Nasionalisme Kosmopolit

49 views

Indonesia merupakan negara dengan banyak perbedaan, namun dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, Indonesia dengan satu rasa dan satu tujuan menuju persatuan Indonesia (bunyi sila ke-3).

Keberagaman dalam suatu negara merupakan hal yang lumrah. Perbedaan suku, ras, agama, maupun budaya akan saling beriringan ketika suatu masyarakat memiliki rasa cinta tanah air yang sama, dan menjunjung tinggi kebersamaan yang seringkali kita kenal dengan sebutan nasionalisme.

Advertisements

Nasionalisme, dalam ensiklopedia Indonesia diartikan sebagai sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan dengan demikian merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa.

Sedangkan, nasionalisme Indonesia menurut Soekarno (dalam Irwan, 2001), bukanlah jingonasionalisme atau chauvinisme, dan bukan pula tiruan dari nasionalisme barat, melainkan nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu.

Gagasan nasionalisme yang dianut oleh founding fathers and mothers kita berpijak pada gagasan yang dicetuskan oleh Ernest Renant dan Otto Van Bauer. Terdapat dua syarat terbentuknya bangsa dan semangat kebangsaan, yaitu kesamaan nasib dan keinginan untuk bersatu.

Nasionalisme dalam pengertian ini memiliki pengaruh baik terhadap negara Indonesia. Dengan adanya nasionalisme, Indonesia tidak akan mudah untuk terjajah bangsa lain lagi. Keberagaman di Indonesia tidak menjadi penghalang, mengingat para pendahulu atau pejuang Indonesia yang tak gentar mengabarkan kepada seluruh warga negaranya untuk memiliki sikap nasionalisme.

Seiring berjalannya waktu, nasionalisme menjadi sebuah proyek elitis dari kalangan terdidik. Dalam ranah ini, nasionalisme cenderung dihubungkan pada kedaulatan. Yang pada awalnya nasionalisme disuguhkan untuk memberi semangat rakyat untuk merdeka dan bersatu, namun ketika sudah merdeka, hal itu menjadi milik para penguasa dan bahkan untuk kepentingan pemerintahannya sendiri. Nasionalisme ini memperkuat kedaulatan pemerintahan yang ada. Mereka menggunakan prinsip tersebut utuk kepentingan konsolidasi politik ke dalam dan luar negeri.

Banyak tantangan dalam perjalanan mempertahankan nasionalisme, di antaranya adanya pengaruh dari luar yang semakin merajalela. Dengan menguatnya rasa nasionalisme, akhirnya secara tidak disadari membuat pengaruh luar yang datang tidak disaring terlebih dahulu. Era ini disebut era globalisasi yang telah berhasil membawa budaya baru pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal yang paling tampak terjadi dalam aspek ekonomi, yang mana kebanyakan kesetiaan orang pertama kali bukanlah untuk negara, namun kepada profit atau keuntungan (uang). Orang mudah tergiur pada uang yang pada kenyataannya tidak mengenal nasionalisme. Misalnya saja yang telah banyak terjadi di Indonesia, karena uang, para penguasa tidak peduli rakyatnya sejahtera atau malah sebaliknya hancur.

Dengan fakta yang seperti itu, terkadang para elite penguasa yang mengaku sebagai pengawal bangsa membenarkan tindakannya. Berkedok untuk kepentingan bangsa namun kenyataannya merugikan bangsa.

Dalam membahas kontroversi yang terjadi pada era globalisasi antara nasionalisme dan kedaulatan, maka terdapat kosmopolitanisme yang sering dijadikan jalan tengah. Jika globalisasi berhasil masuk dan mengubah suatu pemaknaan untuk sebuah negara, kedaulatan dan nasionalisme yang dikuasai para elite, maka kosmopolitanisme membawa teori politik yang nantinya bersifat Internasional. Pengaruh globalisasi atau lebih tepatnya nilai-nilai kosmopolitanisme mengajak kita menyadari akan pentingnya kemanusiaan dari nasionalisme yang menjadi luntur karena terlalu lamanya negara mendominasi masyarakat sipil.

Kosmopolitanisme ini lebih mendorong orang untuk memiliki rasa kepekaan terhadap orang lain, yang biasanya disebut humanisme universal, yang merupakan sintesa dari berbagai nilai dan budaya di dunia. Kosmopolitanisme mengkritik kegagalan negara dalam menjaga kedualatannya. Permasalahan yang terjadi dalam negara, yakni kurang mampu mempertahankan prinsip pemerintahannya, jadi negara tersebut memerlukan campur tangan dari pihak Internasional.

Memang, pada awal munculnya, nasionalisme di Indonesia disebabkan karena kesamaan nasib dan tujuan selepas kemerdekaan. Namun, ketika kita telaah lagi seiring waktu berubah menjadi elitis nasionalisme, namun tergantung asumsi masing-masing orang dalam menilai kenyataan ini. Seharusnya jika memang masih ada nasionalisme, lebih baik kita mengkaji nasionalisme kosmopolit. Negara tidak bersifat mutlak lagi dalam ranah kedaulatan, namun kini bekerja sama dengan dunia Internasional untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan banyak orang. Generasi kosmopolit lebih bebas tanpa batas negara dalam memdiskusikan hak kemanusiaan maupun hal-hal individunya.

Kesimpulannya, globalisasi tidak selamanya membawa dampak negatif terhadap atau menegasikan nasionalisme. Tergantung pada asumsi orang yang mengkajinya. Ini berlaku pula untuk nasionalisme, yang mana tidak semua orang telah lupa akan nasionalisme yang asli dan tidak semua elite mengambil alih atau menyalahgunakan nasionalisme. Kini telah menjadi penengah di antara berbagai permasalahan yang muncul akibat nasionalisme dan kedaulatan, yakni kosmopolitanisme. Dengan nasionalisme kosmopolit, di tengah keberagaman ini, kita dapat memecahkan masalah tanpa batasan negara dan dapat mempertahankan kesatuan persatuan negara dari ancaman dari luar yang berbahaya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan