Sejak bulan lalu secara berturut-turut terdapat hari-hari penting yang menjadi pengingat kita akan pentingnya buku dan pemikiran. Tanggal 21 April, Hari Kartini yang mengingatkan kita akan pentingnya pemikiran, perjuangan, emansipasi perempuan, nasionalisme, dan pendidikan. Di beberapa tempat, seperti sekolah SD misalnya, memperingati Hari Kartini dengan menyanyi lagu “Ibu Kita Kartini” ditambah dengan pakaian adat, untuk perempuan kebaya, dst.
Tanggal 22 April, Hari Bumi di mana kita diingatkan kembali tentang kondisi alam yang semakin hari semakin rusak karena ulah kita manusia yang menambang dan mengeruk tanah untuk mendapatkan hasil dari perut bumi. Pada sebagian tempat mungkin dilaksanakan acara menanam pohon atau tanaman secara massal atau perseorangan.
Pada tanggal 23 April Hari Buku Dunia dan sekarang tanggal 17 Mei Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang tentu saja sebenarnya saling terkait.
Terkait dengan Hari Buku ini, baru-baru ini terjadi sedikit masalah mengenai dunia perbukuan. Masalah tersebut sebenarnya lebih menakutkan bagi industri penerbitan buku yang gila-gilaan menerbitkan buku, tapi juga berimbas kecemasan pada beberapa penulis yang akhirnya tidak bisa berharap rezeki yang lebih besar melalui terbitnya buku untuk disertakan sayembara karena peraturan baru yang membatasi ISBN itu.
Kalau mengingat apa yang sudah berlaku sejak dulu, dalam konteks ini yang akan kita singgung adalah buku puisi. Kita tahu bahwa buku sastra terutama puisi selalu tercetak terbatas dan langka. Penyair Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa buku puisi itu tidak laku seperti buku-buku genre lain, alias yang paling kecil harapannya. Maka tidak heran bagi siapa pun calon penyair yang berniat berburu buku-buku puisi lama karya para penyair sebelumnya menjadi pekerjaan yang amat sangat sulit sekali. Kelangkaan itu disebabkan juga selain tidak lakunya buku puisi karena tidak difasilitasi oleh pemerintah dan tidak didukung di dalam dunia pendidikan kita.
Peraturan baru ISBN yang hanya menerbitkan dengan jumlah besar saja, dan tidak mengizinkan menerbitkan buku dengan terbitan kecil termasuk buku sastra terutama seperti puisi menjadikan hal tersebut menjadi ‘hukuman dobel’ yang semakin mindiskreditkan dunia perpuisian dan perbukuan puisi. Sudah sejak dulu cetak terbatas, banyak tidak laku, bahkan di awal-awal kepenyairan Sapardi Djoko Damono, hanya cetak stensilan, ini malah mau dibabat habis sehingga tanpa ISBN.