh Sanusi Pane. Dalam hal ini, beberapa seniman seperti Anjar Asmara dan Kamajaya menemui Soekarno membahas gagasan tentang mempersatukan kaum seniman dalam satu wadah. Soekarno bersedia memprasakarsai pendirian Pusat Kesenian Indonesia.
Oleh karena itu, Jepang mempersiapkan Pusat Kebudayaan, yang pada hakikatnya sebagai bujukan halus agar Pusat Kesenian Indonesia luluh kepada Pusat Kebudayaan sehingga semua kegiatan kesenian takluk di bawah kekuasaan Jepang. Beberapa seniman Indonesia awalnya menerima maksud Jepang secara antusias.
Melihat gelagat Jepang tersebut, Chairil Anwar tidak tinggal diam. Ia yang merasa curiga terhadap niat dan tujuan Jepang tersebut menyindir seniman-seniman yang mau membantu Jepang. Menurutnya, Jepang hanya memanfaatkan semangat kebudayaan bangsa Indonesia sebagai potensi perang demi memenangkan kepentingan Jepang.
Dari itu, bersama Amal Hamzah dan kawan-kawan seniman lainnya, Chairil Anwar membuat suatu revolusi dalam kesusasteraan Indonesia dengan membawa aliran ekspresionisme, yang disebut sebagai Angkatan 45 dan kemudian resmi dipergunakan oleh banyak kalangan.
Atas jasanya sebagai pelopor Angkatan 45, maka Pemerintah Indonesia memberikan suatu Anugerah Seni kepada Chairil Anwar, dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Agustus 1969 Nomor 07111969. Dan kemudian wafatnya sang pujangga itu ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.
Chairil Anwar yang mulai mengenal sastra di usia 19 tahun ini lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922 dan wafat di Jakarta pada 28 April 1949 saat usianya belum genap 27 tahun. Meski usianya masih sangat muda, tapi karya-karyanya berhasil menduduki tempat yang istimewa di hati para seniman Indonesia dan sangat dikenang sepanjang masa. Penyair terkemuka Indonesia ini diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi.
Ia dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” karena karya fenomenalnya yang berjudul “Aku.” Karya puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku” ini sangat terkenal dan menginspirasi para seniman lainnya. Puisi ini ditulis pada 1943 dan diterbitkan di majalah timur pada tahun 1945.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru itu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
(Chairil Anwar:Maret 1943)
Apa yang dilakukan Chairil Anwar merupakan suatu bentuk kecintaannya terhadap kesusasteraan Indonesia. Karya-karyanya berhasil mengukuhkan namanya sebagai salah satu penyair ternama. Sikapnya yang patriotik turut andil dalam keikut sertaannya melawan segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan Jepang pada masa itu. Generasi milenial seharusnya mencontoh sosok Chairil Anwar yang merdeka dan bebas dalam berkarya.
Selamat Hari Puisi Nasional (28 April 2022).