ORETAN SANTRI UNTUK NEGERI
jangan sembunyi di lorong-lorong sunyi yang terkurung waktu, sobat. pesantrenku tak pernah silau semenjak dunia mulai diperkosa alat-alat canggih dari luar negeri. tak pernah tertipu oleh tawaran sampah-sampah peradaban yang serba sibuk kesusuk. siang malam aspal telanjang seorang diri dengan kejahatan pemerkosaan stasiun jalanan. namun pesantrenku, sebagaimana mata air yang terus mengalir, mencerahkan hakikat dan tarekat. kami memilih istikamah bukan kesederhanaan hidup digubuk reot tak lagi bergengsi, sebagaimana napas kami adalah ayat-ayat suci yang terus memanjang dalam nadi.
serupa santri. walau lelah ia tak lepas dari antrean, panjang pemandian, meski, kadangkala lelah melafal Allahu, namun tetap teguh tanpa ragu.
amboy… kerap orang-orang bertanya tentang santri, bagaimana kami menyandang kitab-kitab suci, pasrah menghidupi mimpi hanya dengan ikhtiar pada sang Ilahi, komat kamit serupa wirid terus memanjang di hati, serta melangitkan harap dalam doa-doa untuk keluarga dan diri, juga tawadhu pada perintah tangan kanan sang kiai.
siapakah santri, aku masihlah bertanya-tanya?
Annuqayah Lubangsa F/05, 2022
DIAM
Diamku adalah doa yang mengalir tanpa akhir sepanjang hayat
Tanpa ada sebuah rasa yang kupenjara dalam pusara rasa
Hingga ritus doa-doa masihlah kutelanjangkan
Walau nyenyak seringkali bersujud pada hamparan sajadah
Dinda, apakah di sisi pagimu telah mengalir segala doa yang kusisipkan
Seperti ungkapan dingin embun kepada perasaan
Barangkali segigil basah daun masih tergenang
Hingga senyum masihlah mengelabui dahan-dahan otakku
Giliyang, 2022
NARASI WAKTU
Untuk kita, dinda
Telah kutemu pada reranting sedih musim ini
Ketika sorot mata mencoba menerjemah dedaunan
Yang perlahan gugur satu-satu
Sempat aku tak percaya lagi sayang
Jika batang khayal yang panjang buyar dan hambar disambar
Risih akar mencengkram nasib tanah dengan istikamah
Serta mencoba menuntaskan wejangan hidup yang nihil
hingga pada akhirnya
Layu menanti waktu dari detak jantungku
Aku masihlah bercakap-cakap dengan harap
Sekalipun diam
Namun aku mencoba melangkah menghidupi mimpi-mimpi dari derasnya hujan.
Lubangsa F/05, 2022
SEBATAS SENYUM
;Lin A.R
kerap kuikhlaskan engkau menjadi seorang santri kekasih, tempat di mana kita menangkringi sebuah jeruji ilmu ranum serta lenting doa-doa pengasuh, saling melempar senyum di persimpangan jalan antara lubsel dan lubangsa, bahkan ketika engkau melintas menyebrang, sedikit kusisipkan rindu lewat kesiur angin, yang senantiasa mengajakku berdamai meretas sajak dari jejak agitasi waktu pagi.
tanggal yang menjadi tunggal harap kudekap, kini terempas oleh jarak di mana aku harus terus cemburu pada waktu, melihat angin yang jengkel terus senantiasa membelaimu saban waktu. sebab aku tak ingin ditelantarkan seorang diri meratapi sedih musim ini, walaupun engkau masih mengenalku sebagai lelaki kurang ajar, namun aku masihlah menyayangimu melebihi kasih sayang seorang ibu.
aku takut kekasih menjalani risalah ini sendiri. berpikir sebagaimana musafir, bertahan hidup tanpa pepatah dan kata-kata “aku sudah lelah.” sebab hanya ingin yang bisa kusabdakan dalam lentera puisi dan abjad namamu Alina, walau terkadang melelapkan diri di sepanjang pembaringan diksi, dengan ritme yang seringkali membuatku tenang mengikis mimpi.
Giliyang -2022
BIMBANG AKAN PILIHAN
; Wanitaku
Bagaimana bisa aku mencintaimu, kekasih
Sedang pada batas keraguan yang kupunya
Ritus doa-doa masihlah terpenjara
Entah bagaimana bisa aku mencaintaimu, kekasih
Dari sebab muasal saja
Seluruh keyakinanku tak begitu beruntung
Namun sebagai lelaki kurang ajar
Masihlah pantas aku berharap
Bermain-main di pelaminanmu yang telanjur basah.
Giliyang, 2022.